Content Creator Bahas Agama di Tiktok, Bagaimana Masa Depan Ulama?

Content Creator Bahas Agama di Tiktok, Bagaimana Masa Depan Ulama?

Perjumpaan agama dan media menghadirkan sosok agamawan baru (Lumpen-Intelegentsia) yang tidak memiliki latar belakang keilmuan agama yang kokoh. Para content creator dan influencer adalah salah satunya.

Content Creator Bahas Agama di Tiktok, Bagaimana Masa Depan Ulama?

Tiga hari terakhir, Prof. Quraish Shihab dan Najwa Shihab beberapa kali muncul di linimasa akun Tiktok saya. Pembahasannya pun masih soal pengunaan jilbab atau hijab yang tidak dikenakan oleh Najwa Shihab. Entah kenapa isu ini kembali mencuat di ranah digital.

Jika disimak isi konten tersebut sebagian besar menyatakan tidak setuju atas pemikiran Prof. Quraish Shihab terkait hijab. Sayangnya, sebagian besar mereka mengaku belum pernah membaca karya-karya Pak Quraish, termasuk soal hijab. Bahkan, mereka mengulas pemikiran Pak Quraish hanya dengan membaca satu jurnal saja.

Sekilas, ketidaksetujuan mereka dengan pemikiran Pak Quraish tersebut mungkin terlihat terburu-buru dan gegabah. Namun, keberanian mereka menyatakan ketidaksepakatan atas pemikiran Pak Quraish merupakan bagian dari wajah baru dalam dakwah Islam hari ini.

Dengan usia yang masih sangat muda, kehadiran para content creator tersebut menjadikan dunia dakwah kita semakin berwarna saja. Dengan tech-savvy yang cukup mumpuni, mereka datang dengan tawaran dakwah yang praktis, tegas, dan relate dengan kondisi dan dinamika keberagamaan anak muda hari ini.

Selain itu, terlepas dari produk pemikirannya soal hijab, para content creator itu masih sepakat bahwa sosok pak Quraish adalah otoritas keagamaan. Walaupun, entah disadari atau tidak, mereka telah mencabar posisi otoritas keagamaan tradisional hari ini. Dunia digital memberikan mereka ruang dan corong sehingga posisi mereka, walaupun sering tidak diakui, biasanya lebih didengar atau dipercayai para netizen.

Apakah para content creator atau influencer bisa disebut sebagai otoritas agama? Pertanyaan ini mungkin sisi paling luar dari sekian perbincangan terkait permasalahan di atas. Namun, kehadiran kedua entitas dunia maya tersebut telah menjadi bagian dari keberagamaan kita, khususnya dalam dua dekade terakhir ini.

***

Ismail Fadjrie Alatas, Akademisi di New York University, dalam buku What Is Religious Authority? menjelaskan bahwa masyarakat muslim dibangun melalui apa yang disebutnya dengan “Kerja Artikulasi.” Term ini disebut Alatas untuk menjelaskan Islam selalu dibangun dari upaya untuk mengartikulasi masa lalu kenabian dan perwujudannya dalam sebuah komunitas.

Dengan kata lain, menurut Alatas, Islam dibangun dengan kerja-kerja membangun jemaah. Ada dua unsur penting yang sebutkan Alatas untuk membangun jemaah. Pertama, sosok tokoh agama harus memiliki relasi dengan masa kenabian, menurut Alatas, baik melalui nasab, isnad, silsilah, ataupun keilmuan.

Kedua, tokoh agama harus memiliki kemampuan untuk mengaitkan komunitas dengan masa kenabian tersebut, bukan saja lewat cara yang bisa diterima, dipahami, dan diterapkan dalam komunitas, tetapi juga harus tanpa pemaksaan dan kekerasan. Untuk itu, tokoh atau otoritas agama harus berfungsi sebagai suri tauladan.

