Dicky Budiman adalah seorang seorang dokter, epidemiolog, dan pakar global health security dan peneliti Indonesia dari Universitas Griffith, Australia. Dicky Budiman juga pernah menjabat Sekretaris Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2016–2018. Ia dikenal secara luas sebagai analis Covid-19 untuk Indonesia.
Sebagai epidemolog, Analisa terkait wabah Covid-19 tersebar di pelbagai media massa cetak dan online. Tim redaksi Islami.co, berhasil mewawancarai pria yang pernah menjabat Direktur Pengendalian Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk membahas urgensi sains di era modern. Dan bagaimana peluang anak muda Indonesia untuk berkiprah dalam sains dan teknologi sehingga Indonesia menjadi negara maju. Berikut hasil obrolan kami.
Sejak kapan Anda mulai tertarik mengguliti bidang sains?
Saya mulai tertarik belajar sains sejak SD. Hal itu tidak terlepas dari idola kecil saya yakni BJ Habibie. Sejak menempuh Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1978, saya sudah mengidolakan Presiden Indonesia ketiga Indonesia tersebut. Tak bisa dipungkiri, bahwa sosok BJ Habibie, juga merupakan sainstis yang juga taat dalam agama.
Kendati menyukai pelajaran sains, akan tetapi tidak melupakan pelajaran humaniora, seperti PPKn, Bahasa, dan Sejarah dan sebagainya. Hal itulah membuat saya sejak SD sampai SMA, selalu menjadi juara umum. Bahkan menjadi juara umum tingkat kabupaten dan kota. Pun berkat disiplin dari orang tua, saya beberapa kali menyabet menjadi siswa teledan.
Yang saya pahami sejak kecil, bahwa tidak hanya dalam pelajaran sains, tetapi juga pelajaran yang non sains ya—yang sifatnya penting—, seperti Bahasa sejarah dan sebagainya. Untuk itu saya juga sempat masuk Pondok Pesantren sampai tamat SMA. Artinya sembari sekolah umum saya juga masuk pesantren. Pasalnya, saya tinggal di daerah Rangkas Bitung, Lebak, Banten yang kita tahu religius masyarakatnya sangat kuat. Di Pesantren itu, saya ikut pelbagai kegiatan keagamaan, yakni lomba ceramah dan pidato.
Saat di pesantren Anda belajar apa saja? Dan pelajaran yang Anda suka?
Nah ketika saya di Pesantren, saya juga belajar Al-Qur’an dan Hadis, tentu juga Bahasa Arab. Yang penting di Pesantren saya juga belajar bagaimana hidup secara, apa adanya—hidup mandiri—, meskipun orang tua saya seorang dokter. Tidur di lantai, makan seadanya. Saat di pesantren dulu tahu, tempe, dan telor itu barang mewah.
Dan pelajaran agamalah yang paling saya suka adalah pelajaran sejarah Islam. Yang memberikan motivasi tambahan bagi saya adalah saya jadi tahu bagaimana ilmuwan Islam yang bisa mencerahkan dunia. Matematika Al Jabar, dan begitupun dalam kedokteran itu adalah orang-orang Islam. Yang membuat salut adalah para sainstis Islam awal, selain sebagai seorang dokter mereka juga adalah seorang ulama; Ibnu Sina, Khawarizmi, dan Al Jabar, itu panutan bagi banyak kaum muslimin, termasuk saya. Dan memberikan motivasi untuk terus memilih bidang sains murni—fisika nuklir saat—, saya ambil ketika tamat SMA.
Saat itu ada Profesor BJ Habibie punya program tahun 1990 beasiswa STAID (Science, Technology, and Industrial Development). Jadi lulusan SMA terbaik itu dibiayai dan beasiswa untuk sekolah di Eropa. Saya mengambil fisika nuklir dalam program tersebut. Namun, ternyata bapak saya yang dokter tidak setuju saya jadi ilmuwan yang sekolah ke Eropa, sehingga saya membatalkan studi ke Jerman. Saat itu saya berpikiran taat pada orang tua.
Bagaimana awal mula Anda tertarik dalam Bidang epidemiolog?
