Presiden Jokowi menekankan diksi “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari rumah” sebagai langkah antisipasi penyebaran virus Covid-19 semakin luas. Beberapa hari pasca himbauan Presiden tersebut untuk membatasi interaksi di masyarakat, malah keputusan “abnormal” yang diambil oleh beberapa organisasi keagamaan. Mereka malah “nekat” melaksanakan kegiatan besar yang melibatkan massa besar, diantaranya Misa Pentahbisan di Ruteng dan Ijtima Dunia zona Asia di Gowa. Selain itu, juga ada ajakan dari salah satu mantan Panglima TNI untuk meramaikan masjid sebagai langkah melawan pandemi tersebut.
Himbauan Pemerintah di atas tidak membedakan antara kegiatan keagamaan atau bukan, tapi mengapa dua kegiatan tersebut masih bisa terjadi? Tentu saat kita ingin menjawab pertanyaan tersebut tentu bukan hal yang mudah.
Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang berkontraksi kala himbauan tersebut diumumkan Presiden tentu tidak sedikit. Banyak yang menyebutkan kohesi sosial dan keberagamaan masyarakat Indonesia menerima dampak paling besar dalam himbauan Pemerintah tersebut.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang tidak biasa dibatasi secara hukum, tentu mengalami guncangan kultural ketika himbauan dari Pemerintah terkait virus Covid-19 yang mengharuskan membatasi interaksi antar warga. Betapa tidak, sepanjang fenomena Covid-19 ada di Indonesia tidak sedikit orang mengeluhkan kelangkaan atau melambungnya harga bahan makanan dan alat pelindung diri (APD), seperti masker atau hand sanitizer.
Kemarin saja di salah satu acara Talkshow, seorang dokter mengaku bahwa mereka tidak mendapatkan senjata yang lengkap dari pemerintah, baik data hingga berbagai alat kesehatan untuk melawan Covid-19 ini. Kondisi yang sama dikeluhkan juga oleh mantan saya, seorang petugas kesehatan pemerintah, yang harus menghemat APD saat bekerja untuk melawan Covid-19, bahkan ia harus membeli sendiri karena persediaan dari kantor tempatnya bekerja sangat sedikit.
Kelangkaan bahan pokok dan APD dalam suasana krisis tentu bukan fenomena ekonomi, di mana ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan berefek pada defisit stok barang, tapi sebuah bencana kemanusiaan. Perilaku borong dan menimbun barang sebagai faktor paling bertanggungjawab atas kondisi ini seharusnya tidak terjadi.
Bagaimana tidak jika kita melihat pada kohesi sosial masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan tersebut. Dalam kondisi krisis ini, pemerintah harus mengambil peran besar untuk memandu rakyatnya agar tidak terjadi kekacauan, bukan malah mengekspor APD keluar negeri.
Tugas Negara adalah memastikan semua warga mendapatkan perlindungan yang merata terutama dalam bahan pokok kehidupan, seperti makanan. Rakyat Indonesia tentu juga harus mengambil inisiatif bersama-sama untuk saling menjaga dan membantu agar tidak ada satupun kelompok masyarakat yang harus berada di titik paling rawan.
Sila ketiga Pancasila telah lama kita rapal sebagai “mantra” untuk selalu bersatu atau bersama sebagai nilai utama di masyarakat. Tentu tidak ada yang bisa membantah fakta tersebut, tapi kita dikejutkan ketika pasar bahan pokok dibiarkan diborong habis. Gotong royong dan berbagi dalam keadaan apapun, termasuk krisis, merupakan ujian pengamalannya terutama dalam melewati krisis Covid-19 ini.
Kondisi di atas hanya satu dari tantangan kemanusiaan yang harus dihadapi Bangsa Indonesia di awal penyebaran Covid-19 ini. Baru-baru ini kita kembali menghadapi satu masalah lagi, yaitu persoalan ritual keagamaan. Religiusitas yang tinggi masyarakat Indonesia bukan isapan jempol belaka. Faktanya, kehadiran agama di ruang publik bukan barang aneh dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu ini membuat dampak tersendiri pada agama, atau lebih tepatnya pemeluk agama, terhadap pembatasan interaksi antar manusia yang dihimbau oleh Pemerintah.
Negosiasi alot gamblang terlihat dalam beberapa hari terakhir, yang melibatkan Pemerintah, agamawan, masyarakat umum, hingga organisasi keagamaan. Seharusnya tidak mengejutkan kita bersama jika melihat salah satu dari dua kasus kegiatan keagamaan di atas masih bisa terlaksana. Posisi agama di Indonesia memang unik, terutama terkait ritual atau kegiatan keagamaan. Terlepas ini persoalan teologis, posisi Pemerintah di hadapan pemeluk agama terlihat gamang. Tidak saja karena secara politis tentu sangat merugikan jika pemerintah tidak memberikan kenyamanan (baca: previledge) bagi kelompok mayoritas.
