Saya menikmati ceramah Ustadz Khalid Basalamah, tapi Ketika membincangkan soal kepempinan dalam keluarga, kok hati saya ‘deg’. Dalam isi ceramah tersebut perempuan hanya diperbolehkan sebagai perempuan yang mengurusi rumah saja.
Saya jadi teringat tentang pengalaman ibu saya yang tiba-tiba menjadi kelapa keluarga, karena ayah saya meninggal. Tidak mudah bagi ibu saya harus menjadi kepala keluarga dan mengatur 3 orang anak.
Kondisi ini, sering ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Lalu, apakah boleh perempuan boleh menjadi kepala keluarga?
Bahkan dalam catatan teks hadis pun mengisahkan mengenai para perempuan yang terlibat bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Salah satu kisah yang sangat popular adalah kisah Zainab ats-Tsaqafiyah Ra, istri abdulllah bin Mas’ud Ra. Pada saat itu, Zainab tersebiasa datang ke Masjid dan berkunjung ke rumah nabi. Diriwayatkan oleh Shahih Bukhori (no 1498), Zainab sedang berkumpul di rumah nabi, dia meminta Bilal untuk bertanya apakah dia mendapatkan pahala ketika menafkahi suaminya dan anak-anak yatimnya.
Nabi pun menjawab, Zainab jika Zainab mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menafkahi keluarga dan pahala sedekah. Keadaan ini, sudah menjawab kegamangan dari ceramah Ustad Khalid Basalamah.
Jumlah kepala keluarga atau kepala rumah tangga perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka itu meningkat terutama di daerah konflik dan bencana. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020 tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga.
Adapun faktor penyebab perempuan menjadi kepala rumah tangga, salah satunya karena bercerai dengan suaminya. Kemudian suami tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga.
Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran atau sakit. Akan tetapi, mayoritas perempuan menjadi kepala rumah tangga karena suaminya meninggal sekitar 67,17 persen.
Sebagian dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. Data BPS yang sama menujukan 42,57 persen tidak punya ijazah, jumlah paling besar di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur. Kemudian sebanyak 26,19 persen berpendidikan sampai Sekolah Dasar (SD), 10,69 persen berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 20,55 persen hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) ke atas.
Keadaan yang dilematis pun kembali terjadi di Indonesia. Secara tata negara perempuan tidak bisa mengklaim dirinya sebagai kepala keluarga karena basis UU Perkawinan telah memisahkan secara tegas bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. Namun, sejak ada UU Administrasi Kependudukan (Adminduk), perempuan bisa disebut sebagai kepala keluarga secara legal formal.
baca juga: sebagai perempuan, terganggu ceramah Ustadz Khalid Basalamah terkait keliruan wanita menurut beliau
PEKKA mencatat dari setiap empat keluarga di Indonesia, ada satu yang dikepalai perempuan atau sekitar 25 persen. Selain itu, ia menyebut sebanyak 70 persen keluarga yang dikepalai oleh perempuan berkubang pada kemiskinan. Setidaknya, ada tujuh kategori perempuan kepala keluarga berdasarkan definisi yang dibuat PEKKA. Tujuh kategori tersebut adalah janda mati, janda cerai, istri yang ditinggal pergi suaminya, perempuan yang punya anak tapi tak menikah, istri yang suaminya sakit sehingga tak bisa bekerja, atau perempuan yang mempunyai suami yang tak bisa menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan anak perempuan yang harus menanggung beban keluarganya. Kebanyakan dari mereka tak dicantumkan sebagai kepala keluarga di KK meski menjadi tulang punggung utama.
Tidak bisa dipungkiri bila pada kenyataannya mantan suami tidak menafkahi mantan istri dan anaknya setelah perceraian, meski pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istri dan anaknya. Namun, dalam sebuah perkawinan yang putus karena perceraian kedua pihak wajib bertanggung jawab kepada anak hasil dari perkawinan.
Pasal 41 c UU Perkawinan menyatakan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
KPI terus mengusulkan adanya revisi UU Perkawinan. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan; Pertama, soal usia perkawinan. Kedua, soal putusnya perkawinan atau perceraian. Ketiga, soal anak di luar nikah yang dalam UU Perkawinan tidak tuntas mengaturnya. Namun, pada 2019, revisi yang dilaksanaan hanya mencakup usia perkawianan saja. Persoalan lainnya tidak ikut dibahas.
Entah bagaimana jadinya, jika, ibu saya, dulu mendengar ceramah dari Ustadz Khalid ini. Pastinya, beliau akan menolak karena siapa yang bakal menggantikan ayah untuk memberi nafkah anak-anaknya (baca: saya dan saudara-saudara saya) dan lagipula, banyak tafsir lain yang justru lebih ‘memuliakan’ ibu dengan beban ganda seperti ini. Dan, sebagai anak, saya begitu bangga dengan ibu saya.