Kolonialisme bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda, turut memengaruhi wajah ilmu pengetahuan di Indonesia. Salah satu ilmu yang “didatangkan” ke Indonesia oleh kolonial adalah ilmu kedokteran modern. Tanggung jawab pemerintahan kolonial atas kesehatan masyarakat Hindia Belanda, utamanya terjadi ketika ditetapkan adanya Politik Etis kurun 1901 oleh Ratu Wilhelmina dengan mendatangkan dokter kristen misionaris.
Salah satu substansi dari Politik Etis itu adalah “lebih memanusiakan” negeri jajahan, dengan peranan luas mencakup kesehatan, ekonomi, juga infrastruktur yang dipandang bermakna bagi masyarakat serta menguntungkan bagi kolonial.
Politik Etis, sedikit banyak dipengaruhi oleh doktrin Kristiani. Belanda yang cukup signifikan sebagai kekuatan Kristen, memandang perlunya memenuhi misi moral terhadap penduduk di wilayah jajahannya, baik secara mental maupun material menuju perkembangan yang sejalan dengan prinsip Barat.
Baca juga: Kedekatan Dokter dan Penguasa: Hikayat Dokter Istana Era Islam Klasik
Karena sedikit banyak dipengaruhi oleh wawasan Kristen, Belanda juga membuka kran untuk kedatangan para misionaris dari negara mereka. Kedatangan para misionaris dari beragam negeri Eropa pada awal abad ke-19 ini mesti melalui izin Gubernur Jenderal setempat. Mereka bekerja utamanya di kantong-kantong kekuasaan VOC tak terkecuali di wilayah-wilayah yang kental dengan kekuasaan Islam, termasuk di Jawa. Setiap perkumpulan misionaris memiliki wilayah sendiri di Hindia.
Ulasan Leendert Quak dalam jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië yang diterjemahkan oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 memotret kontribusi dokter misionaris Kristen ini di Nusantara. Kerja-kerja misionaris, sebagaimana kerja-kerja dakwah umumnya apalagi ini dinilai datang dari penjajah, menemui resistensi masyarakat. Para misionaris ini juga membuka layanan pendidikan, dengan membuka sekolah-sekolah, serta klinik-klinik pengobatan. Layanan kesehatan dipandang sebagai cara yang efektif untuk bersentuhan dengan masyarakat pribumi dan mengambil hati mereka.
Mulanya, para misionaris membuka gereja sesuai ordo mereka dan membuka layanan tambahan seperti di atas. Pemuka gereja selalu dibekali sedikit ilmu pengobatan secara umum. Di masa kemudian, guru atau tenaga medis didatangkan sesuai visi dalam kerja misi gereja. Guru, dokter, juga perawat ini dibekali dengan “wawasan dakwah” sesuai gereja agar nanti bisa melakukan bimbingan pada para jemaat.
Di antara dokter merangkap misionaris Belanda yang cukup mempelopori layanan medis secara luas adalah J.G. Scheurer di Purworejo, Jawa Tengah, serta H. Bervoets di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Seiring dinamika politik dan perubahan struktur administrasi jawatan medis pemerintahan kolonial Belanda, rumah sakit pun berdiri di beberapa lokasi misionaris. Dokter-dokter dari Eropa didatangkan untuk bekerja di rumah sakit tersebut. Karena kelewat sibuk dengan kerja medis, para dokter tidak lagi merangkap sebagiai pengkhotbah dan penyampai Injil.
Mulanya rumah sakit misionaris bersifat swasta yang anggarannya tergantung dari dana gereja atau jemaat di negara asal. Politik Etis dan perubahan administrasi kesehatan kolonial memungkinkan rumah sakit para misionaris ini memperoleh sokongan dana tambahan, karena dipandang turut membantu kerja kolonial dalam perawatan kesehatan dan pendidikan di kalangan masyarakat pribumi. Tercatat bahwa pada tahun-tahun terakhir masa jajahan Belanda, penerimaan pasien rumah sakit di seluruh negeri nyaris seperempatnya dirawat di rumah sakit Kristen atau Katolik ini, yang tenaga medisnya dikepalai oleh dokter Eropa, dengan beberapa tambahan tenaga pribumi yang dibina oleh mereka.
