Haikal Hassan yang oleh pendukungnya dipanggil Babe Haikal tiba-tiba ramai dibicarakan. Perkaranya, dalam sebuah video yang ia unggah sendiri, ia menyampaikan pidato yang menyentuh hati para pendukungnya. Dikisahkan oleh Haikal, ia bertemu dengan Rasulullah, menggandeng dua anaknya, serta berbicara kepadanya, “Jangan takut, jangan khawatir. Salma dan Umar (anak Haikal) bersama saya.”
Ia menambahi, “Demi Allah saya mendengar langsung Rasulullah berkata demikian ke telinga saya.”
Ia pun berujar pada orang-orang yang hadir di pemakaman 6 laskar FPI yang wafat karena ‘baku tembak’ dengan aparat bahwa keenamnya sekarang bersama Rasul. Ia sangat yakin bahwa keenamnya meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah. Untuk itu tidak alasan bersedih. Bahkan seharusnya merasa iri dengan keenamnya yang sudah bertemu dengan Rasul di alam sana.
“Itu artinya Rasulullah minta saya sampaikan kepada ibu, ibu juga jangan takut. Reza (salah satu laskar yang tewas) bersama saya, kata Rasulullah,” lanjut Haikal Hassan. Ia kemudian menyebut satu persatu nama-nama laskar yang tewas, lalu melanjutkan, “Subhanallah. Mereka bersama Rasulullah.”
Setelah video itu menyebar, dukungan dan hujatan terjadi. Banyak yang menyebut Haikal berbohong. Tak jarang yang merasa iri dengan Haikal karena didatangi Rasul dalam mimpinya.
Namun ada satu kejadian yang membuat saya bertanya-tanya. Seorang bernama Husein Shihab melaporkan Haikal Hassan atas tuduhan menyebar berita bohong. Bagi Husein apa yang disampaikan Haikal adalah upaya penggiringan opini yang sangat berbahaya apabila dikonsumsi oleh publik awam. Menurutnya, Haikal berupaya untuk membenarkan tindakan laskar bahwa meninggal ketika melawan aparat adalah syahid.
Terlepas dari itu semua, kita harus mendudukkan persoalan itu dengan jernih. Mimpi bagaimana pun adalah mimpi. Ia menjadi misteri bagi orang yang mengalaminya. Jika ada orang menceritakan mimpi, mepercayai atau tidak adalah pilihan. Bagi orang-orang yang menganggap Haikal ngelantur kemudian memilih tidak mempercayainya, ya sudah cukup sampai di situ. Sementara bagi orang-orang yang percaya, kemudian menganggap Haikal adalah ulama suci karena bisa bertemu Nabi, itu pun tak mengapa.
Sekali lagi mimpi adalah mimpi.
Saya jadi ingat peristiwa beberapa tahun silam. Saat mengikuti Pesantren Ramadan, tiba-tiba ada seorang teman yang menemukan selebaran. Selebaran itu mengisahkan bahwa si penulis sedang berada di makam Rasulullah lalu bermimpi bertemu dengannya. Ada pesan yang harus disampaian ke seluruh manusia. Untuk itulah si TS membuat selebaran yang disebar ke berbagai tempat. Pada akhir tulisan, si penulis ‘mengancam’ orang-orang yang sempat membacanya. Intinya memaksa siapa saja yang sudah membaca untuk melipatgandakan informasi itu minimal sepuluh kali. Jika tidak, akan ada azab karena itu adalah pesan dari manusia paling mulia.
Beberapa teman, termasuk saya, sangat ketakutan. Kami pun berencana mencari tempat fotokopi untuk menuruti ‘ancaman’ si penulis. Kami takut kena azab karena sudah membaca selebaran itu tetapi tidak menggandakan. Ya, ketakutan kami waktu itu bukan karena itu ‘pesan Rasulullah’, tetapi takut dengan ancaman azabnya. Namun kami tidak jadi menggandakannya karena sulitnya mencari tempat fotokopi waktu itu.
Akhirnya, saya pun tak tahu siapa yang terakhir membawa selebaran itu. Entah digandakan, entah tidak. Yang jelas sejak peristiwa itu saya beberapa kali mendapat selebaran yang sama. Namun tidak setakut dulu, saya justru mengabaikan begitu saja. Pesan itu pernah juga saya baca versi online (broadcast messanger) dengan perasaan yang jauh biasa saja.
Ketika berada di pondok pesantren, saya pernah mendengar penjelasan bahwa salah satu kenikmatan terbesar adalah bermimpi bertemu Nabi. Seseorang yang bertemu dengan Nabi akan sulit mengungkapkan dengan kata-kata. Efeknya pun dahsyat karena membuat seseorang yang awalnya jahat bisa bertaubat, orang yang baik jadi lebih bijak, dan lain sebagainya.
Namun seseorang juga harus berhati-hati karena tidak ada yang pernah tahu seperti apa wajah Rasulullah, bagaimana suaranya, bagaimana bentuk tubuhnya, dan sifat-sifat lainnya. Bagaimana kita begitu yakin sosok yang hadir di mimpi kita adalah Rasul? Oleh karena itu, banyak sekali ulama-ulama yang enggan menceritakan perihal mimpi ini.
Cerita Haikal Hassan adalah cerita pertama mimpi bertemu Nabi yang saya dengar langsung dari penutur utama, dari subjek yang merasa bertemu Nabi dalam mimpi. Saya tidak bisa meragukan atau pun membenarkan. Karena bagi saya mimpi adalah misteri. Yang bisa saya lakukan adalah melihat what next-nya. Apakah Haikal Hassan menjadi pribadi yang bijak dan mengikuti akhlak Rasul? Ibarat haji, apakah ia menjadi haji mabrur atau hanya haji mabur (terbang) tanpa perubahan sama sekali?
Yang jelas, saya tidak setuju apabila mimpi sampai dipidana. Apalagi dengan alasan menyebar berita bohong. Toh, bagaimana bisa mengklarifikasi mimpi? Apakah memang masyarakat kita sudah sebegitu tegang sampai mimpi saja dilaporkan polisi? Wallahua’lam.
Embuhlah. Saya jadi mau curhat sama Martin Luther King yang dulu pernah pidato soal mimpi. ‘I have a dream…’