Jilbab, atau apapun modelnya, sejak awal penetapannya sangatlah politis. Keberadaannya dimaksudkan untuk membedakan mana perempuan merdeka dan mana yang budak.
Ceritanya begini: berawal dari para istri Nabi Muhammad yang keluar rumah untuk sebuah keperluan, terdapat sekelompok orang mengganggu mereka. Para istri tersebut tentu saja melapor kepada Nabi.
Sesudah Nabi memberi nasehat kepada istrinya, para pengganggu itu berkilah dan mengatakan: “kami kira mereka perempuan-perempuan budak”. Lalu turunlah Q.S. al-Ahzab: 59. Itu salah satu riwayat yang direkam Tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili.
Jilbab, dengan demikian, pada awalnya memiliki fungsi teknis supaya perempuan lebih mudah dikenali dan tidak diganggu. Dan memang begitulah dalil Qurannya. Maka, kata kuncinya adalah dua, yakni: agar lebih mudah dikenali (identity) dan menghadirkan rasa aman (self defense).
Mengapa dua hal itu penting? Naini.
Saya mulai dari “menciptakan rasa aman” dulu. Seperti dimafhumi bilamana Arab pada saat itu bisa dibilang sangat tidak ramah perempuan. Kultur patriarkhi di sana terlampau lebat. Bahkan, adalah kemakluman bagi bangsa Arab di masa sebelum kedatangan Islam, bayi-bayi perempuan dikabarkan tidak boleh tumbuh atau hidup lebih lama, karena dianggap sebagai sebuah cacat sosial bagi sebuah klan atau kelas menengah bawah.
Lalu, Islam datang untuk menghabisi watak jahiliyah itu. Apakah berhasil? Boleh jadi iya, meski tidak sepenuhnya. Buktinya, upaya pelecehan terhadap istri-istri Nabi yang menjadi musabab dari turunnya ayat di atas seolah menegaskan bahwa nalar jahili itu masih tetap eksis saja.
Atau, dalam bentuk paling modern, nalar serupa juga bisa Anda simak lewat pemaparan seorang ustaz yang konon merupakan anggota MUI dan mengatakan bahwa “si istri (perempuan) mah diam aja, tidur aja, nggak sakit kok”.
Pendeknya, sehubungan dengan pandangan laki-laki terhadap perempuan sebaiknya diberi underline bahwa perjuangan masih belum selesai, bung!!!
Baik. Kembali ke “menciptakan rasa aman”. Dalam redaksi asli, teks mengatakan bahwa perintah untuk mengulurkan jilbab itu agar, salah satunya, perempuan “falā yu’ żain” (tidak diganggu). Persoalannya, diganggu oleh siapa?
Tentu saja oleh laki-laki, atau lebih spesifik lagi adalah “laki-laki yang menganggu” (a bad guy). Artinya, masih banyak kok “laki-laki baik yang, tidak mengganggu”. Yang jelas, jangan bayangkan kalau indikator sesuatu sehingga dapat dikatakan “menganggu” antara Arab dengan kita itu sama. Dan, sebaiknya hal ini tidak perlu diteruskan. Pokoknya gitulah.
Tapi poinnya, setiap masyarakat punya psiko-sosial atau batasan-batasannya sendiri. Jilbab, dengan demikian, sangat berkait-berkelindan atau memiliki elan vital dengan semangat zaman dan makan (regional) pada saat itu.
Para ulama pun lalu berdebat tentang seberapa jauh batasan itu. Hasilnya sungguh menakjubkan. Sangat beragam dan kaya sekali. Kapan waktu kalau luang, Anda bisa baca ulasan tentang hal ini di artikel Buya Hussein, atau Sarjoko, atau Nur Hasan, atau lainnya.
Maka, saya tidak habis pikir kalau sekarang ada yang terkaget-kaget mengomentari ragamnya tafsir jilbab hanya dengan satu sudut pandang. Padahal sebetulnya ya biasa saja. Sejak dulu ulama sudah berbeda pendapat tentang itu. Dan, bukankah keanekaragaman tafsir atau pendapat itu adalah bukti kebesaran Tuhan? Jadi, mbok jangan seperti orang kagetan.