Penjelasan Alatas terkait otoritas agama ini sebenarnya menarik jika dihubungkan dengan fenomena hari ini. Sebab, selama ini ulasan soal tokoh agama seringkali berhenti pada keilmuan belaka. Padahal, ada unsur lain yang juga mempengaruhi ketika seseorang disebut sebagai otoritas agama, yakni menghubungkan keilmuan tersebut dengan komunitas yang sedang dibangun.

***

Perbincangan soal jilbab atau hijab, termasuk pemikiran Quraish Shihab, hanya satu dari sekian wajah agama di dunia digital, termasuk Tiktok. Perbedaan pendapat mungkin hanya masalah hukum. Namun, keberadaan para content creator atau influencer tersebut tidak dapat diindahkan begitu saja. Selain para otoritas agama, mereka adalah sosok penyebar narasi agama di dunia maya.

Setiap perkembangan zaman, dalam hal ini teknologi media, terdapat otoritas agama yang terus mengalami fragmentasi dan kontestasi. Perkembangan teknologi, termasuk media, seringkali menuntut perubahan struktur sosial. Di ranah media digital, perubahan tersebut juga dapat dilihat pada perubahan pada eksistensi otoritas keagamaan, mulai dari hierarki, struktur, hingga ideologi.

Media baru, seperti internet, televisi, dan media sosial, menjadi lahan kelahiran para “Lumpen-Intelegensia” (Para intelektual baru), termasuk di ranah agama. Perjumpaan agama dan media menghadirkan sosok agamawan baru (Lumpen-Intelegentsia) yang tidak memiliki latar belakang keilmuan agama yang kokoh. Para content creator dan influencer adalah salah satunya.

Walaupun, kehadiran media baru, seperti internet dan media sosial, tidak lantas menggeser otoritas tradisional, malah sebagian mereka bisa beradaptasi, beradaptasi, bahkan semakin populer dengan memanfaatkan teknologi media. Sosok Ustadz Abdus Somad (UAS) dan Ustadz Adi Hidayat (UAD) adalah contoh dari sekian otoritas tradisional yang dapat bertahan.

Namun, kehadiran para influencer atau content creator yang rutin menebar narasi agama sehingga memiliki pengikut atau followers yang banyak, dan juga memiliki pengaruh yang tak kalah besar jika dibanding otoritas agama tradisional. Entah disadari atau tidak, mereka juga sering berkompetisi dengan para ulama, ustadz, dan penceramah di langgar-langgar dalam membangun jemaahnya sendiri.

Walaupun, para Content Creator atau Influencer tersebut seringkali hanya mereproduksi, membagikan kembali, atau mendiskusikan ulang isu-isu yang selama ini sudah didiskusikan jauh sebelum mereka terlibat dalam menyebarkan narasi agama. Namun, posisi mereka yang dapat mempengaruhi sekian banyak followers tentu hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja.

Saat para content creator tersebut menghadirkan wacana keagamaan yang mencabar para ulama tradisional, terus dibagikan para followersnya sehingga menjadi viral, tentu fenomena ini tidak jauh berbeda dengan kompetisi antar ulama yang selama ini ada. Terlebih dengan bantuan teknologi media, para content creator tersebut dapat mem

Secara umum, content creator atau influencer mungkin tidak memiliki relasi ke masa kenabian, sebagaimana dijelaskan oleh Alatas, yang sama dengan para ulama atau tokoh agama tradisional. Namun, teknologi menjadi jalan pintas dalam membangun jemaah, baik secara relasi atau mengaitkan komunitasnya (baca: followers) dengan masa kenabian. Memang fenomena ini masih bisa diperdebatkan dan terus akan berlangsung ke depan.

Jika demikian, saat dinamika internet yang mengubah struktur sosial dan sekat-sekat keilmuan tradisional, adakah masa depan untuk Ulama? Entahlah, biar waktu yang akan memperlihatkannya kepada kita.