Seorang paeditrician, K.K. Choudhary, pernah mengatakan “Too much love, too much pain, too much sacrifice makes you cry like rain”. Artinya kurang lebih seperti ini “Terlalu cinta, terlalu duka, telalu berkorban akan membuatmu menangis sederas hujan”. Quote ini mungkin barangkali bisa menggabarkan kedukaan hati Virginia saat ini.
Seperti kebanyakan kanak-kanak yang jatuh cinta pada binatang piaraan, Virginia kecil tergila-gila dengan anak anjing. Hari-harinya dipenuhi mimpi bermain dengan anak anjing yang lucu atau berjalan menyusuri jalanan kompleks perumahan dengan anak anjing yang mengejarnya atau memutari kaki-kai kecilnya. Karena tradisi keluarga besar kami, mimpi itu tak mungkin kami penuhi.
Dia semakin tumbuh dan mengerti mengapa mimpi indah memiliki anak anjing lucu tak bisa terwujud. Tapi cintanya kepada binatang piaraan tak pernah mati. Dia menawar. “Berikan aku seekor anak kucing,” rengeknya. Bahkan memiliki seekor anak kucing di rumah pun tak semudah itu memenuhinya. Istriku bersikeras tak mau karena pasti dialah yang akan mengurusnya. Aku memahaminya. Tapi, Virginia?
Hingga suatu hari, ada seekor anak kucing liar-kampung yang terlunta-lunta di halaman rumah. Kami semua iba. Virginia melonjak kegirangan. Dia akan punya teman. Mimpi indahnya jadi kenyataan. Kami memungutnya. Memeliharanya. Membersihkannya. Menyayanginya. Menvaksinnya.
Virginia menamainya Xavier, meski si kucing berkelamin betina. Kami semua memanggilnya Xavier. Saat kami terlalu sayang atau jengkel karena kenakalan-kenakalannya, kami akan memanggilnya “Sapi’i” (tentu saja dengan suara yang melengking girang). Xavier/Sapi’i telah menjadi bagian dari kebahagiaan kami. Virginia memiliki teman manis yang menemaninya saat dia pulang sekolah, ketika rumah tak ada siapa-siapa.
Dua minggu lalu, ada lagi seekor anak kucing kurus, terseok-seok, buluk, dan matanya berair, yang masuk ke halaman rumah. Jelas, dia sedang sakit. Virginia jatuh iba sekaligus jatuh cinta. Dia bersikeras untuk memungutnya. Kami ogah. Dia terus memaksa.
Akhirnya, malam-malam, saya dan istri mencarinya, dan ketemu. Sebagai doa dan harapan, kami menamainya Slamet Jaya Sakti, tapi panggilannya Metti karena ia kucing betina. Tapi dua hari kemudian, si Metti mati di klinik dokter hewan. Karena kematian ini, Virginia perlu waktu emapt hari untuk mengeringkan matanya dari air mata kedukaan.
Lalu, tiga hari lalu, ada lagi seekor kucing betina yang melahirkan di ruang kerjaku yang tak sengaja terbuka. Si induk kucing ini begitu saja meninggalkan seekor orok kucing sebesar genggaman tangan Virginia. Tentu saja kami panik. Virginia terlanjur mencintainya. Akhirnya, kami bertekad merawatnya, apapun yang terjadi. Istriku dan Virginia bergantian meminuminya susu.
Virginia memberinya nama Nugget. Kemarin sore, pulang dari sekolah, tanpa melepas baju seragamnya, Virginia meminumi si Nugget susu. Tampak jelas si Nugget kecil sedang sakaratul maut. Virginia tahu itu, tapi dia tidak bisa menerima kenyataan. Dia tekan-tekan dada si Nugget seperti aktivis PMR yang sedang melakukan resusitasi jantung.
Menjelang maghrib, tepat sebelum masuk les, datang telepon dari rumah, memberi kabar duka: Nugget pergi menghadap Ilahi. Seketika jatuh air mata membasahi pipi Virginia. Tapi dia tetap harus masuk KUMON. Butuh waktu tiga jam untuk menyelesaikan soal-soal KUMON yang biasanya hanya butuh waktu satu sampai satu setengah jam.
Saya tahu , dia ingin segera pulang menemui si Nugget untuk terahir kali. Dia tahu dia tak lagi punya waktu. Tapi KUMON tak mungkin ditinggalkannya. Saat dia pulang pada pukul 20.30, si Nugget sudah dikubur. Tumpah ruah air matanya. Suara tangisnya melolong-lolong karena kehilangan cintanya. Bumi yang dipijaknya goyah, langit terasa runtuh. Dia tumpahkan air matanya di bantal.
Hingga saat dia kelelahan dan tertidur menjelang tengah malam, dadanya masih naik turun menahan sisa-sisa tangis karena duka kehilangan cinta.
Bagi Virginia, Xavier, Metti, dan Nugget bukan sekedar kucing. Mereka adalah hidupnya, hatinya, cintanya, dunianya, yang akan diperjuangkan dengan seluruh pengorbanan yang ia bisa berikan. Kehilangan mereka berarti kedukaan yang mengucurkan air mata sederas hujan.[]