Adakah sebuah keindahan yang tersingkap di sini? Ataukah sebuah keajaiban yang mengendap dan mengabulkan semua impian? Adakah semua itu di sini? Di sebuah tempat sederhana, kumuh, dan padat penduduk ini? Mengapa semua orang berbondong-bondong masuk ke tempat ini? Rela berjejal-jejalan tidur dan mengantri dalam segala hal. Aneh. Apakah semua orang sudah kehilangan daya otaknya?
Adalah Adam, seorang remaja tanggung yang mempunyai beribu pertanyaan itu. Jangan tanya tentang alasan ia mondok. Karena alasannya hanyalah satu, menemukan tempat tinggal murah meriah di kota. Pesantren, menurutnya, lebih baik daripada harus ngekos di kos kapsul. Bahkan kos yang ukurannya 2×1 meter persegi itu lebih mahal daripada pesantren.
Tapi tatkala ia bermukim di pesantren ini, beribu pertanyaan merangsek di otaknya. Tepat ketika malam mulai menggelarkan tirainya dan bintang menyemai di sana, sebuah pemandangan tak wajar menyentil matanya.
“Dasar kurang kerjaan. Kenapa pula berdesak-desakan demi sisa air minum Mbah Kiai?” cacinya.
Mendengar pernyataan bodoh itu, Panji menepuk jidatnya dan langsung tertawa.
“Kau ini santri bukan ha, Dam? Sisa air minum itu kan banyak barokahnya,” tukasnya.
“Barokah apaan? Banyak penyakit lah iya.”
“Adam, Adam. Masa kau nggak percaya dengan barokah? Santri jenis apa kau ini?”
“Eh, Ji, ini tahun 2020. Modern sedikit napa? Takhayul kok masih disembah-sembah.”
“Bodo ah.”
Barokah adalah hal ter–bullshit kesekian kalinya yang Adam dengar. Semenjak ia menjejakkan kakinya, Adam sadar bahwa kehidupan di pesantren benar-benar tak bisa dilogika. Ia masih ingat ketika malam pertama, dimana telinganya mendengar hal tak logis dari sang Kiai: “Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia.”
Adam pun merenung. Ia tatap halaman pesantren yang lengang. Tidak ada sama sekali yang melangkahkan kakinya di atas paving. Mungkin karena rinai gerimis yang kian manis menghasut para santri, sehingga tidak ada yang mau keluar dan memilih tidur berbantal lengan di kamar. Atau mungkin karena angin lembut yang meniup kanopi gazebo sehingga tak ada yang mau bersenda gurau di sana. Entahlah Adam tak tahu. Ia hanya bingung merenungi perkataan orang tua yang menurutnya hanya pintar bercakap itu.
Malam ini hanya secangkir kopi yang menemaninya. Secangkir kopi yang dinikmati berdua dengan makhluk tak jelas bernama Panji. Secangkir berdua bukan romatis, tapi karena keadaan yang memaksanya melakukan ini. Akhir bulan memang selalu mengenaskan.
“Jadi kita nggak usah cari uang, gitu? Ya nggak mungkin lah,” pungkas Adam tepat setelah pengajian Mbah Yai selesai.
“Mungkin aja lah. Liat aja Mbah Kiai! Beliau nggak pernah terlihat bekerja tapi beliau malah punya mobil BMW,” kilah Panji.
“Eleh, paling itu hanya kebetulan.”
“Eh, Dam, mana mungkin kebetulan terjadi berkali-kali. Kau tahu? Bahkan Mbah Kiai pernah menolak pemberian mobil dari orang.”
Diam. Hanya itu yang dapat Adam lakukan waktu itu.
Dan sekarang, lagi-lagi Adam duduk termenung di gazebo pondok. Kakinya menjuntai, sedang pandangannya erat menatap rembulan. Bundaran cahaya di tengah langit kelam itu, menyadarkan Adam bahwa ia sudah setahun bermukim di pesantren ini. Sengau sang pungguk turut membisikkan pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Pernah Adam bertanya pada semua santri tentang apa yang menjadikan mereka betah di sini, tapi jawabannya selalu mainstream. Mereka hanya menjawab karena ngajinya bagus atau karena temannya banyak. Sama sekali tidak ada jawaban yang bisa memuaskan Adam.
“Pak Kiai pasti menyembunyikan sesuatu!” tukasnya.
Malam kian menggelayut. Butiran embun kian menjamah, memeluk setiap makhluk. Kesejukan berbalut kedinginan menidurkan semua orang dalam peluknya. Jenuh pun kian menguap, membuat mata Adam terpejam. Lelaki itu duduk bersandar tiang dengan pikiran yang masih mengawang.
Jam terus berputar, menenggelamkan manusia bersama lelahnya. Sayangnya permukaan tiang yang tak rata membuat kepala Adam tergeser dengan sendirinya. Pemuda itu pun terbangun. Matanya mengerjap. Ia masih mengantuk. Namun sebuah pemandangan yang aneh menyempil di sudut matanya. Sang Kiai tengah berjalan sendirian. Adam pun bangun, ia hendak mengawasi gerak-gerik si tua itu.