Dampaknya, pembatasan ritual ibadah yang bertujuan melindungi kesehatan warga masih belum bisa diterima oleh kebanyakan pemeluk agama. Saya melihat persoalan ini terjadi di Indonesia karena posisi agama dalam masyarakat Indonesia bukan saja sebagai relasi antar Tuhan dan manusia belaka, tapi juga digunakan sebagai identitas politik, atau minimal legitimasi aksi politik mereka.
Hal ini kita bisa lihat kala himbauan pembatasan ibadah massa dengan alasan pencegahan persebaran makin meluas, ada kegamangan jika tidak bisa dibilang penolakan. Kelompok masyarakat yang menolak tidak bisa dikotomi atau dipisahkan karena pemahaman teologis belaka, terutama di era digital ini. Berbagai alasan bisa kita jumpai dengan mengambil dalil agama secara serampangan untuk meluluskan argumen dari kelompok yang menolak.
Argumen pseudo-teologis malah bertebaran karena kebanyakan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak memahami seluruh dalih kelompok Jabariyyah, yang dianggap biang kerok dari banyak penolakan. Malah mungkin kebanyakan tidak memahami apa itu Aliran Jabariyyah. Hanya ada beberapa kemungkinan yang bisa kita lacak mengapa masih ada penolakan pada fatwa MUI tersebut. Pertama, pemahaman soal takdir ala Jabariyyah terselip dalam berbagai pengajaran akidah di berbagai level pendidikan.
Kedua, ada percampuran antara persoalan politik dengan agama. Imbasnya keputusan MUI masih dicurigai sebagai ulah Pemerintah ingin menjauhkan umat Islam dari masjid. Persoalan sisa pertarungan politik Pilpres kemarin masih terasa, sehingga ketika fatwa MUI sejalan dengan Pemerintah, yang dikuasai oleh pemenang Pilpres kemarin, maka ada kecenderungan di masyarakat apatis fatwa tersebut tidak membawa tendensi politik. Misalnya, saya mendapati argumen “lebih baik kita menunggu saja fatwa dari ulama lokal yang bersih hatinya” karena ketidakpercayaan mereka terhadap MUI untuk kasus Covid-19.
Ketiga, belasan halaman fatwa MUI tersebut mungkin saja tidak dibaca secara keseluruhan oleh beberapa pemuka agama Islam, sehingga pengurangan interaksi dalam ritual berjamaah, termasuk salat Ied dan Jumat, bisa dipersepsikan berbeda oleh beberapa pemuka agama. Padahal dalam fatwa itu disebutkan cukup rinci, baik secara hukum, tata cara pelaksanaan pengganti hingga alasan pengambilan hukum, belum dipakai secara massif di masyarakat.
Fatwa tersebut juga perlu dibaca sebelum dijelaskan guna mencegah kebingungan dan kesimpangsiuran informasi pasca keputusan tersebut beredar di masyarakat. Kementerian Agama bersama MUI harus mengambil peran lebih banyak lagi dalam bingkai ritual keagamaan dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. Konsolidasi dengan berbagai pihak terkait, seperti Dewan Masjid Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional, Persekutuan Gereja Indonesia dan beberapa lembaga keagamaan, guna memberikan arahan untuk berbagai kelompok agama dalam pelaksanaan ritual keagamaan selama kondisi krisis.
Selain itu juga berupaya aktif menyediakan payung kedua setelah milik pemerintah, kalau ada, bagi kelompok paling rentan dan terdepan, seperti masyarakat miskin, kelas menengah ke bawah, pengantar makanan hingga pekerja kesehatan yang memiliki resiko terbesar terjangkit jika virus tersebut telah sampai wilayah tersebut.
Seluruh organisasi keagamaan juga harus mulai memperhatikan persoalan persebaran informasi yang mulai membingungkan masyarakat. Ketika disepakati pilihan paling aman adalah mengurangi konsentrasi massa, maka jika ada beberapa oknum yang menggunakan nalar atau narasi agama untuk mempengaruhi masyarakat bertindak di luar tersebut, organisasi bisa memberikan teguran keras kepada siapa saja yang mengajak bertindak sembrono selama krisis.
Hal tersebut perlu dilakukan agar masyarakat tetap terlindungi di dalam kondisi yang rentan memancing kepanikan. Sebagaimana dijelaskan di atas, manusia rentan sekali terpancing untuk panik jika kondisi krisis seperti sekarang ini menerima beberapa informasi yang bertolakbelakang. Arkian, kohesi sosial termasuk ikatan sesama umat beragama harus saling menjaga, agar imunitas terhadap virus Covid-19 juga menjalar pada kekebalan terhadap informasi bohong atau menyesatkan, entah itu menggunakan nalar, narasi atau dalil agama sekalipun.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin