Pada tanggal 2 Desember 2016, umat Islam Indonesia berkumpul dalam jumlah sangat besar di kawasan Silang Monas Jakarta, dalam demo yang disebut ‘Aksi Bela Islam III’. Ini adalah demo ketiga dan terbesar sejak awal Oktober, dalam rangka menuntut tindakan hukum atas Gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan Tionghoa-Kristen, atas dugaan penistaan terhadap agama Islam.
Seperti aksi sebelumnya, acara diisi dengan orasi, sholat Jumat dan doa bersama. Demonstrasi sebelumnya, 4 November, telah menarik sekitar 150.000 hingga 250.000 orang. Demonstrasi 2 Desember setidaknya dua kali jumlah itu, dengan perkiraan mulai dari 500.000 sampai 750.000 orang, sehingga menjadi pertemuan relijius terbesar dalam sejarah Indonesia. Foto drone menunjukkan ukuran kerumunan massa, dengan jalan dan taman penuh sesak dengan orang-orang yang duduk di sajadah di tengah hujan. Sejumlah besar demonstran datang dari luar Jakarta, termasuk banyak yang dari luar Jawa. Berbeda dengan demonstrasi 4 November yang berakhir dengan bentrokan antara polisi dan para demonstran, acara 2 Desember ini berakhir dengan damai di sore hari, seperti yang dijadwalkan.
Bagaimana kita menjelaskan sebegitu besarnya acara tersebut, dan apakah signifikansinya secara politik dan agama?
Pada satu sisi, aksi tersebut adalah kemenangan untuk kelompok Islam garis keras yang memegang tampuk kepemimpinan aksi, dan bukti lebih lanjut dari adanya penguatan konservatisme Islam di Indonesia. Demonstrasi itu diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), sebuah koalisi kelompok-kelompok Islamis. Tujuan utama mereka adalah memaksa pemerintah dan penegak hukum untuk menuntut dan memenjarakan Ahok berdasarkan fatwa MUI. Fatwa tersebut menyatakan Ahok sebagai penista agama dengan ucapannya terkait kandungan Al-Quran dalam pidatonya tanggal 27 September.
Tetapi gerakan tersebut juga memiliki agenda lain, seperti mengubah Konstitusi untuk mewajibkan penerapan hukum Islam, mengusulkan larangan terhadap pemimpin non-Muslim dalam komunitas yang mayoritas Islam, pelaksanaan lebih besar ketentuan syariah, dan pencalonan para pemimpin politik untuk posisi eksekutif yang lebih bersimpati pada tujuan Islamis. Dengan kata lain, menyingkirkan Ahok hanya salah satu bagian dari upaya Islamisasi yang lebih luas. Pemimpin GNPF-MUI mungkin tidak pernah membayangkan ketika mereka mulai mengorganisir pada Oktober lalu bahwa mereka dapat menarik kerumunan sebesar ini.
Tetapi apakah agenda GNPF-MUI betul telah didukung oleh seluruh peserta demonstrasi? Tidak diragukan lagi, sebagian besar dari mereka yang hadir percaya Ahok telah menghina Islam dan ingin dia keluar dari kehidupan publik. Sejauh itu, mereka mendukung agenda utama gerakannya. Namun, dapatkah kita berasumsi bahwa banyak di antara peserta aksi yang mengetahui dan mendukung agenda Islamis yang lebih luas? Dan apakah jumlah massa yang sangat besar benar-benar menunjukkan mengerasnya sikap Muslim arus utama, sebagaimana beberapa pengamat menjelaskannya?
Ada alasan kuat untuk meragukan bahwa hal tersebut menandai lonjakan konservatif. Pertama, hanya sedikit dari peserta aksi yang berafiliasi dengan kelompok Islamis atau tertarik dengan ideologi Islamis. Misalnya, ketika para pembicara menyerukan agar Ahok ditangkap, kerumunan segera berteriak “tahan, tahan, tahan!” Tetapi ketika pemimpin Islamis menyatakan bahwa hukum Tuhan lebih unggul dibanding hukum Indonesia buatan manusia, sama sekali tidak ada respon.
Untuk sebagian besar peserta aksi, acara tersebut pada dasarnya merupakan acara keagamaan, baik dalam arti mempertahankan iman mereka dari penghinaan, dan juga untuk menyatakan kesalehan mereka melalui doa massal dalam lokasi nasional yang simbolis. Mereka terlihat tidak terlalu tertarik dengan perubahan mendasar atas peran Islam dalam negara, di mana saya dan banyak peneliti lain menolak upaya utama untuk Islamisasi Konstitusi dan membatasi hak-hak non-muslim.
Membedakan antara menginginkan penegakan hukum atas pelaku penistaan agama dengan menginginkan Islamisasi secara keseluruhan adalah penting, untuk memahami konsekuensi jangka pendek dan panjang dari demonstrasi tersebut. Dukungan masyarakat muslim kepada acara 2 Desember ini mungkin tidak akan lama, karena basis dukungan utama mereka dalam masyarakat Islam masih terbatas. Kasus Ahok telah memberi mereka kesempatan unik untuk memobilisasi massa, tetapi sulit untuk membayangkan kasus serupa akan muncul lagi dalam waktu dekat.
Pendapat di atas sama sekali tidak bermaksud mengecilkan dampak dari demonstrasi tersebut. Ia tetap merupakan kemunduran besar bagi hak politik minoritas dan menimbulkan pertanyaan besar tentang citra diri Indonesia sebagai bangsa yang toleran, menghargai keberagaman serta berkomitmen atas supremasi hukum. Ini menunjukkan bagaimana kekuatan politik elit telah menggunakan agama untuk melemahkan pemerintah dan mendapatkan keuntungan bagi politik mereka sendiri. Aksi tersebut membawa kelompok Muslim radikal menjadi pusat perhatian nasional dan memaksa pejabat negara paling senior untuk muncul berdampingan, seolah-olah mereka mewakili masyarakat Islam yang lebih luas. Aksi itu juga telah meminggirkan posisi pemimpin Islam arus utama, serta menunjukkan perpecahan di dalam organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sebulan Keributan
Selama kurun waktu 2016, komentator memberi tanggapan bagaimana Presiden Joko Widodo (“Jokowi”) telah berhasil dalam menstabilkan pemerintah dan mengkonsolidasikan kekuasaannya, setelah tahun pertama yang terkadang meragukan di Istana. Sebagian pakar memprediksi bahwa ia berkesempatan baik untuk memenangkan pemilihan ulang di 2019.
Kemunculan tiba-tiba tuduhan penistaan agama oleh Ahok pada akhir September dengan cepat mengubah iklim politik. GNPF-MUI dibentuk pada awal Oktober. Komponen utamanya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Wahdah Islamiyah. Pendiri FPI dan pemberi khotbah yang terkenal berapi-api, Habib Rizieq Syihab, memimpin gerakan ini, sedang Bachtiar Nasir dari MIUMI menjadi koordinatornya. Beberapa minggu setelah pembentukan GNPF-MUI, sejumlah opini publik anti-Ahok timbul, menyebar khususnya melalui media sosial.
Analisis dari wacana sosial media serta tulisan dan pernyataan publik lain memperjelas bahwa di balik masalah penistaan agama ada kebencian kuat yang tersembunyi terhadap orang Tionghoa dan Kristen. Sentimen anti-Tiongkok telah berkembang selama kepresidenan Jokowi di mana investasi Tiongkok yang belum pernah terjadi sebelumnya mengalir ke Indonesia, khususnya terkait program infrastruktur yang ambisius. Tidak jarang hal tersebut terkait dengan meningkatnya perasaan anti-komunis di antara kelompok-kelompok Muslim.
Sentimen ini sedang diaduk-aduk oleh tokoh masyarakat senior, seperti panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang vokal dan mempunyai ambisi politik, Jenderal Gatot Nurmantyo, yang kini menamakan Negara Republik Rakyat Tiongkok sebagai salah satu kekuatan yang terlibat dalam “proxy war” untuk melemahkan Indonesia, dengan merusak para pemuda dan mengendalikan ekonomi. Demikian pula, dugaan tentang kampanye “Kristenisasi” yang akan mengonversi Muslim, dipegang kuat oleh beberapa bagian dari komunitas Islam.
