Masih hangat menjadi perbincangan, upaya Pemerintah Kabupaten Bireun yang melakukan standarisasi kedai kopi/cafe dan restoran yang di beberapa pointnya lebih fokus pada upaya domestifikasi perempuan dengan larangan perempuan dilayani di restoran diatas pukul 21.00 atau bila ia bersama dengan lelaki lain tanpa mahram. Sekilas aturan ini mencerminkan upaya untuk menegakkan syariat Islam di negeri serambi Mekah, namun pertaanyaan lanjutannya adalah apakah aturan ini berfaedah atau tidak?
Dalam penelitiannya, Prof. Arskal Salim merumuskan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai identitasnya termasuk dalam ranah legislasi. Pertama, sejarah masuknya Islam di Nusantara yang dimulai dari Aceh, Kedua, fakta bahwa kerajaan Islam pertama kali di Nusantara berada di Aceh, dan ketiga, sejarah penerapan syariat Islam di Aceh yang memiliki riwayat panjang.
Secara politis, Prof. Masykuri Abdillah merumuskan bahwa ada tiga model penerapan syariat Islam sebagai hukum Nasional. Pertama, sekuler, dimana syariat Islam tidak dimasukkan sama sekali dalam hukum Nasional, dan diserahkan pada persoalan individu masyarakat. Kedua, penerapan secara substansial, yakni syariat Islam tidak secara tekstualis diterapkan dalam hukum Nasional namun nilai substansinya diterapkan dalam hukum Nasional seperti prinsip syariat hifdz mal yang diterapkan dalam undang-undang ekonomi Nasional. Ketiga, penerapan secara tekstualis, yakni menerapkan syariat Islam apa adanya sebagaimana tertuang dalam kitab fikih ke dalam hukum Nasional, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa kabupaten lainnya.
Sejatinya, syariat Islam tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Persoalannya adalah apakah penerapan syariat Islam yang ada di Aceh ini sudah mengakomodir secara keseluruhan?
Melihat pada fakta yang ada, pemberlakuan syariat Islam di Aceh lebih menitikberatkan pada persoalan moralitas individual. Misalkan saja, seseorang yang kedapatan berjudi, ia akan dihukum cambuk. Pasangan yang kedapatan berpacaran, mereka akan dihukum cambuk, dan yang sekarang ini, perempuan dilarang nongkrong di kedai kopi / cafe atau restoran jika tanpa mahram.
Pemberlakuan syariat Islam ini rupanya tak menyasar pada persoalan yang manfaatnya lebih luas. Misalkan saja, tadinya kita menyangka bahwa tindak korupsi apabila dilakukan di Aceh, maka akan dihukum potong tangan dan dimiskinkan sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fikih, namun nyatanya tidak. Koruptor di Aceh tidak dihukum potong tangan, namun dihukum sama seperti hukuman bagi koruptor di daerah lain. Maka pertanyaannya, apakah syariat islam hanya menyasar persoalan individual yang efeknya tidak luas, dan melewaatkan persoalan yang efeknya lebih luas? Tentu kita mafhum bahwa sejatinya koruptor lebih membahayakan ketimbang orang berpacaran?
Sebagaimana kita tahu, proses legislasi Syariat Islam menjadi Hukum Nasional melibatkan bukan hanya aspek legal formal saja, namun juga melibatkan aspek politik, sosio-kultural dan tentu saja elektabilitas. Seorang politisi di komunitas mayoritas Muslim tentu saja akan mendapatkan dukungan politik yang besar jika ia memiliki program penerapan syariat Islam.
Ke depan, tentunya kita berharap bahwa penerapan syariat Islam ini bukan hanya menyasar ke persoalan moralitas individu saja, namun juga merambah kepada persoalan-persoalan yang berefek lebih luas.
Kita butuh, misalkan perda syariat yang berimplikasi pada penyamarataan kesejahteraan bagi ummat, perda syariat yang berani menghukum potong tangan bagi koruptor, yang mengakomodir kepentingan banyak pihak sebagaimana prinsip Islam sebagai rahmatan lil-alamin.