Ilmu logika atau Manthiq adalah salah satu pelajaran wajib di banyak pesantren. Biasanya, ilmu olah pikir ini diberikan di jenjang menengah atas. Besertaan dengan pelajaran Alfiyah Ibni Malik atau setelahnya. Kitab yang digunakan adalah “Sullam al-Munauraq” karya Imam Abdurrahman al-Akhdhari (953 H). Dilengkapi dengan syarahnya, kitab “Idhah al-Mubham” anggitan Imam al-Damanhuri.
Dalam konteks kekinian, pelajaran logika ini perlu terus dikaji atau bahkan diperluas oleh kalangan pesantren. Di perguruan tinggi, logika adalah mata kuliah wajib. Hampir di semua jurusan diberikan. Ilmu ini diyakini sebagai prasyarat bagi seorang ilmuwan. Imam al-Ghazali (505 H) menegaskan bahwa seseorang yang tidak mengetahui ilmu logika, maka ilmu yang ia katakan tidak dapat dipercaya. Terkait hal ini, setidaknya ilmu yang telah dirintis sejak zaman Yunani ini memiliki dua manfaat praksis.
Pertama, melatih nalar untuk berfikir objektif dan teliti. Membedakan dan memilah satu hal dengan lainnya. Dengannya, kita tidak mudah terjebak pada generalisasi yang tidak sehat (gembyah uyah). Sebagai misal, jika kita tidak suka pada seseorang atau satu kelompok, lantas semua hal yang dinyatakannya adalah salah. Tanpa memilah-milah satu persatu, beserta alasan (argumentasi) dan latar belakangnya. Begitu juga jika kita suka terhadap seseorang atau satu kelompok, seakan semua pernyataannya dianggap benar.
Kedua, mengajarkan alur berfikir sistematis dan logis. Tertib menjalinkan satu hal dengan hal lain. Runtut mengaitkan satu fakta dengan fakta lain. Sehingga kesimpulan yang dipahami dapat dipertanggungjawabkan. Tidak mengaitkan suatu hal yang tidak terkait. Serta tidak gegabah menarik kesimpulan.
Dua hal ini kiranya menjadi basis sikap yang niscaya bagi santri. Di tengan centang perenang debat di media sosial, santri diharapkan bisa ikut andil berkontribusi yang positif. Menjadi pengayom dan penerang bagi ragam perbedaan. Minimal, tidak memperkeruh debat kusir yang membingungkan masyarakat.