Adam pun bergegas. Ia bersembunyi di tugu. Kepalanya menyembul, berusaha melihat apa yang dilakukan oleh kiainya. Sungguh aneh melihat orang yang sesepuh beliau dengan jam segini, masih berkeliaran di area pondok, sendirian pula. Bukan hanya berdiri, tetapi juga tengah merapal sebuh mantra, entah apa itu.
“Oh, jadi yang membuat para santri itu betah karena Pak Kiai pasang jampi-jampi?” Otak Adam menyimpulkan sekenanya.
Merasa telah menemukan jawaban yang ia cari, Adam pun meninggalkan orang sepuh yang ia anggap cuma mahir dalam bercakap. Pemuda itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia tak perlu memikirkan jawaban dari pertanyaannya lagi.
***
“Tumben. Biasanya kalau setelah ngaji subuh, kau tidur, eh sekarang malah cengar-cengir kaya keledai mau kawin aja,” timpal Panji dengan mulut yang masih suka menguap.
“Terserah apa kata kau, yang penting aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku,” tandas Adam tak berselera.
“Pertanyaan yang kau lontarkan kepada santri-santri sepuh itu?”
Adam hanya mengangguk. Badannya bersimpuh pada tembok ndalem.
“Lalu jawabannya apa?”
“Mbah Kiai menggunakan jampi-jampi,” bisik Adam.
Mendengar jawaban seperti itu, kantuk yang semula masih menggelayuti Panji, mendadak menghilang. Matanya seketika membelalak. Bunyi kuap mulutnya berubah menjadi raungan kemarahan. Hendak tangannya meninju bibir si Adam, tapi urung.
“Berani-beraninya kau bilang Mbah Kiai seperti itu?” nada bicara Panji meningkat.
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Orang tua itu memutari pondok sambil membaca mantra.”
Panji tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri lalu mengangkat Adam dengan cara mencengkram kerahnya. “Bilang sekali lagi, kusobek mulutmu!” raungnya.
Santri-santri yang terkantuk-kantuk mendadak melek. Sontak mereka bangun dan mengerumuni Panji. Beberapa pengurus langsung keluar dan melerai Adam serta Panji. Naas, tak hanya pengurus serta santri, sang pengasuh pun turut keluar dari ndalem. Teriakan Panji nampaknya membahana di seluruh lingkungan pesantren.
Tak ayal. Seperti mengetahui seluk-beluk perkara, sang Kiai pun langsung mendekat. Para santri pun beringsut mengundurkan diri sembari menundukkan kepala, memberikan jalan bagi sang guru. Melihat sang Kiai, Panji pun langsung bersimpuh. Emosi yang tadi begitu membara, musnah begitu saja.
Dengan lembut, mbah Kiai mengangkat tubuh Panji supaya berdiri. Setelah itu beliau membawanya masuk ke ndalem seorang diri.
“Biarkan aku berbicara dengan Panji. Kalian bisa istirahat,” dawuh beliau ketika lurah pondok hendak ikut masuk ke ndalem.
Tanpa meminta sebuah alasan, si lurah pondok langsung mengangguk dan mbah Kiai pun menutup pintu.
Panji langsung bersimpuh. Pandangannya sempurna tertunduk. Pemuda itu sama sekali tak berani menatap gurunya yang berada tepat di depannya.
“Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Adam bicarakan. Kamu tahu kenapa kamu yang saya ajak masuk ke ndalem?”
Panji menggeleng, “Mboten, Kiai,” celetuknya.
“Tidak seharusnya kau lawan ketidaktahuan dengan kekerasan.”
“Tapi, Kiai, dia sudah menghina jenengan.”
“Bukan menghina, tapi dia tidak tahu apa yang saya sedang ia lakukan. Bukankah kebaikan tak selalu dibalas air susu? Biarkan dia mempelajari lebih dalam lagi. Bukankah Nabi Ibrahim juga perlu waktu untuk menemukan kebenaran?”
“Leres, Kiai.”
“Sekarang beristirahatlah! Minta maaflah kepada Adam!”
Panji pun beringsut mundur, baru setelah sampai di ambang pintu, ia berdiri lalu keluar. Ternyata tepat di daun pintu, Adam tengah berdiri. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Panji.
“Maafkan aku, Dam. Tidak seharusnya aku membentak orang yang sedang belajar.” Panji mengulurkan tangannya.
Adam pun menerimanya. Tatapannya kosong. Otaknya dipenuhi oleh banyak pikiran. Melalui daun pintu yang terbuka sedikit, ia sempat mendengar semua percakapan mbah Kiai dengan Panji tadi. Sontak hal itu membuatnya bingung, tak mengerti. Ada sesuatu yang mengalir jernih di sanubarinya. Entah apa itu.