Pendidikan tinggi adalah salah satu hal yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia, hal tersebut diperjuangkan karena pendidikan tinggi merupakan bagian penting dalam membangun peradaban bangsa dan negara, apalagi bangsa yang baru merdeka. Salah satu tokoh yang memperjuangkan hal tersebut adalah Dr. Sardjito, seorang dokter yang juga mempunyai kiprah besar dalam dunia pendidikan.
Dr. Sardjito lahir di desa Purwodadi, Magetan Jawa Timur pada 13 Agustus 1889 M, Sedangkan menurut Artha, A.T dalam bukunya Menyingkap Pemikiran Prof. Dr. Sardjito beliau lahir di Madiun pada 13 Agustus 1889 M dari seorang ayah yang bernama Sarjit yang berprofesi sebagai seorang guru. Pendidikan formalnya diselesaikan di Lumajang dan setelah itu melanjutkan studinya ke School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran bagi masyarakat pribumi waktu itu, dan berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1915 M.
Beliau juga pernah bekerja di rumah sakit yang ada di Jakarta sebagai seorang dokter selama satu tahun. Kemudian pindah ke Institute Pasteur Bandung sampai tahun 1920. Di Institute Pasteur, beliau mengikuti penelitian khusus Influenza yang pada waktu itu sedang menjadi momok bagi masyarakat.
Ketika mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, beliau mengembangkan perhatiannya terhadap penyaki-penyakit tropis dan menulis disertasi tentang disentri yang berjudul “Immunisatie Tegen Bacillaire Dysentrie door Middel van de Bacteriophaaf Anti-Dysentric Shiga-Kruse”. Sebagai seorang dokter dan peneliti, Dr. Sardjito banyak menemukan berbagai hal seperti obat penyakit batu ginjal dan obat penurun kolesterol dan juga menciptakan vaksin anti infeksi untuk typus, kolera, disentri, staflokoken dan streptokoken.
Dr. Sardjito juga aktif di pergerakan Budi Oetomo dan pada 1925 M menjadi ketua cabang Jakarta serta pengurus pusat. Beliau selalu menanamkan jiwa nasionalisme kepada murid STOVIA supaya berbakti kepada bangsa dan negara, salah satunya lewat penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Pada saat revolusi kemerdekaan, beliau menciptakan makanan ranasum bernama biskuit Sardjito bagi para tentara yang sedang berjuang di medan perang. Temuan ini membantu tentara Indonesia di saat kesulitan bekal makanan, karena biskuit tersebut mempunyai formula khusus sehingga mampu menahan lapar atau memberi energi cukup besar ketika di medan pertempuran. Selain biskuit, beliau juga membuat “nasi aking” sebagai bekal di perjalanan bagi para tentara.
Di antara jasa-jasanya yang lain adalah memindahkan buku-buku milik sekolah tinggi kedokteran dari Bandung ke Klaten dan Solo dengan menggunakan kereta api. Kemudian pada saat yang sama, Institute Pasteur pindah ke Klaten. Klaten dipilih sebagai tempat pemindahan tersebut, karena letak Klaten yang berada di daerah pedalaman sehingga aman dari serangan penjajah. Karena pada waktu itu, Jakarta-Bandung-Surabaya sering dihujani bom oleh penjajah.
Selain itu, beliau juga mengamankan vaksin cacar yang dikembangkan oleh Institute Pasteur Bandung, ketika vaksin cacar sangat dibutuhkan bagi Indonesia namun selalu mendapat gangguan dari penjajah. Penyelamatan vaksin cacar tersebut dilakukan beliau dengan menyuntikkannya di kerbau dan setelah sampai Klaten, vaksin tersebut diambil lagi, karena kalau dibawa secara langsung, akan ketahuan oleh penjajah da tentu akan diambil oleh mereka.
