Pada awal berdirinya pada 2013, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau IS dianggap lebih berbahaya dari pendahulunya, Al-Qaeda. Hal ini, dikarenakan ISIS mempunyai ribuan pasukan yang siap mendeklarasikan perang terhadap mereka yang dianggap menentang berdirinya negara Islam. Gerakan ini hanya beroperasi di Irak, namun ketika muncul konflik oposisi di Suriah, gerakan ini memanfaatkan kekisruhan dengan memperlebar kawasan menjadi ISIS/ISIL. Dengan penaklukan Mosul yang sempat menggemparkan dunia pada Juni 2014, mereka mendeklarasikan IS (Islamic State).
Kabar baiknya, ISIS dinyatakan kalah pada Maret 2019 setelah mereka kehilangan Baghuz desa di Suriah timur yang mewakili babak terakhir dalam ‘kekhalifahan’ mereka. Kabar buruknya, sel-sel mereka sudah kadung menyebar ke berbagai negara dan mengawali serangan-serangan mematikan di teritori baru yang menjadi inangnya. Filipina adalah contohnya.
Jejak ISIS di Filipina
Pada Senin (4/12/2023), kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman mematikan saat sedang berlangsung misa Katolik di Filipina yang menewaskan sedikitnya empat orang dan melukai 50 orang. Mengutip VOA, bom itu meledak pada Minggu saat misa di sebuah gymnasium universitas di Marawi. Serangan misa Katolik tersebut bukan yang pertama di Marawi. Kota itu sudah kerap menjadi saksi agresi mematikan ISIS sejak tahun 2017.
Saat itu, mengutip Deutsche Welle, kerusakan di Marawi sama parahnya dengan kerusakan di kota Raqqa di Suriah atau Mosul di Irak. