Covid-19 Mengingatkanku Pada Pesan Mahal dari Seorang Kiai

Covid-19 Mengingatkanku Pada Pesan Mahal dari Seorang Kiai

Covid-19 benar-benar mengingatkan pada peristiwa sowan ini, akan pentingnya rendah hati.

Covid-19 Mengingatkanku Pada Pesan Mahal dari Seorang Kiai
Ilustrasi seorang ulama yang sedang mempelajari kitab.

Sebelum covid-19 melanda, satu dua sahabat bergantian berkunjung ke rumah. Kebetulan, rumah saya dekat dengan salah satu pesantren tertua di pantura. Tidak sedikit di antara mereka sekaligus mengajak mampir ke pesantren ini. Senang rasanya dapat mengantar ke pesantren, meski kadang sebatas untuk berfoto saja. Suara kami sahut menyahut membunuh tanya yang sebatas tanya. Tidak sedikit memori kembali hadir menyisipkan tawa di antara kita. Banyak kisah, cerita, atau bahkan kekonyolan yang seolah dulu tabu kini jadi seru.

Pada setiap perjumpaan, pertanyaan tentang sejarah pondok pesantren ini hampir selalu ditanyakan. Meski tak sepenuhnya bulat, saya hafal betul bahwa catatan sejarah menunjukkan bahwa tahun 1775 adalah tonggak awal berdirinya pesantren yang kini dikenal dengan Qomaruddin ini. Pondok pesantren yang berada di desa Sampurnan, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik. Lokasinya cukup strategis karena berdekatan dengan pasar dan kantor-kantor pemerintahan. Ini berarti bahwa pesantren ini telah melewati 2 Abad. Jauh lebih lama dari kemerdekaan RI.

Mendengarnya, tidak sedikit yang kaget atau bahkan sangsi atas usia ini. Ada berbagai kemungkinan mengapa kesangsian ini mengemuka. Pertama, nama pesantren ini tak cukup terkenal jika dibandingkan dengan pesantren semasanya. Kedua, jumlah santri mukimnya gak se-meriah pesantren favorit yang ada. Ketiga, secara fisik bangunan, tampak semua biasa saja dan gak ada yang menjulang gagah menantang awan. Kesangsian ini tidak sepuhnya harus dijawab. Toh yang pasti bahwa eksistensi pesantren di atas dari sejarahnya. Untuk apa sejarah jika ia terlupakan? Mungkin hanya jadi romantisme belaka.

Satu dua santri silih berganti, mengais ilmu lantas mengabdi. Santri yah ngaji, piket, ro’an, dan ngaji lagi. Alumni? raga mungkin jauh, tapi tidak dengan hati. Begitulah adanya, gak usah dilebih-lebihkan. Gak ada lagu “padamu kiai”, tidak juga nasyid “mahabbah santri”. Sesekali sowan, untuk tetap menjaga hati. Bagi kalangan pesantren, sowan merupakan kata yang sangat familiar. Sowan merupakan sebuah kunjungan yang dilakukan oleh santri kepada kiai. Kunjungan ini dilakukan dengan atau tanpa kepentingan tertentu. Karena bertemu dengan kiai pada dasarnya adalah kebutuhan seorang santri. Persis seperti sore itu:

Nek dibandingno Yai Mad biyen, aku iki yoh gak onok apa-apane, yoh ilmu yoh amale” (kalau dibandingkan Yai Mad dulu, saya ini tidak ada apa-apanya, ilmu dan amalnya) kaget sungguh mendengarnya. Bagaimana tidak, di era yang penuh dengan kegagah-gagahan, selfhis, bahkan cenderung individualis, Kiai Pemangku pesantren tetap saja membumi. Tertegun sungguh.

loh, aku iki temenan. Yai Mad nek shalat, terutama sedekah.. wes ta lah.. gak kenek dibandingno. Ngunu iku loh mbiyen Yai Mad yo ngomong: nek dibandingno Abah (Yai Sholeh Musthofa) aku iki gak onok opo2ne. Terus biyen Abah dewe sanjang, Mbah Mail iku alim amaliyah luar biyasa. Aku iki adoh. Tapi seng tak titeni hampir kabeh ki wonge seneng

