Di Balik Meja Redaksi #NamaBaikKampus: Upaya Kolaborasi Media Ungkap Kekerasan Seksual di Kampus-kampus Indonesia

Di Balik Meja Redaksi #NamaBaikKampus: Upaya Kolaborasi Media Ungkap Kekerasan Seksual di Kampus-kampus Indonesia

Kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, Vice & Jakpost berhasil mengungkap banyak kejahatan seksual di kampus-kampus Indonesia

Di Balik Meja Redaksi #NamaBaikKampus: Upaya Kolaborasi Media Ungkap Kekerasan Seksual di Kampus-kampus Indonesia
#NamaBaikKampus adalah gerakan bersama lintas media untuk mengungkap kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Pict by Tirto.id

Tulisan ini merupakan hasil tesis & riset penulis di Pascasarjana UGM terhadap kerja-kerja redaksi #NamaBaikKampus, kolaborasi Vice, Tirto, Jakpost untuk mengungkap kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia

Oleh: Sarjoko S.[1]

Pada tanggal 6 November 2018, tepat ketika saya baru saja selesai mengikuti sebuah kelas di kampus, halaman kampus dipenuhi banyak orang. Ada sebuah aksi yang digelar oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menuntut pengusutan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh salah seorang mahasiswi saat menjalankan kuliah kerja nyata (KKN).

Malam sebelumnya, saya turut membaca pemberitaan dari lembaga pers mahasiswa Balairungpress.com perihal kasus tersebut.[2] Ironis sekali karena kasus tersebut sudah terjadi sejak tahun 2017, namun hingga akhir 2018 belum ada penyelesaian yang konkrit dari kampus. Berita tentang mahasiswi yang dianonimkan sebagai Agni inilah yang memicu aksi #KitaAgni.

Pada saat itu saya baru merasakan betapa media menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan sangat baik. Di era online di mana pertumbuhan website begitu cepat, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa mampu mendorong wacana kekerasan seksual ke permukaan. Tidak hanya dibicarakan, pemberitaan itu mampu mendorong sebuah gerakan.

Ratusan orang berkumpul untuk menyuarakan berbagai tuntutannya. Ada sembilan tuntutan utama, salah satunya mendorong agar kampus memiliki peraturan untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus.[3] Hal tersebut menimbulkan satu pertanyaan besar di benak saya saat itu. Mengapa kampus belum memiliki peraturan yang sangat penting seperti penanganan kasus kekerasan seksual?

Pertanyaan tersebut terjawab setelah saya belajar mendalami isu kekerasan seksual, terutama menyangkut pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Ternyata hingga saat ini belum ada undang-undang di Indonesia yang mengatur secara khusus terkait dengan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual.

Sementara pengesahan RUU P-KS menghadapi persoalan pelik dengan berbagai opini dan gerakan yang bertolak belakang. Misalnya munculnya petisi menuntut DPR RI Komisi VIII untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pro Zina.[4] Kekosongan di level kampus hingga negara membuat kasus serupa Agni sangat sulit diproses melalui jalur hukum.

Kasus Agni, sebagaimana kasus kekerasan seksual pada umumnya, hanyalah fenomena gunung es, yang tampak sedikit, sementara peristiwa sebenarnya jauh lebih banyak. Akan tetapi kasus Agni perlahan-lahan tenggelam dari pembicaraan di ruang publik. Tidak banyak media yang mengangkat kasus tersebut hingga pada tanggal 6 Februari 2019 kasus Agni kembali ramai diberitakan: kasus tersebut akan diselesaikan melalui jalur non-litigasi.[5]

Pihak Agni terpaksa setuju dengan opsi tersebut untuk meminimalisir risiko yang diterima oleh Agni. Apalagi kasus tersebut sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun. Jika Balairung tidak memberitakan, barangkali kasus tersebut tidak akan dibicarakan dan menjadi satu gelombang gerakan untuk menuntut keadilan bagi penyintas.

Tak berselang lama dari keputusan jalur non-litigasi, pada tanggal 9 Februari 2019 terdapat empat media online Indonesia yang secara bersamaan memberitakan kasus Agni. Keempat media yang tergabung adalah Tirto, BBC Indonesia, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post. Empat media ini menyebut laporan tersebut sebagai kolaborasi #NamaBaikKampus.

