Di tengah wabah Covid-19 ini, promosi atas narasi “KHILAFAH ADALAH SOLUSI” kembali mencuat di media sosial. Sempat menjadi trending di twitter. Kali ini, ide khilafah ditawarkan sebagai solusi atas masalah pandemi Covid-19.
Sebagaimana biasanya, ide khilafah kerap disuarakan sebagai solusi atas berbagai masalah yang terjadi. Narasi klasik yang sering terdengar, apapun masalahnya, solusinya adalah khilafah. Korupsi, kemiskinan, masalah sosial, bencana alam, apalagi cuma wabah, khilafah-lah solusinya. Narasi ini memang indah, namun bermasalah secara logika dan fakta sejarah.
Secara logika, ketika kita lapar, solusinya adalah makan. Ketika haus, solusinya adalah minum. Ketika sakit, solusinya adalah berobat. Antara masalah dan solusi dalam pernyataan-pernyataan tersebut, dekat dan saling berhubungan. Berbeda halnya, ketika mengatakan, jika lapar, solusinya adalah menanam padi. Pernyataan ini tidak berhubungan secara kausalitas (sebab akibat). Karena lompatannya jauh. Boro-boro mau menanam padi, yang terjadi malah pingsan akibat kelaparan.
Begitu juga ketika mengatakan bahwa khilafah adalah solusi Covid-19, misalnya. Pernyataan ini cukup jauh lompatannya. Karena, bicara solusi covid-19 adalah bicara bagaimana mengoptimalkan tata kelola kesehatan, menemukan obat dan vaksin, serta menyelamatkan nyawa manusia. Semua ini terkait dengan kebijakan pemimpin, ketersediaan sumber daya, kerjasama warga negara dan faktor lainnya. Tidak ada kaitannya dengan sistem politik manapun di dunia ini, termasuk sistem khilafah. Apakah dengan menerapkan sistem khilafah, semua masalah akan selesai? Mari kita lihat fakta sejarah.
Sejarah kekhilafahan dalam Islam, membuktikan bahwa sistem khilafah tidak seindah dan seideal yang dinarasikan. Di zaman khilafah, sejak masa sahabat hingga masa Turki Utsmani, terjadi berbagai peperangan saudara antar umat Islam. Penyebabnya, karena persoalan politik dan perebutan kekuasaan.
Transisi dari satu khilafah ke khilafah yang lain, kerap melalui pertumpahan darah, seperti transisi dari khilafah Abbasiyah ke Umayyah. Pergantian tiap khalifah (pemimpin), tak jarang terjadi melalui konspirasi, kudeta, dan pembunuhan. Hal ini direkam dalam literatur sejarah Islam klasik seperti Tarikh al-Thabari dan Tarikh al-Khulafa Imam Suyuthi (911H).
Beberapa masalah politik di masa khilafah juga terjadi. Nepotisme dalam pengangkatan pejabat pada era khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Konspirasi militer Turki di masa khilafah Abbasiyah. Kriminalisasi ulama dan politisasi akidah seperti peristiwa mihnah yang menewaskan ribuan ulama, mayoritas dieksekusi tanpa proses peradilan.
Keberadaan ide khilafah di banyak negara juga sering menimbulkan masalah, seperti keterlibatan dalam kudeta, terorisme, penyebar kebencian, ajaran separatis dan seterusnya. Karenanya, secara organisasi, Hizbut Tahrir yang mengusung sistem khilafah telah dilarang di berbagai negara, seperti negara-negara Eropa, Asia, bahkan Timur Tengah, yang menjadi asal persemaian ide khilafah. Di Indonesia, aktivitas HT telah dibekukan sejak Juli 2017.
Fakta-fakta yang tersaji di atas menunjukkan bahwa khilafah bukanlah solusi atas setiap masalah. Kita melihat sistem khilafah pada masa lalu ada juga bolongnya. Sebuah sistem yang punya sisi baik dan buruknya. Tidak sempurna seperti yang dipromosikan. Khilafah tidak kebal wabah. Khilafah juga bukan sistem suci yang menjamin terselenggaranya keadilan dan kedamaian.
Dalam ajaran Islam, yang menjadi pokok sebenarnya adalah kewajiban mengangkat pemimpin/pemerintah. Bentuk dan sistem adalah wilayah ijtihadiyah. Bisa dalam bentuk sistem politik yang ada pada masa Khulafah Rasidyin, bentuk monarki seperti khilafah Umayyah dan Abbasiyah atau bisa dalam bentuk yang lain. Karenanya, dalam kitab-kitab fikih, yang ditekankan adalah kewajiban mengangkat pemimpin (khalifah atau Imam), bukan kewajiban mendirikan sistem pemerintahan/politik.
Sebagai sebuah ijtihad, ditemukan perbedaan para ulama dalam merumuskan konsep khilafah (sistem pemerintahan). Misalnya di era klasik, Imam al-Mawardi (423 H) dalam Ahkamul Suthaniyyah menyebutkan bagaimana bentuk sistem khilafah. Sedangkan syekh Ibnu Taimiyah (728 H) dalam kitabnya Siyasah Syar’iyah lebih mengedepankan substansi dan etika politik.
Ulama belakangan seperti syeikh Abdul Wahhab Khalaf (1956 M), Taqiyuddin an-Nabhani (1977 M), dan al-Maududi (1979 M), juga mempunyai konsep khilafah. Yang berbeda, jika sebelumnya al-Mawardi tidak bicara jelas misalnya, soal trias politika, maka Abdul Wahab Khalaf menyebut adanya tiga pembagian kekuasaan shultah. Dalam konteks ini, konsep khilafahnya syeikh Taqiyuddin an-Nabhani yang dipromosikan oleh para pengusung khilafah, hanyalah sebagian dari produk ijtihad dalam sejarah penulisan fiqhul siyasah (fikih politik).
Dalam konteks ke-Indonesiaan, para ulama bersama tokoh bangsa telah menyepakati demokrasi sebagai sistem politik, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan Pancasila sebagai dasar negara. Ini adalah ijtihad yang sah. Dengan kata lain, Indonesia dengan sistem politiknya adalah sebuah khilafah dalam bentuknya sendiri.