Ruang publik adalah salah satu perbincangan paling awal dalam perkembangan teknologi internet, khususnya media sosial. Terlebih, pasca teknologi kamera semakin mengambil peran penting dalam kehidupan digital kita.
Lihat saja, dalam diskusi politik di berbagai platform media sosial dapat dijumpai dengan mudah beragam foto, video, hingga meme terkait tokoh politik yang sedang dibicarakan.
Beberapa hari ini sosok Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, menjadi pusat perbincangan warganet, khususnya di kalangan Muslim. Ini adalah dampak dari dari pernyataan Megawati yang menyasar salah satu kebiasaan masyarakat muslim Indonesia, yakni pengajian.
“Saya heran mengapa ibu-ibu suka sekali ke pengajian,” kata Megawati.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa pernyataan Megawati yang beredar luas di media sosial adalah hasil suntingan, atau kata-kata tersebut telah dipotong dari isu utama yang sedang dibicarakan.
Tapi, kalimat “Suka ke pengajian” juga tidak bisa dinafikan dari keberislaman masyarakat Muslim Indonesia.
Pernyataan Megawati yang dianggap menghubungkan aktivitas pengajian dengan mengurus anak sebenarnya sangat rentan memandang perempuan terbatas pada peran domestik belaka, yakni ibu bagi anak-anaknya. Padahal, pengajian di kalangan perempuan tidak hanya terbatas transmisi pengetahuan agama belaka.
***
Istilah pengajian merupakan khas Islam Indonesia, yang merujuk pada dua unsur penting dalam Islam di Indonesia yaitu pengajaran agama Islam dan pembacaan Al-Quran. Selain pengajian, diksi lain terkait transmisi pengetahuan agama adalah Majelis Taklim. Akan tetapi, majelis taklim lebih dekat pada padanan tempat ketimbang aktivitas.
Sebagaimana wajah keberislaman kita hari ini, tentu dapat dipahami bahwa pengajian tidak lagi memiliki makna atau warna tunggal. Di masyarakat pinggiran kota dan desa, pengajian adalah kegiatan komunal yang diselenggarakan secara rutin dan menjadi bagian dari proses pelembagaan untuk melestarikan tradisi di masyarakat.
Menurut Nur Syam, Akademisi asal Jawa Timur, dalam buku “Islam Pesisir”, pengajian merupakan medium penting dalam proses pewarisan tradisi. Dalam sebuah pengajian biasanya terdapat ceramah agama sebagai usaha pelestarian tradisi Islam lokal yang dilakukan melalui penyadaran secara berulang-ulang.
Hal ini dimaksudkan agar tradisi yang memiliki rangkaian panjang dari tradisi sebelumnya tidak hilang begitu saja, akan tetapi tetap menjadi bagian dari masyarakat lokal dari generasi ke generasi. Nur Syam menyebutkan proses tersebut sebagai proses transformasi, sosialisasi, dan enkulturasi.
Sedangkan, dinamika hari ini menunjukan adanya pergeseran, khususnya di masyarakat Muslim perkotaan. Pengajian telah mengalami perluasan makna atau diterjemahkan berbeda di berbagai kelas sosial atau masyarakat Muslim.
Pengajian tidak lagi sekedar wadah menuntut ilmu agama, baik perempuan atau laki-laki. Akan tetapi juga berkelindan dengan berbagai hal di luar ranah religius, seperti identitas, politik, hingga budaya populer.
Contoh paling populer yang mudah kita sebutkan adalah pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Saat itu, kita dipertontonkan bagaimana masjid, majelis taklim, hingga pengajian menjadi wadah kampanye politik. Bahkan, jika kita menelisik lebih dalam, penggunaan pengajian sebagai corong politik tidak jarang dilakukan oleh para politisi kita.
Dalam artikel Pop And “True” Islam In Urban Pengajian: The Making Of Religious Authority, Yanwar Pribadi, akademisi asal Serang, menyebutkan bahwa pengajian di kalangan Muslim kelas menengah perkotaan memiliki preferensi keislaman yang berbeda dengan masyarakat Muslim pinggiran kota.