#NamaBaikKampus tidak hanya memberitakan kasus Agni di UGM karena ada kasus-kasus lain yang juga diungkap oleh kolaborasi ini. Sejak Februari hingga Juli 2019, kolaborasi ini menghasilkan 17 berita in-depth dan 1 film dokumenter. Atas kerja kolaborasi tersebut, #NamaBaikKampus mendapat penghargaan Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Service Journalism Award dari the Society of Publishers in Asia (SOPA) di tahun 2020.

Ada beberapa hal yang membedakan antara laporan kolaborasi ini dengan laporan media online pada umumnya. Pertama, #NamaBaikKampus mengemas laporan kekerasan seksual dengan laporan mendalam (in-depth). Hal ini tentu jadi hal yang menarik di tengah iklim media online yang mengandalkan kecepatan.

Kedua, media yang terlibat dalam kolaborasi. Keempat media yang terlibat memiliki manajemen yang berbeda. Namun dalam meliput kasus kekerasan seksual di kampus, media-media tersebut membangun sebuah kerja sama antarlembaga.

Ketiga, ada satu gerakan yang dilakukan oleh tim kolaborasi, alih-alih hanya menjadikan peristiwa sebagai laporan biasa. Sejak dibentuk pada Desember 2018, #NamaBaikKampus berupaya menghadirkan warna baru dalam liputan kekerasan seksual. Salah satunya dengan membuat formulir testimoni guna melihat angka kasus kekerasan seksual di berbagai kampus Indonesia. Hingga saat ini belum ada lembaga yang mencatat secara khusus angka kasus kekerasan sesual di kampus. #NamaBaikKampus berupaya menghadirkan data awal yang bisa dikembangkan di tahun-tahun mendatang.

Keempat, dampak yang dihasilkan oleh kolaborasi. Setelah intensifnya pemberitaan kekerasan seksual di kampus sejak Februari hingga Juli, lahir beberapa peraturan terkait pencegahan dan penangangan kekerasan seksual di kampus. Misalnya, Kementrian Agama mengeluarkan surat edaran terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi Islam pada bulan November 2019. Meski hingga saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana bentuk penerapan surat edaran tersebut.

Pada bulan Januari 2020, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengesahkan Peraturan Rektor terkait dengan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual di kampus. UGM menjadi kampus pertama di Indonesia yang memiliki peraturan tersebut. Masih terlalu dini ntuk menyebut hal ini sebagai sebuah keberhasilan, namun tetap harus diapresiasi sebagai satu langkah awal yang baik.

Tantangan

Meliput kasus kekerasan seksual yang memiliki perspektif korban tidak mudah. Di internal media, kurangnya jumlah jurnalis perempuan membuat liputan terkait kasus kekerasan seksual didominasi oleh sudut pandang lelaki. Padahal sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menyebutkan bahwa jumlah jurnalis perempuan hanya 1:4 dibandingkan jurnalis lelaki. Sementara jurnalis perempuan yang menempati posisi redaktur ataupun pengambil keputusan redaksi hanya 6%. Kenyataan ini tentu berpengaruh terhadap kualitas dan perspektif liputan kekerasan seksual.

Komnas Perempuan meriset 499 berita di sembilan media arus utama Indonesia pada tahun 2015-2016. Hasilnya, media belum memiliki perspektif korban dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Celakanya, media cenderung menggiring pembaca untuk melakukan stereotype dan menghakimi korban.  Selain masalah tersebut, media-media di Indonesia kerap memberitakan peristiwa kekerasan seksual dari sisi dramatis dan sensasionalnya.

Ada tiga materi utama yang sering dieksploitasi media, yaitu seks, kriminalitas, dan konflik. Hal tersebut memang menghasilkan produk berita yang menarik perhatian banyak orang, namun menenggelamkan inti permasalahan kekerasan seksual itu sendiri.[6] Padahal, semestinya pemberitaan isu pelecehan dan kekerasan seksual harus menggunakan sudut pandang perempuan dalam merekonstruksi realitas sosial dan mengusahakan perubahan kondisi perempuan ke arah yang lebih setara dengan laki-laki.

