Mengapa sih milenial yang santri perlu lebih cermat di era post-truth ini? Sebelum ke sana, tentu saja kita sepakat bahwa Hari Santri semakin penting diperingati, karena santri-santri kini bak jamur di musim penghujan. Kini santri tidak hanya belajar agama di pesantren salaf atau pesantren modern, namun ada pula santri yang mondok di pesantren Media Sosial (al Medsoskiyah). Mereka inilah santri post-truth.
Santri post-truth (kerap juga disebut politik pascakebenaran) adalah budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan mencari kelemahan kebenaran. Santri jenis ini justru menempatkan kebenaran di posisi kedua.
Itulah sebabnya orang yang belajar agamanya atau nyantri (bersantri) di media sosial akan tetap ngeyel diberi tahu bahwa Islam itu mengupayakan jalan damai dengan perilaku ramah, bukan victim playing (merasa menjadi korban dan disingkirkan) apalagi marah-marah.
Sanad Keilmuannya
Santri yang dari al Medsoskiyah sanad keilmuannya diragukan, karena siapapun bisa dan mudah pencitraan dan dicitrakan di medsos. Hijrah gaya hidup sedikit, jadi guru agama. Preman taubat, jadi guru agama. Ikut capres jadi ulama. Mbelekedes tenan.
Hal berbeda kita temui dalam dunia pesantren tradisional (salaf) dan modern (salaf dipadukan dengan kurikulum pemerintah). Perlu menguasai beberapa kita untuk menjadi seorang guru agama. Perlu pengakuan seorang ulama besar (mudir atau pengasuh) dari pondoknya, baru seorang santri senior dapat mengajarkan ilmunya. Tidak sesimpel hijrah gaya berpakaian.
Mengapa perlu pengakuan ulama besar baru dapat mengajar? Karena kehati-hatian dalam menyampaikan ajaran agama. Apakah pemahaman sang santri sesuai dengan pemahaman sang guru.
Hal ini dilakukan sebagai ikhtiar menjaga runut silsilah sumber ilmunya sampai pada Rasulullah SAW. Hal ini ditujukan agar terhindar dari maraknya aliran menyimpang yang belajar ilmu agama secara instan dari internet dengan sanad yang tidak jelas.
Karakteristik Santri Garis Lurus
Sejauh yang saya pahami, sarung yang identikkan dengan santri merupakan ciri dari Islam yang moderat. Mengapa? Karena sarung dalam ritual agama yang dilakukan pesantren-pesantren tempat belajar ilmu Islam, merupakan cara Islam ala pesantren menghargai dan merangkul kearifan lokal tempat Islam dipraktekkan.
Tidak salah kemudian jika santri disebut secara biologis dan ideologis adalah anak kandung yang lahir dari pemahaman Islam moderat. Nilai moderat yang ditanamkan, membuat santri haram mempermasalahkan keislaman dan keindonesiaan. Sebaliknya santri mensinergikan keduanya untuk kemajuan, kesejahteraan dan menjaga keutuhan Indonesia sekaligus Islam rahmatan Lil alamin.
Sayangnya, akhlak diatas cenderung tidak dimiliki alumni pondok pesantren Al Medsoskiyah. So, hati-hati! Jangan sampai kita merasa paling Islam dan paling Santri, tetapi montoknya lewat medsos. Lagian, kyai itu cium tangannya, menunduk ketika beliau lewat dan disowani, bukan yang subscribe, like dan share. Wallahu ‘alam bishawab.