Di awal 2019, peristiwa bom bunuh diri kembali menggemparkan Indonesia. Tepatnya pada 13 Maret, Marnita Sari Hutahuruk atau yang dikenal dengan Solimah meledakkan diri di rumahnya di kawasan Sibolga, Sumatera Utara.
Peristiwa tersebut bermula dari penangkapan suaminya, Husain Alkas yang diduga tergabung dalam jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Polisi kemudian menuju kediaman laki-laki yang akrab disapa Abu Hamzah ini untuk menggeledah rumahnya pada 12 Maret 2019.
Solimah enggan membukakan pintu hingga aparat kepolisian mendobrak paksa rumahnya. Akan tetapi, istri Husain ini malah melemparkan sebuah bom. Menyebabkan seorang polisi dan masyarakat sipil terluka, warga sekitar pun dievakuasi.
Polisi akhirnya memilih menjauh dari rumah tersebut. Melalui pengeras suara di masjid, tokoh agama meminta Solimah menyerahkan diri bersama anaknya. Bahkan Husain juga sempat membujuk sang istri untuk patuh.
Namun negosiasi berlangsung alot, Solimah tetap tak mau menyerahkan diri. Hingga kemudian, 13 Maret 2019, sekitar pukul 01.30 dini hari, Solimah memilih mengakhiri hidupnya dengan cara meledakkan diri, bersama anaknya yang masih berusia dua tahun.
Ledakan itu cukup kuat hingga menghancurkan 155 rumah di sekitar kediaman Abu Hamzah.
Berbagai kasus teror yang melibatkan perempuan
Bom Sibolga bukanlah kasus pertama yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Sebelumnya, Minggu 13 Mei 2018 terjadi pula bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga.
Bom itu diledakkan di tiga gereja di Surabaya. Salah satu lokasinya, GKI Diponegoro diledakkan oleh seorang ibu bernama Puji Kuswati yang membawa dua anak perempuannya.
Keesokan harinya, Senin, 14 Mei 2018 ledakan bom keluarga yang melibatkan perempuan dan anak-anak kembali terjadi. Kali ini Tri Murtiono bersama sang istri, Tri Ernawati beserta ketiga anaknya meledakkan diri di Mapolrestabes Surabaya.
Tiga peristiwa bom bunuh diri ini sontak menjadi sorotan, pasalnya peran perempuan sebagai bomber atau martir di Indonesia memang terbilang baru.
Sejatinya, keterlibatan langsung perempuan dalam aksi bom bunuh diri bukan dimulai dari ketiga kasus ini. Lebarti Taksarina dalam “Perempuan dan Terorisme (2018)” menyatakan, di Indonesia, perempuan pertama yang divonis terlibat sebagai aktor teror adalah Dian Yulia Novi.
Dian merencanakan serangan bom bunuh diri ke Istana Negara pada Minggu, 11 Desember 2016. Namun polisi berhasil mengendus upayanya ini. Perempuan yang saat ditangkap berusia 28 tahun itu akhirnya divonis 7,5 tahun penjara.
Selain Dian, ada pula Anggi Indah Kusuma, ia merencanakan pengeboman Istana Negara pada Agustus 2017. Tak hanya bertindak sebagai inisiator, Anggi juga mengatur pendanaan dan bertindak sebagai martir. Namun aksi Anggi juga berhasil dihadang polisi.
Peran perempuan dalam kelompok terorisme
Mohd Adhe Bhakti, Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi dalam artikel berjudul “Perempuan dan Terorisme” mengungkapkan, tindak pidana terorisme tidak hanya melibatkan laki-laki saja, melainkan juga para perempuan.
Kaum hawa yang terjerat tindak pidana terorisme di Indonesia pada awalnya memang masih belum menjadi aktor utama. Melainkan hanya sebagai pemberi bantuan atau bahkan tak berperan sebagai apapun dan hanya terseret oleh perbuatan yang dilakukan pasangannya saja.