Kekhawatiran buruknya liputan kekerasan seksual di media Indonesia tampaknya menemui jalan terang. Pada tanggal 8 Maret 2017 Tirto mengeluarkan seri berita spesial Hari Perempuan Internasional. Ada 11 berita yang dikeluarkan dengan tujuh di antaranya terfokus pada kekerasan terhadap perempuan. Liputan ini mampu merepresentasikan bahwa kekerasan seksual adalah musuh bersama yang disebabkan oleh patriarki. Untuk itu, tanggung jawab penyelesaian berada di pundak seluruh elemen masyarakat.

Setahun berselang, Tirto kembali membuat liputan mendalam terkait kasus kekerasan seksual, kali ini terfokus pada kasus di kampus. Liputan ini diinisiasi oleh Fahri Salam, redaktur pelaksana Tirto, bersama dengan Aulia Adam, reporter in-depth Tirto. Dari sinilah mulai muncul banyak cerita terutama setelah Tirto memberikan contact person bagi siapa saja yang pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan seksual di kampus. Seri liputan ini menjadi cikal bakal dari kolaborasi #NamaBaikKampus.

Menariknya, jurnalis yang meliput kasus kekerasan seksual di kampus pada tahun 2018 adalah lelaki. Hal ini membuktikan bahwa meski kasus kekerasan seksual sebagian besar dialami oleh perempuan dengan pelaku laki-laki, namun laki-laki juga bisa menulis dengan perspektif korban dengan baik. Laporan-laporan mendalam yang ditulis oleh Adam sudah menjawab berbagai temuan Komnas Perempuan pada tahun 2016 lalu.

Selain tantangan internal, media menghadapi tantangan eksternal, yaitu minimnya data dan informan. Tidak banyak korban yang bersedia untuk diwawancara karena berbagai tekanan. Namun ada satu kisah menarik saat Tirto meliput kasus seorang penyintas bernama anonim Lara di Bali. Saat itu Lara bersedia untuk menceritakan detail kisah yang dialaminya. Bahkan ia meminta agar Tirto menulis nama terangnya dan memuat fotonya. Namun Tirto mengambil kebijakan untuk tetap menganonimkan penyintas karena pertimbangan perlindungan terhadap penyintas.[7]

Kolaborasi

Puzzle kisah kekerasan seksual yang diterima oleh Tirto sepanjang tahun 2018 membuat media tersebut mempertimbangkan untuk melakukan kolaborasi. Kolaborasi antarmedia untuk liputan investigasi menjadi tren dalam beberapa tahun belakangan, terutama setelah ‘Panama Papers’ mengguncang dunia. Panama Papers disebut sebagai kolaborasi terbesar di dunia dengan melibatkan 350 reporter dari 80 negara. Berita-berita tentang Panama Papers membawa dampak signifikan, seperti mundurnya Perdana Menteri Islandia dan seorang menteri di Spanyol, serta penggerebegan yang dilakukan oleh polisi di kantor Mossack Fonseca. Pada perkembangannya, kantor Mossack Fonseca ditutup.

Carson dan Farhall (2018:1) menyebutnya sebagai perubahan dari model lama (old model) ke model yang baru (new model). Dalam liputan investigasi, old model merujuk pada upaya sebuah newsroom untuk mendalami suatu kasus, sementara new model merujuk pada berbagi informasi yang dilakukan oleh multiple newsroom. Ada beberapa keuntungan yang didapat dengan melakukan kerja sama antarnewsroom seperti berbagi beban biaya dan informasi, memperluas jangkauan informasi, hingga menguatnya kemampuan untuk membuat agenda media hingga skala global.

Kolaborasi mengubah paradigma media dari kompetisi menjadi kerja sama antarmedia untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Di Indonesia praktik ini mulai dilakukan oleh Tempo dan BBC Indonesia pada tahun 2016 saat memberitakan dugaan bahan kadaluarsa oleh PT Sriboga Raturaya yang membawahi berbagai merk restoran seperti Pizza Hut, Pizza Hut Delivery, The Kitchen by Pizza Hut, dan Marugame Udon. Tempo juga menginisiasi kolaborasi IndonesiaLeaks yang diikuti oleh sepuluh media pada tahun 2017.