Wajah keislaman mereka biasa lebih longgar dan kompleks. Terdapat keterikatan Islam dengan kesalehan komunal, komodifikasi agama, populisme Islam, dan Islamisme di antara para anggota kelompok. Pada gilirannya, gagasan-gagasan religiusitas yang dipelajari di pengajian-pengajian pun mengarah pada eksklusivitas.
Pengajian di kalangan kelas menengah muslim perkotaan biasanya diadakan di perumahan elit, hotel, hingga ruang pertemuan dengan penataan cahaya yang modern. Juga, ia menjadi wadah perjumpaan antara Islam dengan perilaku konsumtif terhadap komoditas agamis, seperti antusiasme terhadap pakaian religius dan perjalanan keagamaan, termasuk perjalanan umroh. Pribadi menyebut praktik keislaman mereka dengan “Islam pop.”
Menariknya, pengajian di kalangan kelas menengah inilah terdapat pembentukan otoritas keagamaan yang lebih rumit, karena kompleksitas interaksi antara ekspresi Islam lokal dan Islam transnasional, sebagian besar Salafisme atau Wahabisme, dalam hubungan yang kompleks dan pasang-surut.
Maka sangat wajar jika mereka juga terlibat dalam populisme Islam dan Islamisme. Para anggota kelompok pengajian di masyarakat perkotaan tidak jarang ide-ide populis dalam isu-isu sosial-politik, di mana kasus Pilkada DKI Jakarta adalah contoh terdekat.
Islam Indonesia di ranah pengajian tidak tunggal. Islam lokal yang akrab dengan beragam tradisi di Indonesia telah mendapatkan tantangan dengan pengajian-pengajian di wilayah perkotaan. Bahkan, di kalangan anak muda Muslim terdapat diksi “Kajian” yang serupa dengan model pengajian masyarakat Muslim perkotaan.
***
Pengajian dalam pernyataan Megawati kemarin terjebak pada defenisi yang sempit, karna melihatnya hanya sebatas pada desiminasi pengetahuan agama saja. Sebab Julian Millie, akademisi asal Australia, menjelaskan bahwa majelis taklim atau pengajian perempuan juga menjadi wadah sirkulasi simbol dan informasi yang membentuk ruang publik kontemporer.
Dengan kata lain, pengajian atau majelis taklim perempuan juga menjadi wadah bertukar informasi dan pengetahuan yang kompleks. Pengajian perempuan di masyarakat perkotaan, sebagaimana disebutkan Pribadi di atas, menjadi wadah perjumpaan apa yang populer disebut dengan “Mamah Muda (MahMud).”
Perjumpaan mereka biasanya tidak hanya diisi belajar agama belaka. Di momen tersebut, mereka biasanya bertukar informasi atau saling “flexing” beragam barang bermerek dan memiliki harga mahal.
Kehidupan hedonistik dan terpapar liberalisme kapitalisme tidak hanya menjadi ciri MahMud tersebut. Sebab, hal tersebut adalah bagian dari kehidupan di kalangan masyarakat perkotaan. Sehingga, jika melakukan simplifikasi dengan “menuduh” perempuan atas permasalahan anak adalah sesuatu yang kontraproduktif.
Menurut Julia Suryakusuma, aktivis perempuan, menyebutkan bahwa negara turut, bahkan berperan besar, dalam mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik sehingga perempuan pada saat itu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Aktivitas perempuan di ruang publik sangat dibatasi oleh peran atau posisi laki-laki.
Akibatnya, peran perempuan di ranah domestik atau rumah telah terjustifikasi dengan peran ganda mereka, baik sebagai ibu dan perempuan, tanpa kontribusi laki-laki di ranah domestik. Nilai perempuan telah dibatasi pada peran-peran domestik tersebut, jika gagal maka dia akan dicap gagal sebagai perempuan.
Kesalehan perempuan di ruang publik yang hadir dalam pengajian-pengajian memang tidak serta merta menjadi solusi permasalahan domestifikasi perempuan. Sebab, beragam persoalan yang hadapi masyarakat hari ini, termasuk soal mengurus anak-anak, tidak bisa hanya dibatasi pada perempuan belaka. Laki-laki juga diwajibkan terlibat dan berperan serta di dalamnya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin