GERAKAN radikal jihadis tidak pernah mati. Nama organisasi seringkali berganti, tetapi substansi perjuangan tidak pernah pudar: konsisten dengan misi penegakan negara Islam, khilafah, dan penerapan syairat Islam secara kaffah. Misi ini meniscayakan mereka menegasikan negara yang menggunakan sistem nation-state dan demokrasi dengan memberi cap ‘thâghût’. Sebab, menurut golongan jihadis, setiap negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah disebut ‘thâghût’.
Para ideolog dan konseptor jihadis awal, seperti Abu al-A’la al-Maududi dan Sayyid Qutb, menggunakan istilah ‘sistem jahiliyah’ bagi negara yang tidak menerapkan syariat Islam. Para pengikut setianya menyebut sebagai ‘sistem jahiliyah modern’. Sedangkan istilah ‘thâghût’ baru muncul dimulai dari Abdullah Azam, konseptor dan komandan jihad Afghanistan. Istilah ‘thâghût’ juga digunakan oleh para pengikut dan murid-murid ideologinya yang ada di Indonesia.
Istilah ‘thâghût’ yang dilontarkan oleh kalangan jihadis merupakan klaim yang mengandung konsekuensi cukup serius, tidak sekedar pengkafiran tetapi juga meniscayakan perubahan secara radikal, revolusioner, dan tidak setengah-setengah dengan cara-cara kekerasan, seperti pengeboman dengan atas nama jihad.
Mereka menjadi eksis dengan berpijak pada sebuah hadits mengenai pemimpin akhir zaman sebagai pembenar. Hadits tersebut seolah ‘memberi harapan’ kepada mereka untuk bisa kembali mendirikan khalifah Islamiyah. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa di satu saat, setelah tumbangnya pemimpin-pemimpin diktator dari umat Muslim, akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi.
Klaim kalangan jihadis soal khalifah ‘ala minhâj al-nubûwwah menuai respon dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan ulama dan tokoh muda Islam Indonesia. Pada 31 Juli-3 Agustus 2016, para ulama dan tokoh muda Islam NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Mathali’ul Anwar dan Al-Khairat berkumpul di Hotel Rancamaya Bogor, yang difasilitasi oleh Wahid Foundation (WF), bertujuan merespon dan membuat counter-narasi terhadap kalangan jihadis serta membuat narasi damai.
Para ulama dan toko Islam Indonesia menyatakan bahwa ‘thâghût’ adalah segala perbuatan yang melampaui batas yang secara substansial menentang hukum Allah dan Rasul-Nya serta mengingkarinya. Jika tidak mengingkari dan meralisasikannya secara substansial maka tidak bisa disebut ‘thâghût’. Sehingga pemerintahan Indonesia tidak bisa dikatakan ‘thâghût’, sebab aturan dan hukum yang terdapat di Indonesia tidak mengingkari substansi nilai-nilai Islam.
Ajaran Islam sendiri yang bersumber dari al-Qur`an dan Sunnah memberi kewenangan kepada para ulama untuk berijtihad merumuskan hukum yang relevan dan maslahat bagi bangsa dan negara selama tidak bertentangan dengan keduanya.
Di samping itu, Islam tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu dan memberikan kebebasan untuk mengadopsi sistem pemerintahan manapun selama substansinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Sebab yang menjadi perhatian adalah substansi, bukan bentuk. Sebagaimana disebutkan dalam prinsip yang berbunyi, “al-‘ibrah bi al-jawhar, lâ bi al-mazhhar”.
Substansi pemerintahan dalam perspektif Islam ialah suksesi kepemimpinan yang bisa mengatur berbagai kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûth bi al-maslahah”. Dan jika tidak ada pemimpin, maka akan terjadi disintegrasi bangsa dan kekacauan. Tentunya yang dipilih adalah pemimpin yang menjunjung tinggi moralitas yang mulia dan agung, seperti adil.
Khilafah Islamiyah sebagai sistem sudah tidak maslahat (relevan) dan bisa diganti dengan sistem nation-state (negara-bangsa). Terlebih lagi sistem khilafah merupakan hasil ijtihad masa lalu dan tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Dalam al-Qur`an sendiri tidak dijelaskan tentang kewajiban untuk menegakkan sistem khilafah, yang ada hanyalah sistem syura, “Wa amruhum syûrâ baynahum.”
Semakin menguatnya gerakan kelompok jihadis karena mereka merasa sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa akan muncul khalifah ‘alâ minhâj al-nubûwwah yang tegak di atas bumi, dan menurut mereka sudah tiba saatnya untuk mendirikan khilafah sebagaimana hadits itu. Padahal, berdasarkan kajian dan diskusi bahtsul masail cukup serius, para ulama dan tokoh muda Islam Indonesia menyimpulkan bahwa hadits tersebut terdapat tujuh versi. Dari ketujuh versi tersebut, ada enam versi yang kualitas sanad-nya tidak sampai pada level shahîh, karena terdapat dua perawi hadits yang masih diperdebatkan kredibilitasnya (tsiqah). Sementara hadits yang tergolong shahîh hanya satu, dan itupun isinya tidak mendeskripsikan periodesasi kepemimpinan akhir zaman sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits lainnya.
Terdapat banyak hadits Nabi yang berkualitas shahîh yang isinya sangat kontradiktif dengan hadits tersebut. Di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa khalifah hanya berlaku selama 30 tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan maksud hadits yang berisi tentang kepemimpinan akhir zaman adalah Khalifah Umar ibn Abdil Aziz dari Bani Umayyah. Hadits lainnya berbicara tentang kepemimpinan akhir zaman yang isinya tentang turunnya Isa al-Masih dan Imam Mahdi. Hadits-hadits tersebut bersifat prediktif, dan sama sekali tidak berbentuk perintah untuk menegakkan khalifah.
Sementara yang dimaksud dengan ‘ala minhaj al-nubûwwah adalah cara-cara yang ditempuh oleh Nabi Saw. secara substansial untuk menyempurnakan keadilan. Menurut Mulla Ali al-Qari, yang dimaksud dengan ‘alâ minhaj al-nubûwwah adalah kepemimpinan Isa al-Masih dan Imam Mahdi yang akan turun kelak di akhir zaman yang dapat menegakkan keadilan berdasarkan cara-cara atau metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw., bukan sebagaimana yang disangkakan oleh para propagandis tegaknya Khilafah Islamiyah, seperti ISIS, HTI dan sejenisnya.
Para ulama dan tokoh muda Indonesia juga meluruskan makna jihad yang telah direduksi maknanya oleh golongan radikal jihadis menjadi hanya bermakna qitâl (perang atau membunuh). Mengutip pandangan Sayyid Bakr ibn al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi di dalam kitab “Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibîn Syarh Fath al-Mu’în”, bahwa jihad tidak identik dengan perang atau membunuh. Di antara makna jihad adalah melaksanakan penyiaran agama, mengajarkan ilmu-ilmu syariat (seperti tafsir al-Qur`an, hadits, fikih, dan sejenisnya), melindungi warga sipil baik dari kalangan umat Muslim, dzimmîy (non-Muslim yang berdamai) dan musta’man (non-Muslim yang melakukan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslim) dari marabahaya yang mengancam, menganjurkan dan menyerukan kebaikan serta melarang kemungkaran, menjawab salam dan menebar kedamaian bagi umat manusia.
Begitu luasnya pengertian jihad, sehingga qitâl (perang) bukanlah tujuan utama jihad. Karena jihad dalam arti qitâl (membunuh atau memerangi) hanyalah wasilah (media/sarana), bukan tujuan. Jihad yang baik dan benar adalah tanpa perang dan pemaksaan. Tujuan dan target jihad adalah tercapainya hidayah, seperti mengajak umat manusia ke jalan yang benar tanpa berperang. Yang demikian itu, justru lebih utama daripada harus berperang, sehingga umat manusia tulus dan ikhlas menerima hidayah. Dan jihad dalam arti qitâl baru boleh dilakukan dalam kondisi darurat, seperti untuk membela diri (jihâd difâ’îy). Jihad dalam arti qitâl tidak boleh dalam kondisi damai.
Selain mereduksi makna jihad diidentikkan dengan qitâl, kaum radikal jihadis termasuk dalam golongan takfiri (gemar mengkafirkan sesama umat Muslim). Ini adalah sebuah ironi, karena kafir adalah sikap mengingkari ketuhanan Allah dan mengingkari apa yang datang dari Rasulullah. Dan para ulama telah bersepakat bahwa orang yang bersaksi atas ketuhanan Allah dan kenabian Rasulullah Saw., maka ia tergolong muslim dan tidak boleh dikafirkan. Orang yang mengkafirkan muslim, maka ia sendiri yang kafir. Sesama umat Muslim tidak boleh saling mengkafirkan.[]