Jadi begini, setelah tidak membatalkan studi fisika nuklir di Jerman, oleh orang tua yang juga seorang dokter lulusan Padjajaran Bandung, menyarankan untuk mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Bandung, untuk memilih jurusan kedokteran. Akhirnya, dengan dalih taat pada orang tua, saya memutuskan di bidang kedokteran UNPAD. Pada masa kuliah pertama di UNPAD, saya belum mengenal istilah epidemolog, kendati bapak saya merupakan dokter sekaligus epidemolog awal di Indonesia.
Seiring berjalan waktu, kuliah di kedokteran UNPAD saya mulai menyadari saya tertarik di public health (kesehatan masyarakat) khususnya bidang epidemiologi. Jadi pendek kata, bidang public health, adalah bidang yang saya gemari dan jadi favorit, sebab bertemu dengan masyarakat yang luas. Bedanya dengan dengan spesialis, yang ditangani satu atau dua orang pasien. Nah kalau public health, yang ditangani bisa satu kabupaten, bisa satu provinsi atau satu negara, lebih jauh lagi dunia. Itu yang membedakan itu.
Pun itu pula yang menjadikan saya mendalami epidemiolog. Pasalnya, jika kebijakan salah dan jadi korban bukan satu atau dua orang, tetapi bisa sampai jutaan orang. Itu bedanya dengan klinisi atau dokter spesialis. Nah Indonesia, masih minim ahli dalam kesehatan masyarakat, khususnya yang membidani dalam bidang wabah global (global security). Bahkan kayaknya di Indonesia sebelumnya tidak ada, saya yang pertama.
Selesai kedokteran UNPAD memutuskan bekerja menjadi dokter. Pun akhirnya, mendapatkan pekerjaan sebagai kepala Puskesmas. Tidak lama berselang, sekitar tahun 2002 saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di bidang Epidemologi, dan mendapatkan gelar master dalam bidang epidemolog. Itu saya dapatkan sekitar 20 tahun lalu.
Nah kemudian, setelah master dalam epidemologi dan kesehatan masyarakat, saya mengabdi di Kementrian kesehatan, dan Lembaga internasional dan mengnjungi banyak negara,bisa memberikan kontribusi dalam kebijakan yang diambil oleh negara, bahkan dunia untuk menyelamatkan ratusan juta orang.
Pada tahun 2018, saya melihat bahwa ahli kesehatan global (global security) di Indonesia belum ada, saya pun memutuskan untuk melanjutkan doctoral di bidang security global, dan mendapatkan beasiswa lagi di Griffith University, kendati pada awalnya terbilang susah mencari beasiswa bagi usia di atas 45 tahun.
Kisah Anda Menarik, seorang muslim yang belajar di pesantren dan memutuskan menjadi dokter dan epidemiolog, Nah bagaimana Anda Melihat hubungan Islam dan sains?
Terkait Islam dan sains, jadi Islam itu adalah agama yang memberikan banyak hal dalam hidup manusia. Tentu saja memberikan pencerahan dalam peradaban manusia, terlebih jika kita baca sejarah Islam, umat Islam mampu menerangi dunia, padahal eropa sat itu masih dalam masa kegelapan. Bahkan kotoran manusia itu di Eropa di buang di tengah jalan. Berbalik dengan dunia Islam, yang sudah maju, sudah memperkenalkan sanitasi. Ada toilet yang lengkap. Dan itu berbasis sains, itu jadi warisan besar Islam.
Jadi jika bicara Islam ya sains, kalau bicara sains ya Islam. Bicara kodekteran, matematika , fisika, astronomi, dan geografi itu dari ulama Islam yang menjadi ilmuwan. Bahkan lebih jauh lagi, rumah sakit pertama di dunia, itu yang membuat dan menemukan Islam. Pendek kata, Islam itulah yang memperkenalkan pada dunia tentang ilmu pengetahuan yang sesungguhnya yang menjadi rujukan kemajuan Barat saat ini.
