Langkah Kaki Fatma, Gusdurian yang Jadi Penyuluh Agama di Bone, Terberkahi Diterima Warga Bugis

Langkah Kaki Fatma, Gusdurian yang Jadi Penyuluh Agama di Bone, Terberkahi Diterima Warga Bugis

Fatma Utami Jauharoh adalah penyuluh Agama Islam di Bone, jejaknya terbentang dari Jakarta dan kini mengabdi di Bone

Langkah Kaki Fatma, Gusdurian yang Jadi Penyuluh Agama di Bone, Terberkahi Diterima Warga Bugis
Fatma Utami Jauhari, berkerudung hitam sedang berdakwah di RRI Bone

 

 Jalan yang jauh jangan lupa pulang
Pesan-pesan yang selalu saja terngiang
Ku terbang jauh, kepak tak berbilang
Lewati awan dan angkasa tak berbayang
~ Yura Yunita, Jalan Pulang

 

Tak ada yang menyangka dunianya berubah 180 derajat ketika kaki mungil Fatma Utami Jauhari harus terbawa sampai ke Bone, Sulawesi Selatan, yang berjarak lebih dari 1.102 KM dari tempatnya tumbuh bersama keluarganya di Kediri, Jawa Timur, sejak 29 tahun yang lalu.

Pikirannya sempat berontak ketika harus meninggalkan Kediri dan Jakarta tempat ia berkuliah, beraktivitas dan bekerja di Lembaga non pemerintah. Kota yang penuh dengan lampu, macet, kesempatan dan segalanya.

Ketika harus ditugaskan negara jadi Penyuluh Agama Islam di sebuah kota yang nyaris tak ada dalam benak masa kecilnya dulu, hati kecilnya berkata lirih, ini saat yang tepat mengabdikan ilmu dan hidupnya demi masyarakat, di manapun tempatnya seperti wasiat ibunya.

Ingatannya pun membentang jauh teringat keputusan jadi penyuluh Agama Islam adalah bentuk jalan ninja seperti halnya jalur studi yang ia pilih ketika kuliah di UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta.

Kata Fatma, ketika terjun langsung, maka ia merasa sebagai gerakan sosial profesi itu strategis. Khususnya dalam diseminasi nilai keberagamaan yang moderat dan humanis seperti yang ia pelajari dulu.

“Penyuluh agama berbeda dengan ustadz/ustadzah loh, profesi Penyuluh Agama tidak hanya sekadar dakwah melalui bahasa agama, tetapi juga berperan eeduksi, informasi, konsultasi/konseling  masalah keagamaan dan advokasi,” jelas Fatma beberapa waktu lalu.

Ia pun yakin, jalan yang dipilihnya ini akan memiliki dampak sosial seperti yang ia pelajari di bangku kuliah sampai belajar di organisasi gerakan seperti Gusdurian dan lembaga Wahid Foundation.

Sejak 2010 lalu, ia belajar dan jadi aktivis di gerakan ini serta bertemu dengan simpul jaringan gerakan di seluruh Indonesia.

Ia yakin, Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah prototipe terbaik pemimpin yang sukses membangun gerakan sosial dari akar rambut. Itu pula yang meyakini dirinya memilih jalur mengabdi ke masyarakat secra langsung.

Fatma resah atas pelbagai kejadian yang terjadi di masyarakat dan agama dijadikan sumber kebencian. Ia meyakini, agama itu rahmah dan bisa jadi alat terbaik untuk mendekati masyarakat, melakukan perubahan sosial.

“Concern fatma di moderasi beragama, aliran/paham keagamaan, dan pencegahan dan penanganan konflik berdimensi keagamaan. Kupikir itu cara terbaik mengabdikan diri langsung ke Masyarakat,” tegasnya.

Merasa Diberkahi, sebagai Ibu dan Pengabdi Masyarakat

Fatma bercerita, ia sempat ragu ketika harus bertemu dengan masyarakat dengan adat dan lingkungan yang berbeda dengan dirinya. Tak jarang, ia termenung sendirian.

Apalagi, ia adalah seorang Ibu dengan satu anak Balita. Ia harus membagi pikiran dan hatinya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga masyarakat.

Jika bisa memilih, Fatma akan terus bersamai putarnya  yang sedang lucu-lucunya dan butuh sosoknya terus berada di sisi buah hatinya. Tapi di sisi lain ia adalah jembatan masyarakat yang tidak boleh terlihat lemah. Di luar sana, banyak yang harus pikirkan

Ia terus berusaha kuat, tapi terkadang air mata jatuh tanpa sengaja ketika ia sedang berjalan kaki, maupun ketika harus bepergian jauh meninggalkan buah hatinya dalam sejenak demi tugas pengabdian.

Namun, penerimaan masyarakat dan sahabat-sahabatnya di Bone membuat dadanya kuat. Langkah kakinya tak lagi berat.

“Sebagai orang lain, bukan orang Bugis, tetapi mendapat penerimaan masyarakat yang sangat baik. Itu berkah,” katanya.

Ia menyukai warga Bone  yang ramah dan dialek mereka yang menyenangkan dan merasa, keluarga jauh yang ia tinggalkan perlahan kini dapat pengganti.

Paling tidak, bagi Fatma, mereka yang menemani dirinya ketika sendirian dan merasa dunia tak lagi menjadi rumah yang menyenangkan.

“Tidak dibeda-bedakan latar suku dan etnis, baik di lingkkungan kerja maupun di masyarakat.  Diberikan kepercayaan menjadi agent of change di lingkup Kemenag Kabupaten Bone,” jelasnya.

Ia pun kini banyak beraktivitas di masyarakat dan ikut menyebarkan nilai keagamaan melalui Radio Lokal Bone dan melalui Media Sosial.

Baginya, sebagai milenial dan terakses teknologi, ia melihat peluang menyebarkan nilai keberagaman yang ia yakini. Di Bone, kata dia, masih sangat minim Penyuluh yang mengudara melalui Dialog Keagamaan Radio dan Media Sosial.

Ia pun lantas mengabdikan pengamalaman dan pengetahuannya lewat dua platform itu.Dan, pun terharu ketika didukung penuh untuk mengikuti kompetisi Penyuluh Agama Islam Award sampai dengan tingkat Nasional dengan dukungan moril dan materil dari semua jajaran Pegawai Kemenag Bone dan Kanwil Kemenag Sulsel.

Ia pun bersyukur menemukan circle yang sehat dan menjadi support system. Ia merasa bersemangat karena bisa turut serta dalam merawat dan menjaga NKRI, merawat kebhinekaan dan berbagi dengan masyarakat.

“Alhamdullah. Ditempatkan pada lingkungan yang kondusif, penuh penerimaan, alam yang hijau, udara bersih, dan dikelilingi oleh orang-orang yang baik budi,” jelasnya.

Kini, kaki mungkil Fatma terus melangkah dan bergerak bertemu dengan masyarakat, serta membagikan cinta. Lewat lagu Yura Yunita yang ia kerap dengarkan, pikirannya membentang jauh ke masa kecilnya ketika ia diajar cinta kepada ilmu oleh kedua orang tuanya.

Jejak dan cinta yang juga bakal ia bagikan terus ke masyarakat seperti halnya ia terima ketika masih belia.