Selain Tempo, Tirto menjadi media yang mulai menyadari bahwa kolaborasi adalah masa depan jurnalisme. Media ini melakukan kolaborasi pada November 2018 bersama dengan Tabloid Jubi, Papua. Untuk itu Tirto berupaya menginisiasi kolaborasi untuk meliput kasus kekerasan seksual di kampus.

Tirto melibatkan tiga newsroom dalam proyek tersebut, yaitu VICE Indonesia, BBC Indonesia, dan The Jakarta Post. Keempatnya kemudian bersepakat untuk memberi nama kolaborasi tersebut sebagai #NamaBaikKampus. Bentuk kolaborasinya cukup sederhana. Keempatnya membagi liputan ke beberapa kampus, kemudian hasilnya dibagikan melalui drive yang bisa diakses oleh kolaborator. Selanjutnya, media yang berkolaborasi bisa mengambil data tersebut untuk diolah dalam laporan medianya.

Pemilihan #NamaBaikKampus didasari oleh pandangan bahwa ‘nama baik’ seharusnya digunakan untuk melindungi penyintas, bukan untuk menutupi kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di lingkungan akademik. Sementara ada banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang sengaja ditutupi demi nama baik kampus tersebut. #NamaBaikKampus sekaligus menjadi tagar dalam setiap kampanye yang dilakukan melalui media sosial.

Dalam sebuah wawancara bersama Evi Mariani, managing editor The Jakarta Post, salah satu kesulitan tim kolaborasi adalah minimnya data. Hingga saat ini belum ada lembaga yang secara khusus mencatat jumlah kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Hal ini menjadi celah bagi kampus untuk menghindar setiap ada tuduhan terjadi kekerasan seksual di lembaganya. Kolaborasi #NamaBaikKampus kemudian membuat formulir testimoni untuk menjaring cerita-cerita tersebut. Kolaborasi menemukan 174 cerita yang kemudian beberapa di antaranya didalami dan dijadikan laporan.

Mengapa empat media yang berbeda kepemilikan dan manajemen itu bisa berkolaborasi? Pertama, keempat media ini memiliki pandangan yang sama bahwa kasus kekerasan seksual harus disuarakan agar mendapat atensi dari publik luas. Kolaborasi menjadi pilihan yang baik untuk menyebarkan informasi tersebut seluas-luasnya. Kedua, keempat media sama-sama memiliki tujuan untuk mendorong lahirnya peraturan di tingkat kampus hingga negara terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus. Alasan ini dipermudah dengan jejaring pertemanan antarjurnalis yang terlibat sehingga kepercayaan satu sama lainnya lebih mudah untuk dibangun.

Dari tujuh kampus yang diliput #NamaBaikKampus, berita kasus Agni UGM termasuk yang paling berhasil hingga mendorong terbitnya peraturan rektor. Gerakan advokasi dari jejaring kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa berperan sangat besar membawa kasus ini tetap terdampingi dengan baik. Keberadaan dosen-dosen progresif dan berperspektif gender di internal kampus pun mendukung agenda ini terwujud.

Sementara di kampus lain, kondisi objektif tidak memungkinkan kasus tersebut melahirkan gelombang gerakan. Timpangnya kuasa antara pihak yang mendorong keadilan bagi korban dengan pihak yang ingin menutupi kasusnya menjadi sebab yang tidak terelakkan. Alih-alih mendapat perhatian, kampus berupaya melokalisir aktor-aktor yang berseberangan dengan agenda ‘nama baiknya’ untuk diredam.

Bentuk pengorganisasian isu pada kasus Agni menjadi contoh ideal bagaimana media dan masyarakat menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat dan kelima demokrasi. Pada kasus-kasus menyangkut isu kekerasan seksual, gerakan advokasi memang harus terkait satu sama lain. Media harus berpihak pada kepentingan kelompok marjinal. Giving voice to the voiceless.

