Saya sering ditanya oleh followers, bagaimana mengajarkan anak agar toleran terhadap perbedaan? Kenapa anak-anak saya bisa santuy dengan perbedaan tanpa, Insya Allah, bergeser akidahnya. Saya ngga punya teori khusus dan saya bukan ahli parenting. Tapi berdasar pengalaman saya punya 2 unyil, karakter anak dibangun dari rumah. Toleransi sulit diajarkan ke anak, jika orang tuanya enggak toleran.
Yang follow akun saya sejak lama paham, saya dan bapaknya anak-anak sering berdialog dengan anak terkait politik, ekonomi, agama, spiritualism, sex, dan lan-lain. Dialog terbuka, logis, analitis, non judgemental. Terutama dengan si Kakak yang udah 12 tahun, dialognya luas, karena dia juga mengikuti perkembangan current situation. Bukan hanya dalam negeri, tapi juga issue yang meng-global seperti Israel Palestine, Rohingya dll.
Ngga jarang, saya mengajak anak-anak dialog langsung dengan ahlinya. Pertanyaan agama yang ibunya ga bisa jawab, ya tanya langsung ke kiai yang jadi rujukan keluarga kami seperti Prof KH Alie Yafie, Habib Luthfie dan lain-lain.
Ketika kami mendapati pertanyaan sejarah, ya ketemu dengan ahli sejarah. Tatakala pertanyaan ekonomi ya ngobrol sama sahabat saya CEO sebuah global consultancy. Atau beberapa minggu lalu ketika ada pertanyaan terkait konflik middle east dan Israel Palestine, saya mempertemukan anak saya dengan Pengamat Konflik.
Intinya, orang tua membiasakan anak-anak berdialog, dengan kepala dingin. Merujuk berbagai referensi. Tidak judgemental. Bertanya ke ahlinya, jika dibutuhkan. Di rumah kami, mereka juga ngga pernah mendengar bapak ibunya melabeli yang beda dengan istilah cebong, kampret, kadrun, idiot atau kata peyoratif lainnya.
Intolerance leads to hatred and division. Our children should grow up with the idea that dialogue, not violence, is the best and most practical way to solve conflicts.
Intoleransi hanya akan melahirkan kebencian dan perpecahan. Anak-anak harus tumbuh dengan pemahaman bahwa dialog adalah cara terbaik memahami perbedaan dan menyelesaikan masalah. Omong-omong, saya juga kasih tahu ke anak-anak bahwa di Islam ada pro kontra soal ucapan selamat Natal. Dan, tentu itu saja itu tidak masalah. Kami termasuk yang Pro, tapi juga ngga menuduh yang kontra sebagai intoleran, selama keputusan itu tidak diumbar di publik yang berakibat menyakiti hati orang lain.
Toleransi lebih luas maknanya dari sekedar ucapan selamat Natal. Selamat Natal untuk semua teman Nasrani. Damai di hati, damai di Bumi.