Tiga Panduan Dzikir Menurut Imam al-Razi

Tiga Panduan Dzikir Menurut Imam al-Razi

Tiga Panduan Dzikir Menurut Imam al-Razi

Pada pembahasan sebelumnya mengenai perintah Allah untuk berdzikir pada QS. Al-Baqarah: 152, Imam al-Razi dalam kitab Lawami’ al-Bayyinat Syarh Asma’ Allah Ta’ala wa al-Shifat menjelaskan berbagai tafsiran atasnya. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa di banyak ayat lain terdapat penjelasan mengenai kaifiyah (panduan) melakukan zikir secara baik dan benar.

Pertama, disebutkan oleh Imam al-Razi bahwa berzikir sebisa mungkin dalam jumlah yang banyak. Dalilnya adalah QS. Al-Ahzab: 35 dan 41

…وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Dan para lelaki yang menzikirkan Allah serta para perempuan yang berzikir maka Allah janjikan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah kepada Allah dengan cara zikir sebanyak-banyaknya

Lebih-lebih menurut beliau berzikir sebanyak-banyaknya ini dilakukan setiap memulai serta menyelesaikan suatu kebaikan. Hal ini berdasarkan pada satu riwayat dari Abdullah bin Basyar al-Mazini. Ia menceritakan bahwa seorang A’rabi mendatangi Nabi SAW kemudian berkatalah dia, “siapakah manusia yang unggul?”

Lalu, Beliau SAW menjawab, “berbahagialah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”.  Dia pun bertanya kembali, “wahai Rasulullah apa amalan yang paling baik”.

Nabi SAW pun menjawab, “engkau meninggalkan dunia dan lisanmu basah menzikirkan Allah”.

Adapun kaifiyah yang kedua menurut Imam al-Razi adalah berdasar dari QS. Ali Imran: 191,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ

Orang-orang yang menzikirkan Allah dengan berdiri, duduk, serta di atas pembaringan mereka

Di sini Imam al-Razi menggarisbawahi bahwa maksud ayat ini adalah untuk melaksanakan zikir baik di malam atau siang hari, di daratan atau di lautan, sedang di jalan atau di rumah saja, kaya atau fakir, sehat ataupun sakit. Setiap anak Adam tidak memiliki pilihan keempat, selain berdiri, duduk, dan berbaring.

Sebagian ahli hakikat menyatakan bahwasanya Allah tidak pernah mewajibkan kepada hamba-Nya akan suatu perintah kecuali dengan batasan tertentu yang dapat diketahui. Ada akhir tersendiri dalam setiap perintah serta terdapat pemakluman terhadap pelakunya pada berbagai hal. Namun hal ini tidak berlaku pada perintah untuk berzikir, karena Allah tidak menentukan batas tertentu pun tidak ada alasan bagi seorangpun saat meninggalkannya, kecuali orang yang memang akalnya tertutup.

Sementara, kaifiyah ketiga, termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 200

فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً

Zikirkanlah Allah seperti zikir kalian terhadap ayah-ayah kalian atau bahkan lebih dari itu

Para ulama menyebut berberapa wajah pemaknaan mengenai penyamaan, antara Allah dan ayah dalam ayat ini. Pertama, Allah mengetahui akan kekurangan kita oleh karenanya kita tidak diperintahkan untuk menzikirkan-Nya layaknya ketika mengingat anak akan tetapi zikirkanlah layaknya kalian mengingat ayah kalian atau lebih.

Kedua, manusia mengingat sosok ayah dengan ta’dzim dan mengingat sosok anak dengan rasa berat menanggung sesuatu. Adapun yang tepat  ketika mengingat Allah adalah dengan ta’dzim, bukan dengan rasa berat.

Ketiga, Secara zahir kita berasal dari ayah dan dari kuasa Allah secara hakikat. Saat kita mencintai Allah seperti kecintaan kita kepada ayah maka Allah akan mencintai kita layaknya seorang ayah mencintai anaknya, meskipun Allah Maha Suci tanpa istri pun anak.

Keempat, perintah untuk mengingat Allah seperti ketika mengingat ayah yakni dengan keesaan. Alasannya karena seorang anak tidak akan mau dinasabkan selain kepada orang tuanya. Oleh karenanya kita jangan sampai menjadikan tuhan lain bagi diri kita lebih-lebih menetapkan sekutu-sekutu.

Kelima, seorang menyebut ayahnya untuk meminta pertolongan akan keperluan-keperluan. Kita diperintahkan mengingat Allah seperti halnya seorang anak mengingat ayahnya ketika memohon untuk keperluan-keperluannya. Keenam, Ibn Abbas menyatakan, ketika ayahmu disebut dengan buruk lantas engkau marah maka ketika Allah disebut dengan buruk engkau wajib untuk marah.

Keenam, seorang anak yang baru dapat bicara pertama kali yang diucapkan adalah ‘ayah’, oleh karenanya menjadi keniscayaan bagi kita untuk mengingat atau menyebut Allah di awal kalam kita.

Dan, ketujuh, kita selalu saja menyibukkan lisan dengan mengenang ayah maka demikian juga menjadi wajib bagi kita selalu bertasbih dan mengagungkan Allah.