Saya selalu berharap liputan kolaborasi #NamaBaikKampus bisa menginspirasi media lain untuk melakukan hal serupa. Bukan justru menjadi artifak atau dokumen catatan sejarah yang berlalu begitu saja. Kabar baiknya, kolaborasi ini tidak dibubarkan, meski untuk sementara tidak lagi aktif sebagai sebuah gerakan.

Kolaborasi menjadi satu tawaran menarik untuk menjaga jurnalisme tetap relevan, apalagi bagi media online yang rawan mengabaikan kualitas demi kecepatan. Krisis jurnalisme online seperti mengunggulkan sensasional dan click bait harus bisa diatasi. Jika tidak, lambat laun jurnalisme akan kehilangan marwah dan kepercayaan publik.[8]

Terkhusus pada kasus kekerasan seksual di kampus, #NamaBaikKampus adalah harapan agar lilin perjuangan ‘para Agni’ tetap menyala.[9] Kolaborasi ini tidak hanya menunjukkan laporan yang berperspektif korban, namun juga membuktikan bahwa jurnalisme bisa hadir pada kelompok rentan. Tabik.

 

Bacaan:

Barnard, S., R. (2018). Citizen at the Gates: Twitter, Networked Publics, and the Transformation of American Journalism. Cham: Palgrave Macmillan.

Haryanto, I. (2014). Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Komnas Perempuan. (2015). Sejauhmana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual ?. Jakarta: Komnas Perempuan,

Kovach, B., Rosenstiel, T. (2014). The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Three Rivers Press.

Luviana (2012). Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia. Jakarta: AJI Indonesia.

Mathari, R. (2018). Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Yogyakarta: Mojok.

Sambrook, R. (2017). Global Teamwork: The Rise of Collaboration in Investigative Journalism. Oxford: Reuters Institute for the Study of Journalism & Department of Politics and International Relations, University of Oxford.

Stonbely, S. (2017). Comparing Models of Collaborative Journalism. Montclair: Center for Cooperative Media Montclair State University

 

 

[1] Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menulis tesis berjudul Praktik Collaborative Journalism di Media Online Indonesia: Studi Kasus Kolaborasi “Nama Baik Kampus” oleh Jurnalis Tirto, BBC Indonesia, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post Tahun 2019.

[2] http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/

[3] https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4292800/ini-9-tuntutan-mahasiswa-dalam-aksi-ugm-darurat-kekerasan-seksual

[4] Salah satu topik yang beredar di masyarakat menyebut RUU P-KS akan melegalkan zina. Pendapat ini sempat disuarakan secara lantang oleh Maimon Herawati, akademisi Universitas Padjajaran dengan membuat petisi penolakan pengesahan. Selengkapnya: https://tirto.id/ruu-pks-dianggap-ruu-pro-zina-masuk-akalkah-dfqE

[5] https://www.voaindonesia.com/a/agni-nyala-api-bagi-perempuan-korban-kekerasan-seksual/4776712.html

[6] https://www.remotivi.or.id/amatan/522/yang-bersembunyi-di-balik-berita-cabul

[7] Lara bernama asli Meliana, mahasiswi STMIK Primarkara Denpasar, Bali. Meliana kemudian menjadi salah satu informan dalam video dokumenter berjudul ‘Apakah Perguruan Tinggi Indonesia Gagal Melindungi Korban Kekerasan Seksual?’ yang diproduksi oleh VICE Indonesia untuk #NamaBaikKampus. https://www.youtube.com/watch?v=o1JrhUFbTYM&vl=id.

[8] Pada tahun 2019 Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut tingkat kepercayaan publik terhadap pers (66,3%) lebih rendah dari Dewan Perwakilan Rakyat (76,0%) dan Polisi (83,4%). Selengkapnya: https://nasional.kompas.com/read/2019/08/28/19245431/kepercayaan-publik-ke-pers-lebih-rendah-daripada-ke-polri-dan-dpr

[9] Agni adalah nama anonim penyintas kekerasan seksual di UGM. Namun nama ‘Agni’ kemudian menjadi nama gerakan untuk menuntut berbagai keadilan bagi penyintas kekerasan seksual.

 

*Analisis ini hasil kerja sama Islami.co & RumahKitaB*