Ada sebuah gambar yang tersebar di media sosial isinya tentang penjelasan tidak ada syariat adzan ketika menguburkan jenazah. Alasannya karena tidak pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya. Perlu diketahui, adzan sebetulnya tidak hanya untuk memberi tahu masuknya waktu shalat, tapi juga boleh dilakukan untuk selain waktu shalat.
Ada beberapa riwayat hadis yang menunjukkan adzan dilakukan selain waktu shalat, seperti di bawah ini:
Pertama, adzan saat kerasukan
… فَإِذَا تَغَوَّلَتْ لَكُمُ الْغِيْلَانُ فَنَادُوْا بِالْأَذَانِ …
“Jika ada yang kerasukan jin/syetan maka kumandangkanlah adzan”.
Al-Hafidz al-Suyuthi menyampaikan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh al-Nasai dalam Sunan al-Kubra (No 10791) dan Abu Ya’la (no 2219). Ditegaskan oleh al-Hafidz al-Haitsami (3/213): “Para perawinya adalah perawi hadis sahih” (Jami’ al-Ahadits 14/279)
Kedua, adzan saat kesusahan
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ : رَآنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِيْنًا فَقَالَ : يَا ابْنَ أَبِي طَالِبٍ أَرَاكَ حَزِيْنًا ؟ قُلْتُ هُوَ كَذَلِكَ قَالَ : فَمُرْ بَعْضَ أَهْلِكَ يُؤَذِّنْ فِي أُذُنِكَ فَإِنَّهُ دَوَاءٌ لِلْهَمِّ
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Nabi melihatku sedih. Beliau bersabda, ‘Suruh sebagian keluargamu adzan di telingamu. Sebab itu obat bagi rasa sedih.’” (HR al-Dailami)
Ketiga, adzan saat kelahiran
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Saya melihat Rasulullah meng-adzani Hasan bin Ali saat Fatimah melahirkan, dengan adzan shalat” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi, ia menilainya hasan sahih). Ulama Salafi menilai hadis ini hasan dalam Irwa’ al-Ghalil 4/400.
Dari beberapa hadis inilah ulama Syafi’iyah berijtihad dengan metode Qiyas:
قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ وَالْمَهْمُومِ وَالْمَصْرُوعِ وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ
“Terkadang dianjurkan adzan untuk selain shalat, seperti di telinga bayi yang lahir, orang susah, orang pingsan, orang marah, yang buruk perilakunya baik manusia atau hewan, ketika desakan pasukan, ketika tenggelam. Ada yang mengatakan ketika mayit diturunkan ke kubur, diqiyaskan dengan pertama kali lahir di dunia, namun saya membantahnya dalam kitab Syarah Ubab. Juga ketika kerasukan jin, berdasarkan hadis sahih. Demikian halnya adzan dan iqamah di belakang musafir” (Tuhfah al-Muhtaj, 5/51)
Sejak kapan ada ijtihad adzan ketika pemakaman? Mari perhatikan dengan cermat:
الْاِصَابِي (577 – 657 هـ – 1181 – 1258 م) عَلِيًّ بْنُ الْحُسَيْنِ الْاِصَابِي، أَبُوْ الْحَسَنِ: فَقِيْهٌ أُصُوْلِيٌّ، يَمَانِيٌّ. وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْاَذَانَ لِمَنْ يُسَدُّ اللَّحْدَ عَلَى الْمَيِّتِ
“Ali bin Husain al-Ishabi (577-657 H atau 1181-1257 M), Abu Hasan, ahli fikih, ahli usul fikih, berkebangsaan Yaman. Dia adalah yang pertama kali menganjurkan adzan terhadap orang yang memasukkan mayat ke liang lahat” (al-A’lam, 4/280)
Dari penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami sebenarnya kita tahu bahwa dalam internal Madzhab Syafi’iyah ada perbedaan pendapat soal adzan ketika pemakaman ini. Bedanya, dalam madzhab Syafi’iyah diakui sebagai khilafiyah dalam ijtihad, karena memang ulamanya ahli ijtihad semua. Giliran ada golongan anti madzhab dan tidak punya kapasitas ijtihad tiba-tiba mereka mengatakan bahwa adzan ketika pemakaman tidak ada dalam Syariat Islam. Pahamkan, akhi-ukhti?
Kalau hasil ijtihad dengan metode Qiyas diagggap bukan bagian dari Islam, ya batalkan juga ijtihad tentang zakat profesi karena tidak ada di zaman Nabi, juga jangan berzakat fitrah dengan beras karena diqiyaskan dengan kurma padahal Nabi mengeluarkan zakat fitrah dengan kurma. Dan masalah lain dalam perkembangan ijtihad.