Islam dan Ilmu Pengetahuan: Mengenang B.J. Habibie

Islam dan Ilmu Pengetahuan: Mengenang B.J. Habibie

Islam dan Ilmu Pengetahuan: Mengenang B.J. Habibie

Rabu sore, 11 September 2019, bangsa Indonesia berduka. Salah satu putera terbaiknya berpulang ke rahmatullah. Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden RI ke-3 tutup usia dengan tenang di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. B.J. Habibie yang lahir di Parepare Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1936 adalah satu di antara anak bangsa yang telah menorehkan nama harum Indonesia di dunia internasional, khususnya dalam bidang teknologi pengembangan pesawat terbang.

Setelah lulus pada tahun 1954 dari Institut Teknologi Bandung, B.J. Habibie melanjutkan studi ke Jerman. Tepatnya ialah pada RWTH Aachen, dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Tahun 1960 selesai dengan menerima gelar diplom ingeniuer. Selang lima  tahun kemudian, tahun 1965, B.J. Habibie berhasil  menyandang gelar doktor ingenieur dengan predikat summa cum laude.

Di dunia teknologi dirgantara, B.J. Habibie dijuluki dengan Mr. Crack. Nama ini merupakan penghormatan para ahli atas sumbangan penting B.J. Habibie karena dapat menemukan penyebab retaknya badan pesawat, khususnya sayap pesawat. Temuan B.J. Habibie ini menjadi dasar untuk  menyempurnakan konstruksi pesawat terbang. Dengan perbaikan ini, pesawat terbang tidak mudah jatuh saat mengangkasa. Berkat hal ini, telah dipatenkan Teori Habibie, Faktor Habibie, dan Prediksi Habibie. Rumusan B.J. Habibie ini dapat ditemukan dalam Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD),  sebuah buku induk yang memuat prinsip-prinsip desain pesawat terbang.

Kini, B.J. Habibie telah tiada di tengah-tengah kita. Hanya  saja,  cita-cita dan warisan pemikiran beliau harus tetap menjadi inspirasi bagi generasi muda. Gagagan besar atas ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penopang kemajuan banga Indonesia mesti dilanjutkan. Generasi muda harus dapat bersatu, bergandeng tangan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perpecahan dan debat kusir yang tidak produktif mesti dihindari. Dalam beberapa tahun terakhir, sebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), eksploitasi isu SARA yang sempat menyebabkan pembelahan sosial, harus diakhiri.  Tiada guna menghamburkan energi untuk hal yang yang nirfaidah. Ditambah lagi, nilai-nilai agama Islam mendorong umatnya untuk berlomba dalam kebaikan. Bekerja sama untuk kemajuan bersama. Di antaranya ialah dorongan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Bukan untuk saling cerca dan fitnah.

Islam mendorong cinta ilmu

Tidak perlu diragukan lagi bahwa Islam sangat mendorong umatnya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Bahkan kata pertama dari Kitab Suci al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca (iqra). Dengan demikian, umat Islam sejak dini sudah diminta untuk mencintai ilmu pengetahuan. Sebab, membaca adalah salah satu cara atau jalan menuju terbukanya gerbang ilmu pengetahuan.

Berikut ini bunyi lima ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan, yakni surah al-‘Alaq 1-5:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسانَ ما لَمْ يَعْلَمْ

Artinya:

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq: 1-5)

Yang menarik adalah bahwa setelah kata perintah bacalah (iqra) tidak terdapat objek atau apa saja yang harus dibaca. Ini mengandung arti bahwa umat Islam diperintahkan untuk membaca apa saja, tidak terbatas pada ilmu pengetahuan tertentu saja, misalnya, ilmu agama. Melainkan semua cabang ilmu pengetahuan mesti dibaca. Termasuk ilmu-ilmu umum seperti matematika, fisika, biologi, dan sebagainya.

