Di tahun-tahun menjelang Perang Jawa 1825-1830, Diponegoro beberapa kali mendapatkan vision dan mimpi-mimpi sarat ramalan dan pesan simbolik terkait perannya di masa depan.
Salah satu mimpi-penglihatan yang paling penting, ia dapatkan di malam 21 Ramadan tahun 1824 (19 Mei 1824); penglihatan yang mengindikasikan penunjukan dirinya sebagai Ratu Adil telah dilakukan.
Dalam mimpinya, Diponegoro bertemu Ratu Adil yang berpakaian seperti pakaian haji dari Mekkah, wajahnya bercahaya. Diponegoro mengaku tidak sanggup melihatnya, tapi dia mengenali warna busana yang dikenakan sang Ratu Adil;
15] Kanjeng pangeran tan kuwasa uning, aningali marang kang wedana, sang ratu adil cahyane, kasor ing ngarga tuhu, nging busana awas ningali, kanjeng pangran sedaya, ijem srebanipun, ara sukan jubah seta, lan selana seta ngagem sebeabrit, ngaler ngilen ajengnya. [Babad Dipanegara, jilid II]
(15] Kanjeng Pengeran [Diponegoro] tak kuasa melihat, atau mengenali wajah, sang Ratu Adil yang cahayanya, mengalahkan matahari. Hanya busana yang mampu dikenali, oleh Pangeran secara menyeluruh; surbannya hijau, mengenakan jubah dan celana putih serta selendang merah. Wajahnya menghadap ke barat laut.)
Penglihatan, mimpi dan wangit yang didapatkan Diponegoro ini memberikan pengaruh tersendiri yang secara spiritual memupuk keinginannya untuk menggalang pemberontakan terhadap Keraton.
Dengan back up dari pemerintahan kolonial, Keraton terus-menerus membuat putusan dan kebijakan yang menghadirkan ketakutan, kemiskinan dan disintegrasi tatanan sosial bagi masyarakat Jawa.
Di Tegalrejo, pada tahun ketika Diponegoro pertama kali mendapat penglihatan penunjukan dirinya sebagai Ratu Adil, pacul dan arit mulai diasah, bambu-bambu dipotong dan diruncingkan, seluruh petani dan santri Tegalrejo meningkatkan kesiagaan guna menghadapi perang.
Simbolisasi warna yang disebutkan oleh Diponegoro tentu tidak muncul begitu saja. putih, merah dan hijau adalah warna yang mewadahi perpaduan dari visi, misi dan semangat yang akan diusung oleh perang Jawa bentukan Diponegoro.
Warna-warna tersebut adalah hakikat dan pesan-pasemon dari sosok Ratu Adil yang ditemui Diponegoro. Dari warna itulah Diponegoro mengaktifkan kedalaman batin dan kekuatan interpretasinya, yang kemudian melahirkan beberapa penglihatan lanjutan yang didapatnya di Gua Secang Selarong hingga beberapa bulan sebelum meletusnya pemberontakan pada Juli tahun 1825; penglihatan-penglihatan yang menyiratkan penunjukkannya sebagai Ratu Adil, legitimasi al-Qur’an dan wahyu atas perang yang dipimpinnya, yang merupakan mandat langsung dari Allah dan Rasulnya dan penegasan bahwa perang tersebut adalah perang untuk mengusir penjajah dan mengembalikan stabilitas tatanan sosial di Jawa.
Warna memang sesuatu yang simbolik dan sekunder, tapi jika itu menyangkut konstruksi visi dan misi lokus budaya yang diwakilinya, maka memaknai warna tak kalah pentingnya dengan memaknai kebudayaan itu sendiri.
Warna adalah pengentalan dari berbagai macam dinamika dan gesekan yang muncul, yang menjadi perlambang dan kekhasan bagi sesuatu yang diwakilinya. Begitu juga dengan fungsi simbolisasi warna dalam uraian Diponegoro mengenai penglihatan yang didapatnya.