Kedua, soal identitas. Ini lanjutan dari jilbab yang tidak saja berfungsi agar “menciptakan rasa aman”, tetapi juga penegasan identitas perempuan muslim saat itu. Perlu diingat bahwa Nabi tidak tinggal di sebuah kampung eksklusif khusus muslim atau sebuah komplek hunian bersyariah a la sekarang.
Kenyataannya, Kanjeng Nabi dan umat muslim lainnya pada saat itu justru hidup bertetangga dengan komunitas lain seperti masyarakat Yahudi, Nasrani dan kelas sosial lain seperti para budak.
Di masa itu—dan mungkin juga sekarang—, penegasan identitas sangalah penting, bil khusus bagi perempuan. Anda bisa bayangkan, jauh sebelum penanggalan Masehi dimulai, betapa urusan ini sampai mendorong Aristoteles untuk memikirkan pengorganisasian hidup: bahwa segala sesuatu di alam ini termasuk dalam kategori dan subkategori yang berbeda-beda.
Satu contoh, sebut saja ustaz Felix Siauw. Ia adalah makhluk hidup, lebih khusus manusia, lebih khusus laki-laki, lebih khusus warga negara Indonesia, lebih khusus seorang Muslim, lebih khusus seorang pendakwah, dan lebih khusus lagi berafiliasi dengan HTI.
Sehingga dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa ustaz Felix Siauw yang merupakan pendakwah HTI itu adalah kategori yang paling mentok.
Dalam konteks ini, perintah untuk menjulurkan jilbab yang berlaku bagi para istri dan anak-anak Nabi serta kaum muslimah secara umum ini merupakan penegasan agar mereka berbeda secara identitas dengan, misalnya, perempuan non-Muslim atau para budak. Dan, jilbab itulah simbol atau tanda pembedanya.
Sehingga, di titik ini semangat “agar mudah dikenali” pun menjadi masuk akal. Sebab jika tidak demikian, salah-salah marwah istri para Nabi akan sama rendahnya dengan para budak, saat itu.
Sayangnya, semakin ke mari ayat itu kerap menjadi senjata sebagian orang untuk, maaf, sekadar mengingatkan para perempuan muslim agar menjulurkan jilbab sebagaimana anggapan mereka soal “ajaran Islam” yang orisinil.
Tidak hanya menggunakan dalil al-Qur’an, para penganjur jilbab ini biasanya juga mengaitkan narasi jilbab dengan, misalnya, kadar ketakwaan seorang muslimah.
Bahkan belakangan, penegasan identitas jilbab yang sedianya bermaksud untuk membedakan mana wanita muslim merdeka dengan yang tidak itu semakin dipersempit pada “hijab memang hanya buat yang cantik-cantik aja”. Ya, statement itu dikicaukan oleh Felix Siauw lewat akun twitter-nya.
Namun, betapapun, ia ada benarnya juga. Artinya, bisa jadi yang dimaksud adalah kalau Anda tidak cantik sebaiknya jangan berjilbab. Ini berlaku untuk laki-laki. Dan karenanya benar.
Akan tetapi, bisa juga yang dimaksud adalah kalau Anda ingin cantik, maka berjilbablah. Ini tentu saja berlaku buat perempuan. Dan, misal saja yang dimaksud adalah yang kedua ini, terus terang saya keberatan. Mengapa? Sebab, cantik itu relatif.
Lagi pula, bukankah ini justru merupakan satu bid’ah yang bukan kepalang? Kok Bisa?
Lhoh iya, di mana-mana perintah jilbab itu ya diperkenankan untuk li aẓwājika wa banātika wa nisā’i al-mu’minīn. Pokoknya perempuan. Titik. Anda mau beli al-Qur’an cetakan manapun redaksinya juga akan tetap begitu.
Tidak ada kok Qur’an menerangkan “berjilbablah agar supaya cantik, atau jilbab hanya untuk yang cantik-cantik”. Kira-kira begitu. Fahimtum?