Kedua, perasaan Anti-Cina dan anti-Kristen itu terwujud dalam diri Ahok, seorang politisi yang berbicara secara lugas dan agresif, dan telah mencapai banyak hal sebagai gubernur, tetapi juga mengecewakan banyak pemilih Jakarta. Fitnah mengenai ras dan sektarian secara terbuka terhadap Ahok telah menjadi hal yang biasa. Misalnya, mantan ketua Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, menggambarkan gubernur tersebut sebagai “Si Cina Kafir” dan berkomentar penuh kebencian pada Ahok yang berlimpah di ribuan website dan kelompok chat. GNPF-MUI pandai menggunakan sentimen ini dalam memobilisasi masyarakat.
Demonstrasi 4 November memberikan gelombang kejutan kepada pemerintah Jokowi. Baik ukuran kerumunan maupun berapi-apinya tuntutan mereka yang tidak disangka oleh instansi pemerintah atau keamanan. Saat itu, Jokowi menghilang dari istana, meninggalkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri senior yang kemudian menemui pemimpin demonstrasi, termasuk Habib Rizieq, Bachtiar, dan Amien Rais. Para pemimpin demonstrasi menuntut untuk menemui Jokowi dan menegaskan bahwa Ahok harus segera dituntut dengan penistaan dan ditahan. Kalla dan rekan-rekannya terkejut oleh sikap keras kepalanya para pemimpin demonstrasi dan kekasaran bahasa yang digunakan mereka. Di bawah tekanan ini, wakil presiden berjanji untuk memberikan keputusan atas kasus Ahok dalam waktu dua minggu.
Habib Rizieq dan tokoh lainnya kemudian berbicara dengan nada marah di hadapan kerumunan massa, mengecam penolakan Jokowi untuk menemui mereka dan kegagalan pemerintah untuk menahan Ahok. Setelah sebagian besar kerumunan bubar pada sore itu, beberapa demonstran yang tersisa menyerang polisi, membakar beberapa kendaraan polisi dan mengakibatkan 35 polisi masuk rumah sakit.
Aksi demonstrasi ini mengejutkan Jokowi dan lingkaran dalamnya. Mereka sekarang menyadari kedalaman kebencian terhadap Ahok, kandidat yang didukung Jokowi dalam pemilihan gubernur Jakarta yang dijadwalkan pada Februari 2017. Mereka juga yakin bahwa banyak mobilisasi massa didalangi oleh musuh-musuh politik Jokowi, di antaranya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana anaknya, Agus Harimurti, tak lain adalah salah satu saingan Ahok di pilkada Jakarta.
Mereka dengan cepat memutuskan bahwa Ahok harus dituntut dan didakwa secepatnya untuk mengurangi risiko kerusuhan yang jauh lebih buruk dan membatasi serangan balik politik terhadap presiden. Keputusan ini diambil meskipun Jokowi dan banyak menteri utamanya percaya bahwa Ahok tidak melakukan penistaan. Harapan mereka kemarahan kelompok Muslim dalam masalah ini akan mereda dengan cepat jika sidang Ahok dilaksanakan, sehingga menutup peluang lebih lanjut untuk hasutan pada pemerintah. Polisi telah mentersangkakakn Ahok pada 17 November dan pada 1 Desember jaksa mengumumkan rencana untuk mempercepat persidangan pada bulan tersebut.
Jokowi juga menyibukkan diri dengan mengunjungi organisasi Islam dalam upaya untuk mendapat dukungan bagi pemerintah dan tindakannya dalam menangani isu Ahok. Upaya ini menghasilkan beberapa manfaat dalam persiapan demonstrasi pada 2 Desember. Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial terbesar di Indonesia, menyarankan jutaan anggotanya untuk tidak hadir dan melarang penggunaan bendera NU atau simbol dalam demonstrasi itu. Ketua NU, Said Aqil Siradj, mendesak para anggota untuk menyerahkan kasus Ahok kepada polisi dan sistem hukum. Organisasi terbesar kedua, Muhammadiyah, tidak membuat pernyataan menentang demonstrasi tersebut namun ketuanya, Haedar Nashir, memperjelas ketidaksetujuannya ketika ia menyatakan “lebih mudah untuk meminta orang untuk mengikuti demo daripada datang ke perpustakaan”.
