Gus Mus: Sekarang Waktunya Para Dokter yang Berdakwah Kepada Ulama

Gus Mus: Sekarang Waktunya Para Dokter yang Berdakwah Kepada Ulama

Gus Mus: Sekarang Waktunya Para Dokter yang Berdakwah Kepada Ulama

Pada masa pandemi seperti sekarang, bagi Gus Mus, berdakwah adalah tugas dokter, yaitu menjelaskan kepada para ulama tentang Covid-19, tidak hanya mengobati.

Sudah tidak diragukan lagi betapa besar peran dokter sebagai tenaga ahli kesehatan, lebih-lebih dalam masa pandemi seperti sekarang ini. Dokter berada di garis terdepan dalam menanggulangi covid-19, tak gentar meski nyawa adalah taruhannya dan harus meninggalkan keluarga di rumah.

Selain mengobati, dokter juga memiliki tanggung jawab dan peran untuk mengkonfirmasi segala macam bentuk hoax tentang kesehatan, memberitahu masyarakat tentang bahaya virus, serta menenangkan masyarakat dari kegaduan bahaya virus yang semakin bersemi di media.

Peran kedua inilah yang dimaksud oleh KH. Mustofa Bisri, Gus Mus sebagai peran dakwah dokter, utamanya dokter yang memiliki kaitan erat dengan ormas NU memiliki peran untuk memberikan pemahaman kepada masyarakatnya, bahkan juga kiai-kiainya.

Dalam masa seperti ini, dokter-dokter berperan dalam mendakwai orang-orang yang tidak mempercayai adanya virus ini, menganggap virus ini adalah virus abal-abal atau bagian dari konspirasi. Beberapa tokoh agama bisa tidak percaya apabila yang mendakwahkan tentang virus adalah sesama tokoh agama atau ulama, mengapa demikian? Karena ulama-ulama tersebut tidak pernah mengaji bab virus atau kesehatan.

“Oleh karena itu, sekaranglah saat yang sangat tepat bagi dokter untuk berdakwah,” begitu kata Gus Mus dalam acara Istighasah Online Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama.

Berbicara mengenai korban meninggal karena covid-19, tidak cukup hanya sampai pada tatanan takdir. Menurut kiai asal Rembang tersebut, ormas sebesar NU sudah cukup kuno apabila hanya berkutik di masalah takdir. Bagi Gus Mus, organisasi seperti NU seharusnya sudah selesai berbicara takdir, karena NU juga mengerti akan pentingnya hifdunnafsi, dalam hal ini yakni berikhtiyar dengan wajib menjaga protokol kesehatan.

Idza wusidal amru ila ghoiril ahli fantadzirissa’ah, maksudnya kita harus menempatkan sesuatu kepada yang mestinya.

“Kalau berbicara kesehatan, ya, memang dokter, bukan dukun, bukan ustadz, apalagi bukan pikiran sendiri,” lanjut Gus Mus.

Dilihat dari hasil survei Narasi dan JakPat mengenai respon masyarakat terhadap penyakit covid-19 ini memang cukup mengkhawatirkan. Dari 2006 responden, survei yang dilakukan pada 16-17 Juli 2020 ini menunjukkan hasil yang mengejutkan. Ada sekitar 5,86 % responden yang tidak mematuhi protokol kesehatan, 16,95 % mempercayai teori konspirasi, dan 34,35 % masyarakat tidak percaya konspirasi tapi masih menganggap bahwa teori tersebut masuk akal.

Ketidakpercayaan masyakarat juga sangat dipengaruhi oleh beberapa aktor dan publik figure yang mengutarakan kepercayaannya terhadap konspirasi lewat media sosial. Dalam kondisi inilah peran dakwah dokter dibutuhkan. Sebagai orang yang semestinya dijadikan rujukan kesehatan, tenaga medis harus melawan stigma konspirasi dan anggapan bahwa virus ini adalah bagian bisnis yang terus berkembang di masyarakat.

Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menyatakan:

“Beberapa bentuk dari kebodohan adalah ketika seseorang itu menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, menceritakan semua yang ia lihat, dan menyebutkan semua hal yang diketahui. Mengapa orang tersebut dikatakan bodoh? Karena jika ia berilmu, tentunya ia mengetahui bahwa untuk menjawab suatu pertanyaan haruslah didasari oleh suatu keilmuan yang sesuai dengan bidangnya. Sementara keilmuan yang dimiliki manusia sifatnya terbatas.”

Bagi Gus Mus, berdakwah kepada ulama, termasuk juga para artis, atau publik figure yang tidak memahami dunia kesehatan adalah tugas para dokter dan tenaga medis. Mereka lah yang mengerti dan belajar banyak tentang penyakit dan virus.

Tugas untuk menanggulangi virus corona ini sebenarnya bukan hanya tugas dokter dan tenaga kesehatan. Dibutuhkan juga peran masyarakat yang kuat dan sadar akan tanggung jawab masing-masing. Jika dokter dan tenaga kesehatan memiliki peran menjaga pasien, pemerintah menyiapkan regulasinya, peneliti berperan dalam menemukan obat dan vaksin, maka kita sebagai masyarakat berperan dalam menjaga dan mematuhi protokol kesehatan.

Mengutip perkaatan Gus Mus, “Kita bersama yang tidak bisa apa-apa ya berdoa, masa berdoa tidak bisa. Tapi yang bisa apa-apa, kenapa tidak melakukan apa-apa?”

Sekali lagi beban ini adalah beban semua masyarakat, tidak dokter saja, tidak pula pemerintah saja, tapi semuanya. (AN)

Wallahu ‘alamu bi showab.