Jagat media sosial akhir-akhir ini sering dipenuhi akun-akun yang mengatasnamakan Islam namun hobi bermain kebohongan. Mengatasnamakan dirinya sebagai Muslim Cyber Army atau disingkat MCA, tak lantas menjadikan tindak lakunya sesuai dengan norma-norma keislaman yang sejuk dan berbunga atau dalam kata lain biasa disebut rahmatan lil alamin.
Beruntung, polisi mulai menangkap satu persatu anggota kelompok ini setelah hoax dan isu bohong terkait pembunuhan ulama di beberapa kota mulai tersebar. Dari penangkapan tersebut tak dielakkan bahwa mereka memang terhubung melalui grup yang bernama Muslim Cyber Army.
Selama beberapa bulan terakhir, saya mengamati beberapa akun yang terafiliasi dengan kelompok ini. Salah satu hasil yang saya dapatkan bahwa hampir seluruh akun tersebut mempromosikan calon pemimpin tertentu, baik tingkat regional maupun nasional. Bahkan calon-calon yang diusung cenderung sama.
Hal ini menjadikan saya membuat kesimpulan bahwa akun-akun yang mengklaim dirinya sebagai pembela Islam dengan menyebarkan kebohongan-kebohongan, ternyata di sisi lain mereka juga pembela calon-calon tertentu. Inilah yang mungkin disebut Cherian George dalam buku Pelintiran Kebencian sebagai bagian dari ternak politik.
Dahulu, pemalsuan hadis juga tidak lepas dari faktor ini. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam As-Sunnah Qabla At Tadwinnya menceritakan secara rinci kronologi munculnya Hadis-Hadis palsu pada zaman itu. Bermula pada peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berdampak pada mengkristalnya instabilitas politik antara kedua golongan, yakni Ali bin Abi Thalib yang didukung penuh oleh masyarakat Hijaz dan Irak serta Muawiyah yang didukung oleh masyarakat Mesir dan Syam.
Ketegangan antara kedua termanifestasi dalam perang Siffin yang berujung pada peristiwa Arbitrase (tahkim). Kesepakatan dilaksanakannya tahkim sendiri telah menimbulkan perpecahan dalam kelompok-kelompok Islam. Mulai munculnya Khawarij, Syiah (pro Ali) dan golongan Pro Muawiyah.
Dipercaya atau tidak, ketiga golongan ini sebenarnya muncul atas landasan politik. Hal ini terbukti dari asal muasal berdirinya, yakni peristiwa tahkim antara Muawiyah dan Ali yang merupakan proses perebutan hak-hak politik.
Kemunculan tiga golongan inilah yang menjadi asal muasal munculnya Hadis-Hadis palsu yang digunakan untuk membela kepentingan-kepentingan mereka. Muncullah Hadis-Hadis palsu tentang kelebihan dan keutamaan khulafa ar-rasyidin, kelebihan-kelebihan kelompok tertentu, kelebihan-kelebihan ketua-ketua partai, bahkan muncul pula Hadis-Hadis yang secara tegas mendukung aliran-aliran politik dan kelompok-kelompok agama tertentu.
Masa-masa instabilitas politik saat itu sebenarnya disebabkan adanya hoax berupa hadis-hadis palsu yang telah terdistribusikan dengan sangat masif. Baik melalui mulut ke mulut, maupun dari mimbar-mimbar ceramah. Jika bisa dikategorikan, penyebaran hoax berupa hadis-hadis palsu tersebut bisa dilakukan oleh perorangan; kelompok.
Dalam karyanya yang berjudul al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadis as-Syarif, Sayyid Alawi al-Maliki menjelaskan beberapa faktor dibuatnya hadis-hadis palsu: pertama, mempertahankan kepentingan pribadi; kedua, mendekatkan diri kepada pejabat tertentu (orang-orang yang berkepentingan); ketiga, mencari rizki; keempat, membela pendapat tertentu walaupun salah; kelima, menarik simpati orang untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, termasuk mengajarkan anak-anak tentang agama.
Di sisi lain, Ajaj al-Khatib menambahkan beberapa tujuan penggunaan Hadis palsu, di antaranya: politik, diskriminasi etnis dan kabilah, serta kepentingan mengunggulkan mazhab fikih maupun kalam.
Faktor dan tujuan sebagaimana disebutkan di atas merupakan hal yang sebenarnya terjadi dan benar-benar ada di antara hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hoax. Khususnya yang terjadi sekarang, sebagaimana dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam namun penyebar hoax seperti sekarang.
Ajaj al-Khatib dan Sayyid Alawi al-Maliki sendiri memiliki pandangan sama terkait orang-orang yang melakukan pemalsuan Hadis untuk mengajak kepada kebaikan. Namun, bagaimanapun juga yang dilakukan tetaplah tidak benar karena menghalalkan segala cara termasuk berbohong atas nama nabi. Hal ini sebagaimana penyebaran berita hoax yang sering kita temukan untuk memotivasi spirit keagamaan seseorang. Tentu cara-cara seperti ini tidaklah benar.
Setelah muncul beberapa fitnah disebabkan adanya penyebaran hadis palsu tersebut, para ulama’ melakukan seleksi ketat untuk memilah-memilih “hadis” yang memang benar-benar hadis. Mujahadah para ulama’ menelurkan karya keilmuan yang luar biasa dan bisa kita pelajari hingga sekarang. Di sisi lain, Al-Quran dan Hadis juga telah banyak menjelaskan terkait etika dan langkah menerima maupun menyebarkan berita.
Tentu sebagai muslim yang baik, kita tidak lantas membenarkan segala perilaku orang yang mengatasnamakan Islam tapi perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena kita tidak ingin, konflik yang pernah terjadi akibat pemalsuan hadis, kembali terjadi hanya karena ulah sebagain orang yang memanfaatkan Islam sebagai tunggangan kepentingannya.