Bahkan MUI, yang awalnya memacu protes anti-Ahok dengan mengeluarkan fatwanya, sekarang mulai ambivalen terkait demonstrasi yang diusulkan, dan menyatakan tidak akan memberikan pendapat tentang apakah umat Islam harus hadir. Kapolri Tito Karnavian mengunjungi beberapa masjid dan lembaga Islam, dan meyakinkan khalayak bahwa kasus Ahok sedang ditangani dan oleh karenanya mereka tidak perlu lagi memobilisasi aksi.
Hadir untuk Islam, bukan Islamisme
Pada tanggal 2 Desember pagi, karena ratusan ribu massa turun ke Jakarta Pusat, sudah jelas bahwa upaya untuk mencegah kehadiran massa telah gagal secara keseleruhan. Tetapi, kekhawatiran bahwa aksi tersebut dapat mengarah pada kekerasan menjadi tidak terbukti tidak berdasar. Memang, suasana aksi terasa ramah dan sangat teratur. Suasana fitnah ras dan agama jauh lebih sedikit daripada yang terjadi pada 4 November. Ini terbukti dari pidato serta spanduk dan plakat yang ada. Terdapat laporan bahwa ada tulisan-tulisan “Gantung Ahok” yang muncul beberapa di lokasi yang menonjol tetapi ini dengan cepat diturunkan.
Banyak dari mereka yang menghadiri aksi, dimana saya dan peneliti lainnya sempat mengobrol, ingin agar Ahok segera dihukum karena melakukan penistaan tetapi juga membatasi komentar mereka. Mereka senang bahwa Ahok telah dijadikan tersangka tetapi merasa bahwa tekanan aksi perlu dipertahankan kepada pemerintah untuk memastikan agar sang gubernur tidak diputuskan bebas. Hanya beberapa dari mereka yang berbicara dengan kebencian tentang Ahok.
Mungkin banyak yang enggan untuk mengakui pandangan rasis atau sektarian, terutama kepada seorang peneliti asing, tetapi kesan yang jelas adalah bahwa banyak peserta lebih tertarik pada aspek religius dari demonstrasi itu daripada penentangan terhadap Ahok atau orang Tiongkok. Beberapa orang menyatakan ingin menjadi bagian dari apa yang mereka yakini akan menjadi acara keagamaan besar yang diadakan di Monumen Nasional. Seseorang mengatakan kepada saya: “Saya datang dari Serang [di Banten] untuk berada di sini. Mengambil cuti kerja dan naik bus ke sini dengan teman-teman. Kami membayar sendiri ongkosnya. Saya tahu ini akan menjadi acara besar dan saya pikir adalah sangat hebat untuk berdoa dengan satu juta umat Islam di Medan Merdeka”. Seseorang lainnya mengakui bahwa ia tidak rutin menghadiri acara Islam, tetapi “Jika saya akan datang ke suatu acara, maka itu haruslah sesuatu yang khusus seperti ini.” Ketika ditanya apakah ia berpikir Ahok bersalah karena penistaan agama, ia berkata “tentu saja”, tetapi mengakui bahwa ia tidak benar-benar mengetahui rincian kasusnya.
Mungkin suasana acara aksi digambarkan dengan baik dalam postingan Facebook dari salah satu pejabat dari Kementerian Agama, yang sudah lama saya kenal. Dia menulis: “Sebuah suasana mirip dengan yang ada di Arafah [dekat Mekkah] dan Mahshar [dimana semua umat manusia dari segala usia dibawa bersama-sama pada hari penghakiman] muncul hari ini di Jakarta. Dalam Aksi Damai 212 luar biasa ini. Dunia tentunya ikut menonton. Ini adalah demonstrasi terbesar dari komunitas Islam di negara demokrasi terbesar, Indonesia. Aksi ini semakin menegaskan bahwa Islam di Indonesia telah benar menjadi model untuk menerapkan norma-norma Islam sebagai rahmatan lil ‘Alimin”. Pernyataan ini menunjukkan rasa bangga bagi sejumlah peserta, karena sangat banyak umat Islam dapat berkumpul, berdoa bersama dan kemudian dibubarkan tanpa insiden. Ini bukan tindakan militansi tetapi penegasan tentang kehendak dan nilai-nilai masyarakat.
Pandangan terhadap pemimpin Islamis dari GNPF-MUI sangat bervariasi. Saya kebetulan berada di dekat kendaraan Habib Rizieq ketika ia pertama kali memasuki Medan Merdeka dan pendukungnya memadati untuk menyambutnya dan mendapatkan berkahnya. Banyak peserta menghargai usahanya untuk menekan pemerintah tentang isu Ahok tetapi mengatakan mereka tidak biasa mengikuti khotbah-khotbahnya. Beberapa mengatakan bahwa mereka tidak menyetujui pernyataan kasar dan “kebiasaan main hakim sendiri” tetapi tetap datang karena mereka berpikir bahwa semua Muslim harus bergabung dalam menentang penistaan agama. Seorang wanita dari NU menyatakan: “Saya di sini untuk membela Islam dan Al-Qur’an dari penghinaan. Tetapi saya tidak mendukung FPI atau HTI.” Secara keseluruhan, peserta tampak kurang peduli tentang siapa yang mengorganisir demonstrasi dibanding pesan yang diusahakan untuk disampaikan kepada pemerintah tentang Ahok.
Konsekuensi yang lebih luas
Ada beberapa analisis lainnya terkait konsekuensi dari demonstrasi. Pertama, aksi tersebut akan memastikan bahwa kasus penistaan agama yang dliakukan Ahok akan terus ditangani dengan utamanya berdasar pada politik dan bukan hukum. Sederhananya, Ahok telah menjadi tokoh yang begitu dibenci dalam komunitas Islam, sehingga Jokowi tidak lagi dapat mendukung dia, atau bahkan memastikan bahwa kasus tersebut ditanganisecara imparsial di pengadilan.
Dua pertiga dari 35 saksi ahli yang dihadirkan polisi saat menyelidiki kasus Ahok ini, berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menuntut dia dengan dasar penistaan agama. Bahkan tim penyelidikan yang bekerja dalam kasus ini sangat terpecah pendapatnya tentang masalah tersebut. Ada spekulasi di antara lingkaran politisi di Jakarta bahwa Jokowi sebenarnya tidak ingin Ahok didakwa atau masuk penjara karena pidatonya di Pulau Seribu. Sekarang, sulit untuk membayangkan bahwa Ahok dapat menghindari dinyatakan bersalah, karena pemerintah tidak dapat menanggung kejadian sebaliknya.
Majalah Tempo melabelkan kecenderungan ini sebagai “mob-ocracy“. Terlepas dari bagaimana komunitas Islam menganggap kasus Ahok, besarnya mobilisasi telah memaksa pemerintah untuk bertindak dengan cara yang mengurangi independensi penegakkan hukum di Indonesia, dan justru mencederai tuntutan penyelenggara aksi atas keadilan.
Kedua, cara Jokowi menangani aksi 2 Desember jauh lebih baik daripada yang 4 November, namun tentunya ada kerugian. Keputusannya untuk bergabung di Monumen Nasional dan kemudian berbicara secara singkat kepada massa mendapatkan dukungan luas, berbeda dengan kritikan yang dia alami saat menghindari para pemimpin demonstrasi pada bulan November. Namun, dengan berbicara di atas panggung ini pada hari 2 Desember, ia memberikan kredibilitas kepada penyelenggara demonstrasi, orang-orang yang biasanya tidak berafiliasi dengannya. Rizieq dan Bachtiar adalah kelompok Muslim garis ‘keras’ yang bertekad untuk menjatuhkan Jokowi dan mempromosikan calon presiden alternatif pada 2019. Dalam upaya untuk meredakan situasi, Jokowi justru telah memperkuat posisi musuh-musuhnya.
