Pada saat Islam masuk ke Syam, di Damaskus ada masjid dan gereja dalam satu atap bangunan
Saya pernah membaca curahan hati bapak-bapak di Twitter. Suatu hari bapak-bapak itu ditelfon puteranya. Sang anak minta dijemput setelah pulang ngaji karena hujan. Namun sayang, sang bapak tidak sempat. Sang anak yang masih duduk di sekolah dasar itu pun memaksakan diri pulang kehujanan.
Tak lama, ia kembali menelfon sang ayah. “Ayah, aku kehujanan, mau neduh tapi adanya cuma gereja. Apakah boleh, Yah?” Ayahnya pun bergegas membolehkan. Sang anak pun tenang, ia bertanya demikian pasalnya guru ngajinya melarangnya masuk gereja. Kata guru ngajinya, bisa jadi kafir.
Kisah curahan hati seorang ayah di atas adalah salah satu realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita. Beberapa orang menganggap bahwa masuk ke tempat ibadah umat agama lain dapat mengurangi bobot keimanan, bahkan bisa jadi mengubah keimanan. Hemm.
Mungkin hal yang muncul di kepalanya adalah saat ada muslim masuk ke gereja adalah sudah seperti masuk agama Nasrani, atau sudah pindah alam. Padahal tidak semudah itu.
Baca juga: Bolehkah Muslim Masuk ke Gereja? Ini Penjelasan Ulama dan Kitab Fiqih!
Mungkin ada baiknya kita tidak terlalu sering menghayal, tetapi menambah bacaan dan wawasan, agar tidak terjebak pada semunya pengetahuan kita yang terbatas. Benar kata ulama zaman dahulu, al-jahlu yankasir, kebodohan itu menghancurkan, tak hanya menghancurkan orangnya sendiri, melainkan juga menghancurkan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sesat dan menyesatkan (dzallu fa adzallu) menurut bahasa Arab populernya.
Dalam sejarah, justru gereja dan masjid pernah satu atap. Sejarah ini bisa dilacak dalam kitab sejarah karangan Ibn Katsir yang berjudul al-Bidayah wan Nihayah. Salah satu kitab babon yang sering jadi rujukan sejarah keislaman.
Ibn Katsir menyebut bahwa saat Islam masuk ke Syam di bawah pimpinan Khalid bin Walid, tidak semua gereja dihancurkan atau dirubah menjadi masjid. Penduduk Syam mendapatkan keamanan dan hak untuk beribadah. Saat itu ada 14 gereja di kota Damaskus. Abu Ubaidah, salah satu sahabat yang ditugaskan menjadi pemimpin di sana hanya meminta satu gereja yang bernama Maryuhanna (مريوحنا) untuk dijadikan masjid separuhnya. Alih-alih menjadikan gereja tersebut masjid sepenuhnya, ia hanya mengambil separuh bangunannya untuk masjid, sedangkan setengahnya masih menjadi tempat ibadah kaum Nasrani.
Secara otomatis, masjid dan gereja saat itu berada dalam satu atap bangunan. Abu Ubaidah adalah orang pertama yang melakukan shalat di sana. Kelak, tempat yang digunakan shalat oleh Abu Ubaidah ini dinamakan sebagai Mihrab Sahabat.
Karena berada dalam satu atap, orang muslim dan Nasrani saat itu masuk ke dalamnya melalui satu pintu. Saat sudah berada di dalam bangunan, mereka lalu berjalan ke arah ruang ibadah masing-masing. Orang-orang Nasrani ke arah barat, sedangkan muslim ke bagian timur.
Saat beribadah pun mereka bersepakat untuk tidak saling mengganggu. Ketika membaca Alkitab maupun Al-Qur’an, masing-masing melirihkan suara dan tidak diperkenankan mengencangkan suara. Juga kaum Nasrani tidak diperkenankan memukul lonceng mereka dengan keras saat muslim beribadah. Hal ini sebagai bentuk toleransi dan upaya untuk saling berdampingan antar umat beragama. (Lihat: Abu al-Fida Ismail ibn Katsir, al-Bidayah wan Nihayah, (Beirut: Darul Fikr, 1984), h. 143-144.)
Baca juga: Khalifah Umar dan Gereja Makam Kudus
Bukan hanya pada masa sahabat nabi, pada masa Rasul pun pernah terjadi hal demikian, walaupun hanya berlangsung sekali. Hal ini bisa dilacak dalam Sirah Ibn Hisyam. Umat Nasrani yang datang ke Madinah diperkenankan untuk melakukan kebaktian di masjid Nabawi. Hal ini terjadi setelah mereka melakukan dialog dengan nabi tentang ketuhanan. Saat itu mereka mengetahui bahwa sudah masuk waktu beribadah. Sedangkan di Madinah tidak ada gereja sama sekali. Alhasil Rasul pun mengizinkan mereka untuk melakukan kebaktian di masjid.
Mereka pun melakukan kebaktian dengan aman di masjid Nabawi. Hal ini membuktikan bahwa mereka saat itu merasa aman dan tidak merasa terancam. Nabi SAW dan para sahabat yang melihat hal itu pun tidak keberatan dan tidak lantas mengusir mereka, atau tidak juga mengacungkan pedang dan ingin membunuh mereka karena dianggap menista.
Jika para sahabat itu marah dengan kebaktian mereka, otomatis mereka tidak akan berkenan untuk melakukan kebaktian di masjid. Mereka mungkin akan memilih pulang dari pada harus menggadaikan nyawa mereka. Namun sejarah berkata lain, Rasul mempersilahkan mereka, para sahabat pun tidak masalah. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan damai, antar umat agama selain Islam pada masa Rasul adalah terjaga keamanannya.
Jika para pendahulu kita mencontohkan hal-hal yang baik seperti di atas, lalu mengapa kita harus bertikai antar umat beragama. Memang tidak harus membuat masjid dan gereja dalam satu bangunan seperti dalam kisah di atas, namun setidaknya kita bisa saling menjaga keamanan masing-masing tempat ibadah.
Jika Islam adalah mayoritas di Indonesia dan berkenan menjaga kedamaian dan keamanan tempat ibadah umat agama lain, maka saat Islam menjadi minoritas di negara lain, mereka akan dengan senang hati ikut menjaga kedamaian dan keamanan tempat ibadah kita. (AN)
Wallahu a’lam.