Hari ini dunia merayakan peringatan hari Valentine, hari kasih sayang. Bahkan di sosial media (twitter), belakangan ini muncul hastag #IndonesiaTanpaPacaran sebagai awal penolakan dari peringatan hari valentine yang disebut haram dan penuh maksiat. Di Indonesia, beberapa kelompok sering melakukan penolakan tiap tahun. Taglinenya pun beragama, mulai dari “Wanita Solehah itu Dicintai dengan Akad, Bukan Cokelat” hingga “Valentine adalah maksiat berkedok kasih sayang”.
Aksi ini pun menurut saya cukup lucu. Kenapa harus dilakukan penolakan dari hari valentine, sedangkan di Indonesia sendiri pada tanggal 14 februari ini tidak dijadikan hari libur nasional, Walaupun begitu, ternyata aksi penolakan tersebut membawa pesan yang tersirat.
Yakni, jika ada dua orang perempuan dan laki-laki yang sedang jatuh cinta, maka pernikahan menjadi solusi. Lucu sekali solusi semacam ini, bagaimana jika ada yang jatuh cinta di usia yang cukup muda? Anak SMP yang jatuh cinta, bukankah ini akan menjadi cerita cinta monyet? Apa solusinya harus dengan menikah?
Jika harus diberikan solusi dengan menikah, artinya kita sedang melanggengkan tradisi kawin anak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.Jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak. Bahkan, tiga provinsi yang memiliki persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung. Angkanya di atas 37 persen.
Kita harus membedakan antara nikah muda dan kawin anak. Nikah muda itu terjadi diatas usia anak. Pemerintah Indonesia telah menetapkan batas usia pernikahan dalam Undang-Undang Perkawinan, Seperti tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, Perkawinan hanya diizinkan apabila Pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Jadi, memang tidak tepat jika yang sedang jatuh cinta dengan usia anak harus menikah.
Akan ada banyak dampak yang terjadi jika memaksakan pernikahan diusia anak-anak. Mulai dari tercurinya hak seorang anak. seperti hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua. Ada banyak hak anak lainnya yang tecerabut.
Saya teringat film yang dimaimkan oleh Reza Rahardian, Twivortiare. Film ini menceritakan tentang kehidupan pernikahan memang bukan tentang menghalalkan persetubuhan semata. Bukan juga tentang cinta dan romantisme saja. Melainkan tentang dua orang dengan watak, tradisi, kebiasaan dan pola pikir yang berbeda harus hidup bersama dalam satu atap selamanya. Belum persoalan lainnya tentang anak, bagaimana pola asuh yang benar untuk mendidik anak.
Tidak jarang kita melihat persoalan perempuan lainnya yang memaksakan menikah. Selanjutnya, seorang anak perempuan yang menikah akan mengalami sejumlah persoalan psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Kita semua semua tidak bisa menutup mata tentang persoalanan ini. Artinya, demo tentang penolakan hari valentine adalah demo yang basi dan buang-buang waktu saja. Begitu juga dengan hastag yang terjadi di sosial media.
Dengan melihat konteks yang ada di Indonesia tentang hari valentine, kita tidak bisa menggunakan kacamata haram dan halal. Bukan lagi bicara tentang tradisi muslim atau bukan. Melainkan melihat urgensi sejumlah masalah yang terjadi pada perempuan.
Demo penolakan hari valentine bisa diganti dengan aksi menolak perkawinan anak, kekerasan dalam berpacaran dan menolak sejumlah kekerasan lainnya yang terjadi pada perempuan. Tentunya demo semacam ini akan lebih bermanfaat bagi seluruh perempuan di Indonesia.