Sejarah beliau menciptakan vaksin adalah ketika Bandung terjadi kerusuhan akibat adanya ultimatum kolonel Mac Donald, supaya warga Bandung menyingkir dari kawasan Bandung Utara, tapi hal tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat dengan serangan yang sporadis.
Dr. Sardjito paham bahwa hal tersebut akan menyebarkan wabah penyakit akibat kerusuhan yang terjadi, beliau kemudian memproduksi vaksin untuk mengantisipasi menyebarnya wabah penyakit tersebut. Banyaknya peran dalam bidang sereologi, membuat beliau mendapat penghargaan dari World Health Organization (WHO) dalam daftar panel ahli bidang sereology and laboratory aspects pada tahun 1960 M.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, bersumber dari Arsip Pemberitaan Harian Kompas, 8 Mei 1970 M menyebutkan Dr. Sardjito bersama dengan Prof Sutarman, Dokter Sanusmo, dan Dokter Pudjodarmohusodo mendirikan fakultas kedokteran RI di Klaten dan Solo pada 5 Maret 1946 M. Fakultas ini kemudian menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Universitas Gadjah Mada dan beliau menjadi rektor pertamanya dari tahun 1950-1961 M. Jasanya dalam bidang pendidikan yang lainnya adalah ketika mengabdi menjadi rektor kedua Universitas Islam Indonesia dari 1961-1970 M. Ketika di UII, beliau membawa kampus tersebut menjadi berkembang pesat dan selama menjadi rektor beliau tidak pernah mengambil gaji.
Selain seorang ilmuwan, beliau juga seorang budayawan. Salah satunya dibuktikan dengan penelitiannya tentang Borobudur yang dipresentasikan pada Pacific Science Congress di Filipina 16-28 November 1953 M. Pada saat kongres, beliau berbicara mengenai seni pahat di Indonesia dan membuka mata dunia, bahwa Indonesia mempunyai peradaban yang besar dan tinggi. Beliau adalah sosok yang menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan menjadi pelopor kuliah kerja nyata (KKN) sebagai bentuk pengabdian masyarakat dan juga pendiri Palang Merah Indonesia.
Di sisi lain, Dr. Sardjito merupakan sosok yang memperhatikan kesehatan masyarakat luas, seorang ilmuwan pejuang dan pejuang ilmuwan. Dalam hidupnya, beliau mempunyai motto “Dengan memberi kami menjadi kaya”. Dalam artian jangan sungkan untuk memberi, karena dengan memberi kita akan menjadi kaya.
Dr. Sardjito adalah sosok yang mempunyai jiwa nasionalisme dan kebangsaan, semangat berbudaya Indonesia, mempunyai kreativitas tinggi dan rasa ingin tahu di segala bidang. Dr. Sardjito adalah pahlawan nasional yang bisa menjadi inspirasi banyak orang supaya mempunyai semangat kebangsaan dalam hidup di Indonesia.
Adapun beberapa karya yang pernah dihasilkannya adalah Immunisatie Tegen Bacillaire Dysentrie door Middel van de Bacteriophaaf Anti-Dysentric Shiga-Kruse, Dari Hal Mencari Kesehatan, Kewajiban Para Ahli Ilmu Bakteri dan Ahli Ilmu Hayat dalam Jaman Pembangunan Indonesia Merdeka, Bacteriologi Umum, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Kedokteran di Indonesia, Pengalaman dalam Menjalankan Tugas sebagai Anggota Palang Merah Indonesia. Dan berbagai tulisan lainnya.
Namanya pun abadi menjadi nama salah satu rumah sakit yang ada di Yogyakarta yaitu RSUP Dr. Sardjito, yang dalam sejarahnya pembangunannya adalah rumah sakit yang dicita-citakan oleh beliau untuk keperluan kesehatan dan pendidikan. Namun rumah sakit tersebut baru dapat dibangun bersamaan dengan tahun meninggalnya beliau yaitu tahun 1970 M. Tepatnya beliau meninggal pada 5 Mei 1970. (AN)
Wallahu a’lam.