Jagat perpolitikan Indonesia baru-baru ini diramaikan oleh viralnya sebuah video yang menampakkan Sandiaga Uno, Cawapres nomor urut 2 sedang berwudhu menggunakan air cukup satu gayung. Tentu saja kontroversi bermunculan, mengingat publik Indonesia tidak terbiasa dengan praktik tersebut. Kita terbiasa berwudhu menggunakan air kran, atau dalam kolam yang berisi air lebih dari 2 qullah.
Publik lantas memberikan penilaian terhadap praktik tersebut. Ada yang mengatakan sah, banyak pula yang menyatakan tidak. Beragam istilah pun muncul. Ada yang membuat istilah “Wudhu Mazhab Joshua” which means “diobok-obok”, ada pula yang mengaitkannya dengan praktik wudhu sekelompok madzhab tertentu.
Memang bukan Sandi namanya kalau tidak menciptakan kontroversi. Mulai dari bicaranya yang mirip-mirip dengan dialek Vicky Prasetyo, foto jurus bangau, jalan di kuburan dengan tangan terentang, hingga melangkahi makam salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama.
Manusia di negeri ini memang bebas beribadah menurut keyaakinannya masing-masing. Bagaimana cara seseorang berwudhu, tentu saja bukanlah urusan publik. Tapi masalahnya, yang melakukan adalah Sandiaga Uno, Cawapres nomor urut 2, yang mendapatkan predikat sebagai “Santri Post Islamisme” hingga “Ulama”. Cawapres yang direkomendasikan oleh hasil Ijtimak Ulama berjilid-jilid.
Kita tahu belaka, bahwa kebanyakan pendukung Capres-Cawapres nomor urut 2 adalah mereka yang selalu melemparkan tuduhan bahwa rezim sekarang yang dipimpin oleh Presiden Jokowi adalah rezim yang anti Islam, kerap mengkriminalisasi ulama, dekat dengan salah satu partai terlarang di negeri ini, pokoknya anti Islam lah. Maka ketika Jokowi kedapatan mengucapkan “Al-Patekah” alih-alih “Al-Fatihah”, mereka lantas ramai-ramai mem-bully-nya.
Pada persoalan yang lain, mereka pun kerap menggelorakan semangat puritanisme dalam beragama, yakni dengan memprotes ucapan Selamat Natal yang disampaikan oleh Mentri Agama dan Ma’ruf Amin, tapi di sisi lain, anehnya bungkam ketika mendapati fakta bahwa Prabowo menghadiri peringatan Natal salah satu anggota keluarganya. Mereka ribut ketika Banser menjaga Gereja, tapi terdiam ketika kader Gerindra diinstruksikan untuk melakukan hal yang sama. Mereka merasa Habib Bahar dikriminaslisasi, tapi terdiam ketika Habib Luthfi dilecehkan secara verbal.
Maka wajar ketika ada momentum kontroversi praktik wudhu Sandiaga Uno, publik pendukung Capres-Cawapres nomor urut 1, ramai-ramai mempertanyakan citra kesalehan Sandi. Anehnya, mereka para pendukung Capres-Cawapres nomor urut 2 menyatakan bahwa rezim ini sedang kalap dan menggunakan politik identitas untuk merebut suara. Lha, emangnya selama ini apa yang mereka lakukan? Main ludo?
Jangan salah sangka dulu, saya bukan pendukung salah satu pasangan Capres Cawapres. Saya pendukung ngadep dampar, sebuah istilah untuk tetap konsisten dalam membuka kitab dan mengaji meski sudah keluar dari Pesantren. Saya hanya ingin menegaskan betapa un-faedahnya melakukan praktik politik identitas keagamaan dalam hajatan pemilihan Capres-Cawapres. Kita tahu belaka kualitas kesalehan masing-masing pasangan. Kita pun tahu seberapa sih tingkat pemahaman keempatnya. Kalaupun ada yang menonjol, itupun paling Ma’ruf Amin, karena beliau jelas adalah seorang Kyai yang sudah Haji dan pernah menjabat sebagai Rais ‘Am PBNU sekaligus ketua MUI. Tapi sekali lagi, apa itu penting?
Bukankah yang penting dari seorang Capres-Cawapres adalah komitmen mereka dalam mengatur kesejahteraan anak bangsa? Perbaikan di berbagai sektor seperti ekonomi, keamanan, dan faktor lainnya? Kenapa kita malah terjebak dalam menilai citra kesalehan mereka yang sebetulnya bisa dikembalikan saja kepada individu masing-masing? Apakah kita harus tahu berapa raka’at salat tahajud yang dilakukan oleh Sandi? Berapa Juz Al-Quran yang dikhatamkan oleh Jokowi per-hari? Harus tahu gitu apakah Prabowo melakukan puasa sunnah senin-kamis?
Sejarah pernah mencatat betapa un-faedahnya praktik politik semacam ini. Waktu ingin menggulingkan Sahabat Ali dari kursi Kekhalifahan, kubu Sahabat Muawiyah menggunakan isu bahwa Sahabat Ali tidak adil dalam persoalan qishos terbunuhnya Sahabat Utsman. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh kubu Sahabat Muawiyah yang melakukan pembunuhan terhadap Sayyid Hasan dan Sayyid Husein, dua orang cucu terkasih Rasulullah. Saat ditanyakan kepada mereka tentang hal tersebut, enteng mereka menjawab bahwa Sayyid Hasan dan Sayyid Husein terbunuh atas kehendak Allah. Pembunuhan terhadap Sayyid Utsman pun tidak terungkap secara tuntas.
Jadi, penulis mengajak, mari membicarakan program kebangsaan dan kenegaraan yang ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Saya, dan barangkali anda, sepertinya sudah lelah dengan semua kericuhan politik identitas keagamaan yang tidak ada ujungnya ini.