Dan untuk diketahui, bicara Islam itu kita bicara Al-Qur’an dan hadis, yang merupakan mukjizat dari Allah. Bahkan dalam banyak ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang sains dan terbukti kebenarannya, seperti bahwa manusia bisa menembus langit dan luar angkasa.
Begitu pula tentang siksaan neraka, itu juga terbukti. Sebab dalam syaraf kulit itulah syaraf perasa itu ada. Lebih jauh lagi, bahwa banyak ilmuwan yang mendapatkan nobel itu ide-idenya dari Al-Qur’an. Misalnya tulang ekor manusia, sudah ada jelas dalam Al-Qur’an. Tulang ekor itu tulang yang akan kembali lagi menjadi asal muasal penciptaan manusia, itu dibuktikan oleh imuwan Jerman, dan akhirnya mendapatkan nobel. Jadi bicara Islam tidak bertentangan dengan sains.
Jika mau meraih imu yang sesungguhnya yaitu Al-Qur’an dan hadis. Makanya kita sebagai seorang muslim mengingatkan bahwa Al-Qur’an dan hadis pegangan bagi manusia;
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Manusia tidak tersesat jika berpegang pada sunnah dan Al-Qur’an, itu yang wajib dipelajri sifatnya. Itulah yang dilakukan oleh para ilmuwan dan pemimpin masa lampu, sehingga mampu membawa peradaban Islam yang maju. Bisa menguasai dunia dan jadi pionir. Oleh karena betul mempelajari Al-Qur’an. Jadi dalam Islam yang sesungguhnya dipelajari tidak ada pertentangan antara Islam sains.
Jika ada sains yang seolah-olah bertentangan dengan Al-Qur’an, makaperlu dilihat sainsnya, jangan-jangan belum mampu terungkap kebenarannya, sebagaimana dulu misalnya dikatakan bumi itu bulat. Al-Qur’an sudah dahulu mengatakan hal tersebut. Akan tetapi manusia kala itu belum bisa membuktikan, nah sekarang sains sudah membicarakan ilmu itu bulat. Itu yang membutuhkan pelajari lebih jauh dalam Al-Qur’an terlebih dalam bidang yang ada kaitannya dengan sains.
Bagaimana agar anak muda muslim belajar sains?
Sebagai muslim yang besar di dunia, kekayaan sumber daya alamnya luas dan kaya, nah saya ingin mengatakan belajar sains itu penting. Belajar matematika misalnya itu penting. Belajar logika juga penting. Itu membuat critical thingking, berpikritis lahir dari ilmu sains. Yang mendasari itu semua sains. Orang ahli sejarah, sosiologis dan semuanya itu logika dasarnya adalah matematik dasar, itu untuk membangun critical thingking. Membangun logika ilmiah, itu dasarnya. Sains itu sebabnya penting dikuasai. Karena orang yang paham sains akan memiliki dasar, bepikir kritis dan respon masalah dengan cepat dan analisa yang tepat.
Sains ini harus dipahami bukan semata kimia, fisika, astronomi, akan tetapi sains itu sama juga belajar semua, maksudnya jangan dipahami sebatas di laboratorium saja, semua membutuhkan sains. Ilmu sosial juga ada sainsnya. Kalau kita tidak tertarik pada sains ini, maka kita akan ketinggalan dengan negara lain. Sehingga tidak akan menjadi negara maju.
Kalau generasi yang akan maju adalah yang inovatif, perlu modal sains. Untuk kehidupan sehai-hari, sains itu penting, terlebih dalam pandemi ini, sains ini penting. Dan kalau anak muda bisa mendalami bidang orang yang jarang mnendalami, secara dunia kita tercukupi. Saya bisa keliling dunia, itu karena ilmu sains yang saya pelajari. Itu semuaakan jadi amal jariyah kita.
Sains itu bisa bermanfaat pada dunia, terlebih negara yang membutuhkan bantuan, terlebih yang konflik. Kita bisa membantu dalam penananganan konfik, misalnya membangun rumah sakit, membuat sanitasi, dan juga menolong masyarakat civil yang jadi korban perang. Sehingga kita jadi orang Islam, menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, khususnya masyarakat dunia yang beragam.