Coba amati saat pengendara mobil atau motor berhenti di perempatan atau pertigaan jalan karena traffic light sedang menyala merah. Bagi mereka, dua menit (120 detik) adalah waktu yang terasa begitu lama. Bahkan tidak perlu dipikir terlalu dalam pun kita akan heran, mengapa ada orang yang menganggap bahwa waktu dua menit terasa begitu lama hingga menunggu sampai di detik ke-121 terasa menguras seluruh energi hidupnya.
Begitu tidak tahannya dengan hitungan detik, hingga mereka melakukan hal-hal bodoh yang betul-betul tidak masuk akal. Mereka membunyikan klason dengan keras dan berkali-kali meminta barisan mobil atau motor di depannya untuk segera bergerak seakan-akan para sopir di depannya menikmati pemberhentian lampu merah sambil bertelekan santai seperti berjemur di pantau sambil menikmati angin sepoi.
Ketika ada satu manusia waras yang mengingatkan sopir di sebelahnya untuk tidak membunyikan klakson karena lampu bangjo toh masih menyala merah, mungkin dia akan didamprat oleh sopir tersebut. Jika para pembunyi klakson lain mendengar teguran yang sepenuhnya masuk akal itu, mungkin dia pun akan menjadi target damprat bersama. Tiba-tiba orang waras menjadi musuh bersama.
Apakah pembunyi klakson saat lampu merah masih menyala adalah orang-orang tak terdidik? Apakah mereka orang-orang kampung yang tidak mengenal peradaban kota? Apakah mereka tidak pernah mendapat pendidikan agama? Pendeknya, apakah mereka tidak pernah dididik oleh orang tuanya atau gurunya bahwa Tuhan mencintai manusia yang sabar?
Di sini, tiba-tiba kita tahu bahwa kualitas sabar itu berhubungan erat dengan ke_waras_an hidup. Saat menghadapi masalah, orang cenderung mudah baper. Ibaratnya, tidak bisa kesenggol dikit, bawaannya pingin marah. Jangankan kesenggol, menunggu beberapa detik, dan itupun untuk keselamatan dirinya, saja tak setiap manusia sanggup melakukannya. Benarlah banyak yang mengatakan bahwa sabar itu tak semudah mengatakannya.
Hanya orang yang memiliki kualitas kesabaran yang baik yang akan memiliki kewarasan hidup yang baik. Kewarasan ini bisa merujuk pada kewarasan fisik juga mental. Andaikan orang yang tidak sabar menunggu beberapa detik lampu merah di perempatan jalan itu nekad menerobos, kemungkinan besar yang akan ditemui adalah kecelakaan yang akan mencederai dirinya. Ketidaksabaran juga membuat orang menguras energi hidupnya, meledakkan kemarahannya, hanya karena harus berdiam beberapa detik menunggu gilirannya tiba.
Seenteng inilah menjelaskan mengapa kita perlu sabar dalam hidup. Tak terhitung ayat Kitab Suci dan Hadits Nabi yang menjelaskan betapa mulianya orang sabar dan betapa Tuhan sangat menyayanginya. Juga, sebegitu seringnya ulama hingga kawan menasihati kita untuk bersabar dalam menghadapi masalah. Tapi bahkan wahyu Tuhan dan sabda Nabi tentang kesabaran berlalu begitu mudah saat justru kita sangat membutuhkannya.
Sabar memang mudah diplintir untuk meninabobokkan orang agar menerima kezaliman yang menimpanya, sambil memberi janji bahwa kesabarannya akan mendapat ganjaran surga di akhirat. Bukan kesabaran jenis ini yang dibutuhkan dalam hidup. Kesabaran jenis ini hanya akan membuahkan kritikan bahwa agama adalah candu yang meninabobokkan masyarakat dari situasi ketidakadilan yang menimpanya. Jelas, ini negatif!
Kesabaran positif adalah kesabaran yang tidak membuat orang tidak melakukan apa-apa dalam hidupnya. Kesabaran positif adalah kesabaran yang dibutuhkan saat seseorang memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam hidupnya. Ketika seseorang sedang berjuang untuk meraih sesuatu, pada saat itu dia memerluka kesabaran. Tanpa kesabaran, bisa dipastikan dia akan menyerah sebelum menuntaskan tugasnya. Sabar akan membuat seseorang bediri tegak mengatasi masalah pada saat yang lain hanya bisa mengumbar marah atau menyerah.
Nabi Muhammad memberi contoh kesabaran yang sangat menakjubkan. Contoh itu terjadi saat peristiwa pengepungan Madinah orang pasukan sekutu. Pengepungan ini membuat kaum Muslimin hanya bisa berdiam diri di dalam kota. Situasinya sangat mengenaskan. Bukan pekerjaan mudah untuk berdiam di kota saat kota sedang dalam kepungan. Hanya kesabaran tingkat dewa yang bisa membuat orang tidak jatuhnya moralnya.
Saat-saat seperti itu, Rasul Muhammad menunjukkan kesabaran luar biasa. Dia tidak pernah putus harapan akan kemenangan. Dia sadar bahwa pengepung juga memiliki keterbatasan sumberdaya seperti penduduk kota yang sedang dalam kepungan. Dalam situasi seperti ini, kesabaranlah yang akan menentukan siapa pemenangnya. Sungguh, pertunjukan kualitas kesabaran tingkat dewa.
Saat ini, ketika virus Corona sedang menyerang kita, kita hanya diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah untuk menyelematkan diri kita. Hanya di dalam rumah. Tak perlu mengangkat senjata. Tak seperti penduduk Madinah yang sama sekali tidak bisa keluar, kita masih boleh keluar untuk memenuhi kebutuhan penting, asal tetap mematuhi protokol medis yang tepat. Tapi, ternyata tinggal di dalam rumah, sekalipun itu untuk keselamatan kita, bukan perkara mudah. Meninggalkan kebiasaan nongkrong di warung kopi atau kongkow-konkow dengan teman atau jalan-jalan di mall, saja tidak bisa. Padahal hanya perlu tinggal di rumah selama dua minggu.
Protokol “tinggal di rumah selama dua minggu” akan dilanggar oleh mereka yang tidak punya kesabaran, sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya, nyawa keluarganya, nyawa orang-orang sekitarnya, dan nyawa bangsanya. Tidak mengherankan jika M. Faizi, kiai-sastrawan dari Sumenep menulis: ”Bukan pekerjaan mudah karantina diri selama setengah bulan di rumah jika kebiasaannya tidak betah menunggu tiga detik saja di lampu merah.”