Ada yang menafsirkan perintah membaca tersebut dengan mengklasifikasikan objeknya ke dalam dua hal. Pertama, ayat-ayat qauliyah, yakni kita diminta untuk membaca semua ayat al-Qur’an dalam rangka mengenal lebih jauh mengenai agama, termasuk Sang Khaliq Allah swt. Kedua, ayat-ayat kauniyah, yaitu semua benda atau apa saja yang diciptakan Allah swt di alam semesta ini. Terkait hal ini, Imam Fakhruddin al-Razi (606 H) dalam kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa kesempatan mempelajari ilmu pengetahuan merupakan sebuah anugerah dan kenikmatan. Selain itu, al-Qur’an sendiri menempatkan orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan atau orang-orang yang berilmu pada derajat yang tinggi. Jelas ini merupakan sebuah penghargaan yang tiada taranya.

Allah ta’ala berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ

Artinya:  

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Q.S. al-Mujadilah: 11)

Sementara itu, di dalam berbagai riwayat hadis Nabi Muhammad saw banyak sekali terdapat perintah bagi umat Islam untuk mencari ilmu dan juga penghargaan yang tinggi terhadap orang-orang berilmu. Salah satu hadis yang sangat terkenal adalah tentang perintah mencari ilmu bagi siapa pun orang Islam tanpa terkecuali. Salah satunya ialah hadis yang diriwayatkah oleh Imam Ibnu Majah (207-275 H) dalam kitab Sunan Ibni Majah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya:

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah saw bersabda: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (H.R. Ibnu Majah)

Di luar ayat dan hadis yang telah disebutkan di atas, masih banyak ayat dan hadis lain yang membahas tentang perintah mencari ilmu dan penghormatan terhadap orang-orang yang berilmu. Di dalam al-Qur’an, misalnya, ditemukan redaksi yang menyebutkan perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang mencintainya.

Membangun peradaban

Kalau kita membaca sejarah Islam, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya tonggak dari peradaban Islam itu adalah ilmu pengetahuan, bukan kekuatan angkatan perang atau kemelimpahan harta kekayaan. Puncak keemasan peradaban Islam sendiri atau yang sering disebut the golden age dalam sejarah peradaban Islam ditandai dengan torehan berbagai prestasi umat Islam dalam hampir semua cabang ilmu pengetahuan.

Kita mungkin sudah sering membaca atau mendengar nama-nama ilmuwan Muslim yang menonjol dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Nashiruddin al-Thusi (597-672 H) yang disebut-sebut sebagai penemu alat peneropong bintang jauh sebelum Galileo Galilei. Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M) yang gemilang dalam bidang ilmu matematika dan dialah orang yang menemukan angka 0 yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Ibnu Sina (980-1037 M) yang dikenal sebagai ahli kedokteran dan menjadi rujukan bagi ilmu-ilmu kedokteran sampai saat ini, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.

Karena munculnya para ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan tersebut, maka negara Islam saat itu menjadi kiblat bagi seluruh negara di dunia. Tidak heran, kalau di tanah Islam banyak sekali orang-orang dari negeri lain yang sengaja datang ke sana untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Tentu saja kenyataan yang menggembirakan tersebut merupakan prestasi yang sangat gemilang. Bukan hanya agama dalam pengertian yang sempit, namun juga ilmu pengetahuan kian berkembang dengan pesat.

Oleh karena itu, sudah semestinya generasi muda giat dan bangkit. Memahami perjalanan sejarah, bahwa pengetahuan merupakan modal peradaban. Tanpa ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, bangsa Indonesia akan selalu menjadi bangsa yang tertinggal. Perjalanan hidup B.J. Habibie adalah bukti dan motivasi. Bahwa bangsa Indonesia mampu memiliki ilmuwan kelas dunia. Menemukan dan memberikan sumbangan penting bagi kemajuan teknologi. Ke depan, harus kita upayakan bersama suasana yang kondusif dan kompetitif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta mengakhiri sebaran berita bohong dan ujaran kebencian. Dengan harapan, akan segera lahir Habibie-Habibie baru.   

*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 60/Jum’at, 13 September 2019