Ibu Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang perempuan yang sangat zuhud dan sangat amanah (bisa dipercaya). Bahkan, karena terkenal sangat amanah, banyak orang yang ketika butuh bantuan untuk dititipi barang, mereka selalu datang kepada Ibunda.
Saat itu, Imam Syafi’i masih berusia enam tahun. Ia pergi untuk belajar kepada seorang guru. Di rumah, ibunya kedatangan dua orang lelaki (A dan B). Maksud kedatangan mereka adalah untuk menitipkan barang. Mereka memberikan syarat, “Jika kami datang bersama, maka serahkan barang ini kepada kami!”
Beberapa hari kemudian, salah satu dari dua lelaki (lelaki A) datang kepada sang ibu untuk mengambil barang yang dititipkannya beberapa hari yang lalu. Sang ibu lupa terhadap syarat yang telah disepakati bersama itu, yakni barang hanya bisa diberikan ketika dua orang lelaki itu datang. Karena lupa, barang itu pun diberikan oleh sang ibu kepada lelaki A.
Keesokan harinya, lelaki B juga datang untuk mengambil barang. Sang ibu pun ingat syarat penitipan barang dahulu itu. Namun tak ada yang bisa diperbuat lagi, barang sudah tidak ada (dibawa lelaki A). Karena barang yang diambil tidak ada, terjadilah perdebatan si lelaki B dengan ibu imam Syafi’i.
“Bukankah dulu kita pernah sepakat, engkau akan memberikan barang itu kepada kami (dua lelaki) bersama. Jika yang datang hanya satu orang di antara kami, maka jangan engkau berikan!” protes si lelaki B.
Sang ibu pun bingung menghadapi masalah itu. Pasalnya, si lelaki B itu ternyata juga membawa qadli/hakim.
Ketika perdebatan semakin memanas, Imam Syafi’i datang. Ia baru saja dari perpustakaan. Saat itu, Imam Syafi’i mendapati sang Ibu menangis kebingungan. Imam Syafi’i meminta penjelasan tentang duduk permasalahan kepada sang ibu. Sang ibu menjelaskan semuanya dengan terang.
“Siapa ini yang berdebat dengan ibunya saya?” tanya Imam Syafi’i.
“Lelaki B itu,” kata salah seorang yang menyaksikan perdebatan itu.
Imam Syafi’i lalu berkata, “bukankah syaratnya, engkau datang berdua bersama kawanmu dan engkau akan menerima barang titipan itu?”
“Iya,” jawab si lelaki B membenarkan.
“Sekarang penuhi janjimu. Pulang dan bawalah kawanmu ke sini!” kata Imam Syafi’i memerintahkan. Ternyata kalimat itu berhasil membungkam si lelaki itu. Akhirnya ia pun pulang.
Dari kisah yang penulis sarikan dari kitab Tadzkiratul Awliya’ karya Fariduddin al-Attar di atas, kita bisa belajar banyak hal.
Pertama, kesalehan Sang Ibu ternyata berpengaruh kepada anak. Ya, anak yang lahir dari rahim sang ibu yang rajin ibadah dan memiliki akhlak terpuji akan berbeda dengan anak yang lahir dari rahim ibu yang biasa-biasa saja atau bahkan ahli maksiat dan berperangai buruk. Mengapa?
Selain masalah gen sang ibu yang akan “menitis” kepada si anak, pancaran cahaya ilahi (lewat doa sang ibu) akan menyinari hati sang anak. Sehingga ia tidak saja tumbuh menjadi sehat dan pintar, namun juga saleh.
Kedua adalah soal menepati janji. Menepati janji menjadi salah satu tanda bahwa seseorang itu memiliki kredibilitas dan karakter yang mulia. Orang yang selalu menepati janji akan mendapat hati di masyarakat dan orang yang kenal dengan dengannya. Bukankah juga menepati janji bahwa seseorang tidak munafik?
Ketiga, kecerdasan seorang Imam Syafi’i. Meski masih berusia enam tahun, namun terbaca dalam kisah di atas, betapa cerdasnya beliau. Hanya dengan beberapa kalimat saja, ia bisa membuat lawan debatanya tak berkutik. Berkat kecerdasannya yang begitu tinggi itu, maka amat sangat wajar jika ia menjadi salah satu imam mujtahid yang paling banyak pengikutnya. Wallahu a’lam.