Salah satu rumah sakit misionaris pertama adalah di Mojowarno, Jawa Timur, yang didirikan oleh dokter sekaligus pemuka Kristen Protestan dari Belanda, H. Bervoets. Ia tiba pada 1895 bersama dengan istrinya yang seorang perawat. Keduanya selain aktif dalam tugas gereja, juga mengedukasi perihal kebidanan untuk warga pribumi. Disebutkan ia melatih lima gadis pribumi untuk dijadikan tenaga kebidanan. Setelah kembali ke Belanda, Bervoets turut mendirikan perkumpulan Kristen yang bertujuan meningkatkan perawatan kesehatan masyarakat di Hindia Belanda.
Pada 1907, tercatat di masa itu rumah sakit Kristen Mojowarno memiliki 220 tempat tidur, yang seringkali penuh. Bagian rawat jalan rata-rata menerima 140 kunjungan pasien setiap harinya. Penyakit-penyakit lokal seperti patek/frambusia, ulkus sifilis, juga malaria, disentri, trakoma, demam tifoid, serta kusta, menjadi perhatian para dokter Eropa. Rumah sakit tersebut juga turut melaksanakan vaksin kolera.
Metode pembedahan pada batu kemih, hernia, termasuk bibir sumbing mulai diperkenalkan. Terkhusus kasus kebidanan, biasanya masyarakat hanya datang ketika ada kasus sulit karena peranan dukun beranak masih sangat sentral di masyarakat.
Kurun 1940, seorang dokter Eropa bernama A.P. Ketel yang mulai bekerja di Mojowarno pada 1927, meneliti kejadian tuberkulosis di daerah tersebut. Ketel melakukan kunjungan ke rumah-rumah, melakukan cek laboratorium darah dan dahak, sekaligus rontgen dada. Warga sekitar gereja dan klinik tersebut amat terbantu.
Misionaris medis Hindia Belanda giat dalam pengadaan dan pengajaran terhadap pribumi, sesuai kebutuhan dari rumah sakit atau klinik. Pemuda pribumi dilatih sebagai perawat atau bidan, baik dari kalangan kristen atau muslim. Para dokter misionaris juga menerjemahkan panduan dan buku-buku ke dalam bahasa Indonesia juga Jawa, sehingga isinya dapat dimengerti masyarakat luas. Karena rumah sakit misionaris ingin melayani seluruh lapisan masyarakat, lembaga ini membikin sistem rumah sakit sekunder serta klinik-klinik kecil di sekitar rumah sakit pusat, yang diisi oleh mantri atau bidan binaan, dan sesekali dikunjungi oleh para meneer ini.
Mengingat mulanya rumah sakit kristen ini kebanyakan didirikan secara swadaya melalui badan amal sebelum dibantu oleh pemerintah kolonial, beberapa lembaga yang belum tersentuh bantuan pemerintah tetap menjalankan fungsi klinik mereka melalui sumbangan publik atau dukungan ekonomi komunitas gereja mereka. Tidak hanya Jawa, rumah sakit para misionaris ini juga ada di Sumatera dan Sulawesi, sesuai daerah kantong-kantong kekuasaan Belanda kala itu.
Setelah 1910, beberapa kelompok baru bergabung dengan perintis-perintis klinik berbasis amal. Muhammadiyah termasuk di antara kalangan Islam yang memelopori klinik ini, dengan utamanya warga muslim setempat. Sentimen antar agama masih cukup kuat bagi banyak kalangan pribumi, karena imajinasi Kristen dan “Londho” sebagai penjajah masih kental di masyarakat.
Baca juga: Gus Mus: Sekarang Waktunya Para Dokter yang Berdakwah Kepada Ulama
Terlepas dari konteks politik etis kolonial, dokter Kristen turut menginspirasi model pelayanan kesehatan yang berasal dari lembaga agama di masyarakat, dan sedikit banyak menjadi jalan pembuka dialog Kristen dengan masyarakat pribumi, baik Islam maupun kepercayaan lain yang telah hidup sebelumnya. Dalam perkembangannya, kolonial Belanda juga menyadari pentingnya doktrin agama dalam promosi kesehatan untuk pribumi. (AN)