“Kerja manusia mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah memaknai,” kata Paul Ricoeur. Saat membuka mata kita memaknai apa yang kita lihat. Beberapa orang memaknai belum munculnya cahaya dengan masih adanya waktu untuk salat subuh. Beberapa lagi memaknai semburat cahaya pagi dengan terburu-buru ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menjalankan subeha, shalat subuh campur dhuha. Beberapa orang sebelum memejamkan mata melihat penuh pada wajah pasangannya, mencium keningnya, kemudian mengucapkan doa. Mereka memaknai malam dengan keteduhan dan bersyukur akan kasih sayang Tuhan yang Maha Pemurah. Beberapa lagi sebelum memejamkan mata hanya bisa berdoa agar lekas datang jodohnya, kemudian dia bersabar, memuji Tuhan atas karunia sabar. Mereka memaknai malam dengan kesendirian yang menyayat namun manis dengan adanya kesempatan menyebut nama Pemilik hatinya yang sejati.
Kerja memaknai menjadi tradisi tersendiri dalam Islam dengan masih hidupnya budaya penafsiran Al-Qur’an. Para ulama secara beruntun selama berabad-abad tidak pernah jemu memikirkan makna Al-Qur’an. Para ulama meyakini dan ini menjadi landasan dasar dalam beragama bahwa wahyu terakhir adalah Al-Qur’an. Kita manusia modern juga sudah tidak percaya lagi dengan pengakuan orang yang menerima wahyu.
Mengenai tradisi tafsir Al-Qur’an dan orang yang mengaku mendapatkan wahyu, saya menemukan satu fenomena yang menurut saya unik dari perkataan Aman Abdurrahman dalam bukunya Seri Materi Tauhid: For the Greatest Happiness. “Undang-undang,” kata pak Aman, “telah Allah SWT namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh).” Saya tidak hendak menyebut pak Aman menerima wahyu karena perkataannya tersebut, karena niat adanya di hati, apapun kemungkinannya hanya Tuhan dan pak Aman sendiri yang mengetahui. Yang jelas ungkapan pak Aman ini adalah bentuk pemaknaannya terhadap QS. Yusuf ayat 76.
Mula-mula Ia menerjemahkan diksi dien pada ayat tersebut dengan kata undang-undang sebagai gambaran bahwa di dalam demokrasi menurutnya terdapat undang-undang selain Islam. Lebih jauh dia bilang kalau demokrasi adalah agama kafir begitu juga dengan nasionalisme dan kapitalisme. “Islam adalah dien kaum Muslimin,” katanya, “sedangkan demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.”
Alih-alih pak Aman mengutip ulama mufasir ia malah langsung bilang jika Allah SWT telah menamakan dien sebagai undang-undang. Dari mana pak Aman mendapatkan inspirasi demikian? Apakah ini karena dia terlalu lama merasakan manisnya sayatan kesendirian? Bagaimana mungkin dia bisa selantang dan seberani itu langsung mencatut nama Allah SWT untuk menguatkan kehendaknya sendiri?
Ulama sekelas al-Qurthubi saja hanya berani menerangkan bahwa katan dien sendiri termasuk jenis kata musytarak atau homonim. Kata ini menurut al-Qurthubi yang mengutip para sastrawan dapat berarti al-qadha’ (putusan hukum); al-tha’ah (ketaatan); al-adah (adat atau kebiasaan); al-sya’n (perkara signifikan); sirah al-malik (biografi raja); dan al-da’ (obat). Khusus pada QS. Yusuf ayat 76 ini al-Qurtubi bahkan tidak memutuskan makna mana yang ia pilih. Ia hanya menerangkan riwayat dari ibn Abbas bahwa dien al-malik maknanya kekuasaan raja; Ibn Isa memaknainya kebiasaan raja pada masa itu yakni dizaliminya tersangka tanpa bukti; dan Mujahid memaknainya hukum raja pada masa tersebut yakni memperbudak pencuri.
