Suatu ketika Nasruddin dan anaknya pergi ke pasar. Belum jauh bapak dan anak ini meninggalkan rumahnya menuju pasar, bertemulah mereka dengan beberapa orang. Dimana orang-orang itu berkata sambil mencibir “hai teman-teman, lihatlah bapak dan anak yang menuntun keledainya itu. Betapa bodoh dan tololnya mereka, masa keledai dituntun begitu saja, bukankah mereka bisa menaiki keledai tersebut agar tidak lelah?”
Mendengar cemoohan itu kemudian Nasrudin pun bersama anaknya menaiki keledai tersebut. Berselang tak lama keduanya bertemu dengan serombongan ibu-ibu yang berbisik-bisik namun dengan suara yang dikeraskan hingga bisikannya pun terdengar oleh Nasrudin dan anaknya “Masya’ Allah benar-benar keterlaluan mereka berdua itu, keledai yang badannya lebih kecil dari kuda dinaiki oleh dua orang pria yang badannya tegap. Kasihan keledai tersebut ya, kalau mau naik harusnya cukup satu orang saja”. Mendengar bisik bisik itupun, Nasrudin turun dari keledai namun anaknya tetap naik keledai.
Setelah beberapa lama dia menuntun keledai dan anaknya berada diatas punggung keledai, mereka bertemu dengan sekelompok orang lagi, yang lagi lagi mereka juga mengunjing Nasrudin “benar-benar anak kurang ajar, masa dia enak-enak naik keledai sedangkan bapaknya disuruh jalan menuntun keledai?”
Mendengar gunjingan itupun, akhirnya si anak lelaki Nasrudin turun dari punggung keledai dan menuntun si keledai, sedangkan Nasrudin yang gantian menaiki keledai. Setelah beberapa lama berjalan, kali ini mereka berdua melewati daerah pemukiman. Di pemukiman itu mereka mendengar kata-kata yang kurang mengenakkan yang datang dari beberapa penjuru pemukiman itu, “hey kawan-kawan, lihatlah bapak yang tidak tahu malu, sementara dia naik keledai anaknya disuruh menuntun keledai”.
Mendengar cacian penduduk di daerah pemukiman itu, Nasrudin pun turun dari punggung keledai dan sang anak pun bertanya ” bapak apa yang harus kita lakukan?” spontan saja Nasrudin meminta anaknya untuk bersama sama menggendong keledai tersebut. Namun tak ayal sontak begitu sampai di pasar mereka ditertawakan orang orang, ”hahahaha, lihatlah bapak dan anak yang bodoh itu, masa keledai digendong, harusnya kan dinaiki atau dituntun”.
Di akhir cerita Nasruddin lalu menasihati anaknya, “Nak, nanti kalau kamu memiliki keledai, jangan pernah mencukur bulu ekornya di depan orang lain! Beberapa orang akan berkata kamu memotongnya terlalu banyak, sementara yang lain berkata kamu memotongnya terlalu sedikit. Jika kamu ingin menyenangkan semua orang, pada akhirnya keledaimu tidak akan memiliki ekor sama sekali.”
Di balik peristiwa di atas, sebenarnya mengandung makna yang begitu mendalam. Betapa seringkali orang-orang mengomentari, mencemooh, dan bahkan nyiyir terhadap orang di sekitarnya. Sebenarnya Nasruddin ingin mengajarkan kepada anaknya bahwasannya benar atau salah, pantas atau tidak pantas adalah perspektif. Yang baik sekalipun di mata orang-orang bisa dibunyikan kejelekannya, dan yang jelek sekalipun di mata orang-orang bisa dibunyikan kebaikannya. Tergantung orang yang menilainya.
Jika ditarik pada konteks kekinian seperti sekarang, cerita ini sangatlah relevan dan kerap kali terjadi. Ini adalah sindiran untuk kita hari ini, kalau kita galau karena komentar atau kenyinyiran orang berarti kita masuk dalam apa yang dicontohkan Nasruddin di dalam ceritanya.
Nasruddin ingin menggambarkan kepada anaknya kalau kamu sibuk mendengarkan komentar dan kenyinyiran orang, lama-lama kamu akan kehilangan jati dirimu dan itu akan menjauhkanmu dari dirimu sendiri. Maka dari itu mulai sekarang lakukanlah apa yang menurutmu baik, karena dirimu sendiri tau mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau kebaikan itu sudah kamu lakukan dan orang lain masih nyinyir kepadamu, maka abaikanlah karena mereka akan selamanya begitu.
Wallahu A’lam