Ketiga, para pemimpin organisasi Islam arus utama telah dipojokan, dengan agenda yang ditetapkan sebagian besar oleh kelompok-kelompok Islam yang vokal meskipun kecil seperti FPI, HTI dan MUIMI. Kelompok-kelompok Islamis ini memiliki keanggotaan yang sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan NU dan Muhammadiyah, dan tidak memiliki sumber daya atau sejarah kontribusi terhadap perkembangan Islam di Indonesia seperti organisasi arus utama tersebut. Meski demikian, NU dan Muhammadiyah tetap dipaksa untuk merespon inisiatif kelompok Islamis tersebut. Demonstrasi anti-Ahok sebenarnya telah menimbulkan perpecahan di antara unsur progresif dan konservatif dalam kepemimpinan dari kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Di NU, misalnya, Said Aqil sangat kritis terhadap demonstrasi ini, sementara Ma’ruf Amin, presiden (dan juga ketua MUI) telah mendukungnya. Persoalan yang lebih serius, pemimpin progresif seperti Said Aqil dan Haedar Nashir harus berhati-hati dalam komentar mereka, menyadari bahwa pendapat mayoritas di kedua organisasi mereka sangat anti-Ahok. Satu contoh kasus terjadi saat mantan ketua Muhammadiyah dan intelektual muslim sekelas Syafi’i Maarif mendapat serangan kutukan dan ancaman mati sejak menyatakan bahwa Ahok tidak menghina Islam. Sayangnya, hanya sedikit tokoh Muhammadiyah yang melihat perlunya membela hak Maarif untuk mempunyai pendapat yang berbeda dari mereka sendiri mengenai hal tersebut.
Keempat, adalah suatu kesalahan untuk melihat demonstrasi 2 Desember ini sebagai aksi yang menunjukkan dukungan yang luas untuk agenda Muslim radikal di Indonesia. Kelompok-kelompok seperti FPI dan MIUMI telah menunjukkan keterampilan dalam mengambil keuntungan dari isu-isu yang menghasilkan emosi dalam komunitas Islam, seperti kasus Ahok, dan mengubahnya menjadi mobilisasi massa di jalanan.
Mereka juga dibantu oleh kelompok-kelompok politik yang mengeksploitasi isu tersebut untuk membantu saingan Ahok dan mengguncang kepemimpinan Jokowi. Kelompok-kelompok ini mendistribusikan dana dalam jumlah besar untuk transportasi, makanan dan air bagi peserta untuk memaksimalkan kehadiran pada demonstrasi tersebut. Untuk aktor-aktor politik ini, agama hanyalah alat untuk mendapatkan keuntungan politik. Apalagi, setelah kasus Ahok diselesaikan, tidak ada kemungkinan isu “penangkal petir” yang mempunyai potensi yang sama bagi koalisi GNPF-MUI. Hal ini menunjukkan bahwa mempertahankan agitasi publik dalam membela Islam akan menjadi sulit, bahkan tidak mungkin, dalam jangka panjang.
Akhirnya, demonstrasi 2 Desember ini merupakan kemunduran yang signifikan bagi keanekaragaman politik di Indonesia. Setidaknya dalam jangka pendek, ini akan menyulitkan politisi dan pejabat dari agama dan minoritas “non-pribumi” seperti orang Tionghoa, untuk naik ke posisi eksekutif di mana mereka akan memiliki otoritas atas komunitas yang mayoritas Islam. Para demonstran mungkin berpendapat bahwa target mereka adalah Ahok, bukan masyarakat Tionghoa atau Kristen yang lebih luas. Tetapi kenyataannya adalah orang-orang tersebut akan merasa, dengan beberapa bukti pembenaran, bahwa hak-hak hukum mereka dapat dibatasi, dan jika menududki jabatan publik mereka berhadapan dengan risiko difitnah, atau bahkan lebih buruk.
Selama dekade terakhir, demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran di berbagai bidang, termasuk kebebasan beragama. Kasus Ahok dan mobilisasi massa yang mengelilinginya menguatkan tanda kemunduran yang sama. Peristiwa dua bulan terakhir mengurangi klaim Indonesia sebagai negara demokratis Islam yang moderat. []
*) Dr Greg Fealy, Associate Professor di Australian National University, Indonesianis yang selama lebih dari 20 tahun melakukan penelitian sosial-politik di Indonesia. Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh blog Indonesia at Melbourne