Konteks ayat tersebut berkenaan dengan siasat yang dijalankan Nabi Yusuf as yang dapat mendakwa saudaranya sebagai pencuri kemudian memberi putusan hukum yang berbeda dari hukum raja. Dalam kitab tafsir Mafatih al-Ghaib dan Jalalain disebutkan bahwa hukum raja yang berlaku pada saat itu harusnya pukulan dan penenggelaman dengan beban sekadar barang curian. Hukum raja ini dapat berubah menjadi perbudakan terhadap pencuri disebabkan adanay hukum adat dari daerah asal Nabi Yusuf as, ini menurut al-Razi. Artinya kerajaan Mesir waktu itu tidak memaksakan hukumnya berlaku melainkan mengikuti hukum adat dari daerah.
Al-Razi menyebut riwayat mengenai hukum adat daerah Nabi Yusuf as yang mengubah status merdeka menjadi budak bagi pencuri. Beliau menyatakan ayat 76 ini masih terkait dengan ayat 77 yang menerangkan perihal tuduhan saudara-saudarnya bahwa Nabi Yusuf as juga pernah mencuri. Bahwa sebelum beliau dibuang oleh saudara-saudarnya itu, Nabi Yusuf as adalah anak yang sangat dicintai oleh pamannya. Namun istri dari sang paman ini tidak memiliki anak. Terdorong keinginan untuk mengasuh Nabi Yusuf as selamanya, ia melilitkan sabuk warisan dari Nabi Ishaq as pada perut Nabi Yusuf as yang sedang berada di rumahnya. Setelah beliau pulang, ia melaporkan kehilangan dan menuduh bahwa Nabi Yusuf yang saat itu masih kecil telah mencuri ikat pinggang sakral tersebut. Jika modusnya ini berhasil maka Nabi Yusuf as akan didapatkannya sesuai dengan hukum yang berlaku di daerahnya bahwa seorang pencuri akan diperbudak.
Dalam mazhab Hanafi, seperti disebut al-Razi, seorang raja memiliki otoritas untuk menetapkan hukum. Sementara hukum kerajaan Mesir pada masa Nabi Yusuf sebagai menterinya menjadi lentur mengukuti adat yang berlaku di daerah.
Justru pada ayat ini dapat dipahami bahwa pemangku otoritas yang adil dan berorientasi pada kemaslahatan orang banyak, bukannya pada keuntungan pribadi, maka hukum yang dikeluarkannya akan mendapat pahala dari Allah SWT. Seperti halnya ulama yang melakukan ijtihad secara sungguh-sungguh, jika tidak tepat pun akan mendapatkan satu pahala kebaikan.
Pada QS. Al-Kahfi ayat 86 disebutkan bahwa Allah SWT memberi pilihan kepada Dzulqarnain untuk menentukan putusan hukum terhadap suatu kaum di bagian terbarat bumi. Sementara pak Aman memaksakan pendapat bahwa sumber hukum hanya Allah. Sungguh pendapat yang muhal dan bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Intinya seorang pemimpin yang adil dan orientasinya adalah kerakyatan, bukan kekuasaan pribadi, tentu hukum yang dibuatnya adalah untuk kebaikan masyarakat. Tentu masyarakat di sini maknanya luas, bukan hanya orang-orang tertentu yang memiliki modal lebih untuk membeli hukum. Kebijakan pemimpin yang adil meniscayakan adanya putusan hukumnya terhadap moral dan tantangan zaman.
Meskipun di dalamnya juga menerangkan perihal hukum, Al-Qur’an tidak menggariskan hukum terlalu detail. Ini karena Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai kitab petunjuk bukan kitab khusus hukum. Hal inilah yang menjadi ijma’ ulama bahwasanya untuk menjawab suatu persoalan dan menelurkan hukum baru terdapat sumber lain di samping Al-Qur’an.
Kalau pak Aman masih berkeras hati hanya Allah sebagai sumber hukum, itu bukan berarti dia secara tersirat ingin unjuk gigi kalau bisa menerima wahyu? Saya berhusnuzan tidak demikian. Mungkin pak Aman hanya sekedar sedang ingin memaknai. Kita pun bisa memaknai pemaknaannya dengan takbir empat kali untuk pak Aman yang memutuskan berhenti belajar lebih jauh mengenai ilmu Al-Qur’an dan tafsirnya. Semoga kita mendapatkan hidayah dari Allah SWT