Alkisah seorang bijak bernama Sissa ibn Dahir menciptakan permainan catur untuk seorang Raja di India, namanya Shihram. Sang raja sangat senang dengan permainan ini dan ingin memberi hadiah untuk Sissa.
Setelah berpikir sejenak, si penemu catur meminta hadiah ini: sebutir gandum untuk kotak pertama catur, lalu dua butir untuk kotak kedua, empat butir untuk kotak ketiga, delapan butir untuk kotak keempat, dan demikian seterusnya hingga kotak ke-64.
Sang raja terheran-heran. Bagaimana mungkin Sissa hanya meminta imbalan yang sekecil itu padahal dia bisa meminta hadiah yang jauh lebih mewah dan besar? Sang raja segera menyanggupi dan menyuruh pelayannya menghitung berapa banyak bulir gandum yang harus dia berikan pada Sissa.
Baru sampai di kotak ke-32, ternyata hitungannya sudah mencapai empat miliar bulir gandum atau sekitar 100 ton gandum. Dan ketika si pelayan sampai di kotak catur ke-64, ternyatalah bahwa sang raja tak akan mampu menyediakan gandum sebanyak itu. Jumlah totalnya adalah: 18,446,744,073,709,551,615 bulir gandum. Setara dengan enam kali lipat berat semua makhluk hidup di bumi saat itu.
Kisah yang pertama kali disampaikan oleh Ibn Khallikan, seorang ahli sejarah yang hidup di masa kekhalifahan abbasiyah ini menggambarkan betapa laju pertumbuhan eksponensial macam yang diminta oleh sang penemu catur tidak boleh dianggap remeh. Dari yang awalnya hanya sebulir dua bulir bisa berubah menjadi miliaran hanya pada kotak ke-32.
Mirip seperti itulah laju pertambahan kasus positif covid-19 di seluruh dunia, termasuk indonesia. Mulai dari 2 orang, lalu 4, 6, 27, 34, 96, 134, 172, dan hari ini 227 orang positif covid-19 (data dari kawalcovid19.id). Meski faktor pengalinya tidak sebesar dalam kasus kotak catur Sissa, laju pertambahan deret ukur semacam ini berpotensi mencapai angka yang tidak terduga bila dibiarkan berlarut-larut. Grafiknya akan terlihat mendadak menjulang tinggi, bukan melandai.
Model pertumbuhan eksponensial ini memang agak “menipu”. Di hari-hari pertama, angka yang kecil akan membuat intuisi kita mengira segalanya baik-baik saja. Seperti Trump yang dengan jumawa di awal-awal covid-19 masuk ke A.S mengatakan: “Cuma sedikit kok yang kena. Segalanya dalam kendali. Dibandingkan dengan negara lain, kita (AS) sudah sangat bagus.”
Padahal negara-negara yang lain “sekadar” lebih lama terpapar virus ini. Mereka berada di kotak catur bagian tengah sementara A.S waktu itu baru sampai di kotak-kotak pertama.
Sistem kesehatan Amerika Serikat akhirnya terbukti juga kewalahan menghadapi lonjakan kasus positif covid-19 dari hari ke hari. Jumlah penderitanya sekarang sudah ribuan. Negara maju lain seperti italia juga sudah berkali-kali menyerukan pentingnya tidak meremehkan wabah ini. Hampir semua pakar kesehatan dunia menyarankan untuk tidak menunda melakukan langkah-langkah menghambat persebaran virus korona. Semakin cepat kita ikut mendukung langkah-langkah tersebut, semakin cepat kita bisa meratakan kurva.
Itu sebabnya slogan penanganan covid-19 di mana-mana adalah #flattenthecurve, ratakan kurvanya, landaikan grafiknya. Kita belum menemukan vaksinnya, belum berhasil menciptakan obatnya. Kita bahkan belum tahu apakah mereka yang sudah sembuh dari covid-19 akan memiliki kekebalan terhadap virus ini. Ada beberapa kasus pasien yang dinyatakan sudah sembuh ternyata kembali positif Covid-19.
Salah satu cara yang sejauh ini paling manjur adalah dengan sebisa mungkin menahan laju persebarannya. Untuk kali ini saja, please jangan tertipu intuisi.