Putri Munawaroh misalnya, istri Susilo Adim alias Hasan ini divonis hukuman tiga tahun penjara karena membantu menyembunyikan Noordin M.Top di rumahnya selama tiga bulan.
Saat polisi menyergap kediamannya, Putri yang sedang hamil tua ikut tertembak di bagian pinggulnya. Ia bahkan harus menerima kenyataan pahit melahirkan putranya dalam keadaan tidak merdeka.
Pergeseran peran perempuan dalam kelompok terorisme
Peristiwa bom Sibolga dan Surabaya membuka mata pemerintah Indonesia bahwa kini perempuan yang tergabung dalam jaringan terorisme tak hanya berperan di balik layar semata.
Siti Darojatul Aliah, peneliti isu radikalisme dan terorisme dalam diskusi yang diselenggarakan ruangobrol.id menyampaikan, sebelum tahun 2014 atau pada periode Jamaah Islamiyah, perempuan yang terlibat jaringan ekstremis lebih berperan dalam ranah domestik.
Saat itu perempuan hanya bertugas sebagai penyedia logistik, sebab gerakan radikal dianggap sebagai dunia maskulin yang identik dengan laki-laki. Keputusan untuk tidak melibatkan perempuan sebagai pelaku teror juga merupakan strategi keamanan, agar para perempuan tidak terlibat ketika polisi menemukan keberadaan kelompok mereka.
Peran perempuan dalam jaringan terorisme kemudian bergeser setelah tahun 2014, seiring dengan munculnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok yang berbasis di Suriah ini justru membuka lebar ruang bagi perempuan untuk menjadi pelaku teror.
Menurut Siti Darojatul Aliah, ada beberapa faktor yang menyebabkan ISIS menjadikan perempuan sebagai bomber, pertama, sebagai sentimen untuk mempermalukan laki-laki (menunjukkan jika perempuan saja berani mengapa laki-laki takut?).
Kedua, alasan keamanan, perempuan seringkali tidak dicurigai sebagai pelaku kekerasan, dan ketiga, perempuan bisa lebih militan dan berani berkorban daripada laki-laki. Terlebih dengan sikap perempuan yang cenderung lebih taat dan penurut.
Melansir CNN Indonesia, aktivis Asian Muslim Action Network (AMAN), Ruby Khalifah menyatakan, dari sisi global, ISIS mulai mengalami kekalahan di banyak tempat, mengakibatkan mereka kekurangan sumber daya manusia. Kondisi kritis ini memaksa ISIS mengajak siapa saja untuk “berjihad,” tak terkecuali para perempuan.
Lebih lanjut Siti Darojatul Aliah menyatakan, sosok Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah seringkali dijadikan rujukan para jihadis perempuan. Mereka menganggap situasi saat ini sudah darurat, sehingga perempuan pun harus turun tangan “berjihad,” sebagaimana Nusaibah menghadapi musuh di medan pertempuran Uhud.
Debbie Affianty dalam Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme (2017) menuliskan, ada beberapa bentuk keterlibatan perempuan dalam kelompok jihadis dan terorisme. Pertama, pengikut dan pendamping setia, perempuan bukanlah aktor utama, melainkan sebagai istri, pengikut setia dan ibu dari calon-calon jihadis.
Kedua, ahli propaganda dan agen perekrutan, selain berperan sebagai istri dan ibu dari kaum jihadis, perempuan dalam kelompok ISIS juga mengambil peran di dunia maya sebagai ahli propaganda, pendakwah, dan perekrut.
Ketiga, fighter atau bomber, kelompok-kelompok jihadis saat ini mulai menjadikan perempuan sebagai pengebom. Sebab mereka dianggap tidak mudah dicurigai dan terlacak oleh aparat.
Pergeseran peran perempuan ekstremis dari ranah domestik menuju publik menjadi ancaman baru. Pasalnya, keterlibatan perempuan sebagai martir justru memunculkan problematika lain, membawa anak-anak dalam pusaran terorisme.