(saya ini beneran. Yai Mad nek Shalat, terutama Sedekah, sudah lah tidak dapat dibandingkan. Meski begitu, Yai Mad bilang: Kalau dibandingkan Ayah (Yai Sholeh Musthofa) saya ini tidak ada apa-apanya. Kemudian dulu Ayah juga cerita: Mbah Mail itu alim amaliyahnya luar biasa. Saya jauh. Tapi yang saya ingat, semuanya cinta). Mendengar lengkap cerita ini, lantas aku tertegun. tanya demi tanya menari di kepala. Memoriku berputar, teringat hafalan yang sempat membuatku berdiri depan pintu kala dulu:

Sedekah tidak akan mengurangi kekayaan seseorang. Allah tidak akan menambahkan kepada seorang hamba yang suka memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiadalah seseorang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (H.R. Muslim)

Yakin rasanya kalau ini tentang ketawadhu’an. Pohon-pohon yang gagah menjulang tak kan pernah ada tanpa akar yang menyelam mendalam. Dua ratus empat puluh lima tahun waktu yang lebih dari lama. Andai saja sekedar bangunan, pasti sudah bongkar pasang berkali-kali. Ketahanan adalah buah ketawadhu’an. Kira-kira begitulah makna hadis ini terlintas di pikiran.

Sebagai Lembaga Sosial juga Pendidikan, tanpa sikap dinamis dan terbuka, pasti ditelan zaman. Banyak yang terlibat, dari ustadz, guru, pedagang, bahkan seluruh elemen masyarakat. Ada pikiran, hati, juga emosi yang harus harmoni serta dihargai. Di sinilah pesantren berdialog, melalui Nahkoda Sang Kiai. Perjuangan pasti heroik, pengorbanan tak kenal akhir. Boleh jadi, mata mungkin terpejam tapi hati terus menengadah, bersimpuh, bermunajat, memohon ridho Ilahi. Di sinilah hikmah lain dari rendah hati. Terbuka dan selalu menghargai. Bagi pelakunya, semua yang ada di muka bumi sungguh sangat berarti. Tidak boleh ada yang direndahkan. Teringat betul bagaimana kisah Anjing dan Yazid al-Busthomi mengingatkan.

Masih juga terfikir, Nah… ini merupakan pesan! -batinku-, bagi hadhir yang waktu itu sowan. Sontak kulihat di sekitar, tampak benar-benar hening. Waktu itu memang hanya berdua, mungkin jam dinding yang diam-diam menemani.

Li khamsatun Uthfi biha harral Wabail Hatimah al-Musthafa wal Murtadha wabnahuma wal Fathimah..

Tiba-tiba syair itu memecah anganku. Sontak teringat kalau syair ini sering didendangkan santri. Tidak hanya saat dzikir setelah sholat, tetapi juga ketika menunggu Kiai. Ini berarti sebentar lagi ada ngaji. Lekas saja aku pamit mengakhiri, kuraih tangan Kiai. Salim, restu doa kuminta semoga fakir ini teguh atas nilai-nilai.

Empat puluh hari yang lalu peristiwa ini terjadi. Empat puluh hari pula kita tak boleh kesana-kemari. Covid-19 benar-benar mengingatkan pada peristiwa sowan ini, akan pentingnya rendah hati. Tidak sedikit kita abai, seolah dengan ilmu semua dapat diraih. Sering juga kita lalai, berdalih dengan amal semua aman terkendali. Kini kita benar-benar diingatkan, bahwa di atas langit masih ada langit. Di atas cahaya masih ada cahaya.

Manusia dengan segala kemewahan harta dan pikirannya dibuat linglung oleh makhluk kecil, teramat kecil, hingga tak kasat mata. Pertemuan yang awalnya murah, kini seolah mahal. Sudah saatnya kita tawadhu’ dan menunduk.

Rabbana Ma Khalakta Hadza Bathila Subhanaka Faqina Adzaban Nar…