Dihantam Bencana Alam, Tanda Bahwa Indonesia Sedang Krisis Ekologi atau Karena Pengusaha Rakus?

Dihantam Bencana Alam, Tanda Bahwa Indonesia Sedang Krisis Ekologi atau Karena Pengusaha Rakus?

Awal 2021, Indonesia dirundung banyak musibah. Mulai dari pandemi Covid-19 yang tak kunjung hengkang, sampai sejumlah bencana alam yang merenggut banyak jiwa.

Dihantam Bencana Alam, Tanda Bahwa Indonesia Sedang Krisis Ekologi atau Karena Pengusaha Rakus?
ANTARA FOTO/JESSICA HELENA WUYSANG

Konon, akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu lainnya. Tapi, akhir tahun 2020 tampaknya adalah pengecualian. Belum selesai kita digempur oleh pandemi setahun lamanya, awal tahun 2021 kita kembali dihadapkan pada kenyatan lain yang tak kalah pilu.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), misalnya, mencatat bahwa sebanyak 136 bencana alam telah terjadi di Indonesia sepanjang 1-16 Januari 2021.

Menurut data yang dirilis BNPB, bencana alam terbanyak yang terjadi adalah banjir sebanyak 95 kejadian, tanah longsor 25 kejadian, puting beliung 12 kejadian, gempa bumi 2 kejadian dan gelombang pasang 2 kejadian.

Akibatnya, sebanyak 405.584 orang terdampak dan mengungsi. Ini belum termasuk bencana alam dari luncuran awan panas gunung Semeru yang belakangan terjadi.

Sementara itu, bencana alam besar yang juga baru saja terjadi, antara lain, adalah gempa di Majene Sulawesi, dan banjir di Kalimantan Selatan.

Hingga Sabtu, 16 Januari 2021 pukul 20.00 tercatat sebanyak 47 orang meninggal dunia di Kabupaten Mamuju dan 9 orang di Kabupaten Majene.

Adapun jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi di Sulawesi Barat terus bertambah akibat gempa berkekuatan 6,2 skala Richter (SR) mengguncang Sulawesi Barat pada sehari sebelumnya.

“Korban luka mencapai 637 orang di Kabupaten Majene dengan rincian sejumlah 12 orang luka berat, 200 orang luka sedang dan 425 orang luka ringan. Sedangkan di Kabupaten Mamuju terdapat 189 orang mengalami luka berat atau rawat inap,” demikian kutipan dari siaran pers BNPB, Ahad, 17 Januari 2021.

Dari sekian bencana yang terjadi, banjir di Kalimantan adalah bencana yang barangkali cukup banyak disorot. Soalnya, ini terjadi bukan karena sebab tunggal, seperti gempa bumi atau erupsi gunung berapi.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, banjir di Kalimantan ini terbilang sebagai yang terparah sejak tahun 2006. Di saat yang sama, sejak tahun 2006 itu pula bencana banjir terus berulang tanpa ada perhatian khusus dari pemerintah.

Memang, demikian Kisworo, banjir di awal tahun ini dimungkinkan oleh curah hujan dengan intensitas tinggi. Meski begitu, menurut dia, ada faktor lain yang membuat banjir di Kalsel kian parah dari tahun ke tahun, yakni darurat ruang dan darurat bencana ekologis.

“Selain carut marut tata kelola lingkungan dan sumber daya alam, banjir kali ini sudah bisa diprediksi terkait cuaca oleh BMKG,” kata Kisworo, dikutip CNNIndonesia.

Kisworo mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir, Kalsel mengalami degradasi lingkungan. Dari catatan Walhi, di provinsi tersebut terdapat 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batu bara.

Sebagian lubang berstatus aktif, sebagian lain telah ditinggalkan tanpa reklamasi. Lebih lanjut, menurut Kisworo, dari 3,7 juta hektar total luas lahan di Kalsel, hampir 50 persen di antaranya sudah dikuasai oleh perusahaan tambang dan kelapa sawit. Alhasil, kerusakan ekosistem alami di daerah hulu yang berfungsi sebagai tangkapan air menyebabkan kelebihan air di daerah hilir yang menyebabkan banjir.