Celana Cingkrang dan Cadar di Keluarga Pak Gandhi: Tanggapan untuk DW Indonesia

Celana Cingkrang dan Cadar di Keluarga Pak Gandhi: Tanggapan untuk DW Indonesia

Tetangga saya memakai celana cingkrang dan istrinya bercadar. Namun mereka bukan Muslim yang menutup diri. DW Indonesia perlu berkenalan dengan mereka.

Celana Cingkrang dan Cadar di Keluarga Pak Gandhi: Tanggapan untuk DW Indonesia

Namanya Pak Gandhi. Dia pakai celana cingkrang. Istrinya sehari-hari mengenakan cadar. Namun, jangan salah sangka. Pak Gandhi bukan keluarga yang eksklusif dan menutup diri. DW Indonesia perlu berkenalan dengan keluarga ini.

Keluarga Pak Gandhi merupakan tetangga depan rumah keluarga saya di Salatiga. Keluarga muda ini cukup mudah dikenali. Pak Gandhi mempunyai jenggot yang dibiarkan memanjang di dagunya dan selalu tampil dengan celana cingkrang. Sedangkan Bu Gandhi merupakan sosok muslimah bercadar. Terakhir saya berjumpa, suami-istri ini memiliki enam orang anak yang semuanya masih kecil-kecil.

Rumah mereka berhadap-hadapan dengan rumah keluarga saya yang jarang ditinggali. Sebab keluarga saya memang sehari-hari tidak tinggal di kota ini. Maka rumah ini lebih sering disewakan dan kami sudah terbiasa menitipkan rumah satu ini kepada Pak Gandhi.

Sebagai tetangga, saya pikir keluarga Pak Gandhi adalah contoh tetangga ideal yang layak masuk dalam buku pelajaran PPKn. Pak Gandhi adalah sosok yang ramah dan baik. Mungkin ini karakter bawaan yang melekat karena profesinya sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Akan tetapi, tetap saja jarang saya temui orang dengan karakter sebaik dia.

Salah satu contohnya, Pak Gandhi sangat suka merawat tanaman. Bahkan karena rumahnya cukup kecil, kadang dia meminta izin memanfaatkan halaman kebun rumah kami. Di kebun, dia bertanam sayur, ubi, dan kadang kacang-kacangan. Sedangkan di depan pagar rumah kami, Pak Gandhi menjajarkan aneka tanaman hiasnya dalam pot.

Kami tidak berkeberatan. Sebab sebelum Pak Gandhi tinggal di depan rumah kami, kebun rumah kami malah kerap dijadikan tempat sampah oleh warga. Tak ayal, aneka sampah dan brangkal selalu kami temui tiap kami menengok rumah. Namun pemandangan ini langsung sirna sejak tanaman-tanaman Pak Gandhi ramai memenuhi kebun kami.

Keluarga ini sangat jauh dari kesan eksklusif. Tiap kali kami datang, mereka selalu keluar rumah dan bertegur sapa. Pak Gandhi dan Bu Gandhi memang menjaga diri untuk tidak bersalaman dengan lawan jenis. Pak Gandhi selalu tersenyum sambil menangkupkan tangan saat mengulukkan salam kepada ibu saya. Begitu pun Bu Gandhi juga melakukan hal serupa kalau ingin menyalami saya atau adik laki-laki saya.

Walaupun demikian, mereka sama sekali tidak menampakkan gestur menjaga jarak terhadap keluarga kami yang berbeda identitas dengan mereka. Biasanya kalau kami datang ke Salatiga, Pak Gandhi pasti menyempatkan mampir sejenak untuk sekadar ngobrol. Sambil berbagi hasil panennya di kebun kami atau membawakan masakan istrinya.

Keenam anaknya yang lucu-lucu juga dibiasakan untuk bertegur sapa dengan kami. Kadang saya atau adik laki-laki saya suka membelikan jajanan untuk anak-anak Pak Gandhi. Mereka tak lupa mengucapkan terima kasih dan mencium tangan kami sebagai orang yang lebih tua. Termasuk anak perempuannya yang sudah berjilbab sejak balita.

Jujur saja, mengenal keluarga Pak Gandhi membuat saya membuang jauh-jauh prasangka buruk saya terhadap orang-orang dengan busana celana cingkrang dan bercadar. Tadinya saya berpikir orang-orang dengan setelan seperti itu adalah kaum yang eksklusif dan punya pandangan keras. Busana kelompok teroris yang suka memandang orang yang berbeda dengan mereka sebagai musuh. Nyatanya saya menemukan sendiri keluarga Pak Gandhi tidak bersikap demikian.

Bisa jadi mereka memang meyakini nilai-nilai tertentu yang mereka yakini benar. Maka mereka menerapkan nilai-nilai tersebut untuk dirinya dan keluarganya. Meskipun begitu, tak lantas mereka memaksakan keyakinan tersebut untuk menilai orang lain. Dalam hemat saya, mereka adalah keluarga yang berpikiran terbuka. Buktinya, Bu Gandhi yang mengenakan cadar mau-mau saja bercengkerama dengan ibu saya yang tidak berjilbab.

Demikian pula saya tak pantas mencampuri ranah yang terlalu personal dalam menjalin relasi dengan keluarga Pak Gandhi. Saat ini, saya cukup menerima kenyataan anak-anaknya masih mau mencium tangan saya setiap kali bertemu. Kebetulan hal itu sesuai dengan nilai yang saya anut karena saya tidak mengharamkan diri bersalaman dengan lawan jenis.

Kelak di umur tertentu anak-anak perempuan Pak Gandhi memilih mengatupkan tangan daripada mencium tangan saya, tentu saja saya tidak perlu menghakimi. Mengapa? Tentu karena saya sudah kenal dengan keluarga ini. Saya memahami seperti apa cara mereka mengungkapkan sopan santunnya.

Agaknya sikap ini yang absen dalam hasil liputan DW Indonesia tentang potret anak-anak yang berjilbab sejak kecil. Mereka terburu menyamaratakan penampilan seseorang dengan pandangan/perilaku tertentu. Dalam benak mereka, ekspresi tersebut hanya bisa dimaknai secara seragam. Mereka abai memahami bahwa melalui satu jenis busana yang sama, yakni jilbab, orang-orang yang bisa mengungkapkan beragam ekspresi yang berbeda.

Dalam sebuah liputan yang diklaim berimbang, imparsial, dan akurat, DW Indonesia hanya meminjam sosok dua orang ibu sebagai latar belakang fenomena. Keduanya cuma hadir di sepertiga awal liputan. Setelahnya media ini memberikan penghakiman atas nilai-nilai yang mereka anut, melalui keterangan seorang psikolog dan seorang feminis muslim. Tanpa sadar, DW Indonesia telah meliput fenomena ini dengan cara pandang yang sangat tertutup.

Apabila benar demikian, tampaknya DW Indonesia memang perlu berkenalan dengan keluarga Pak Gandhi.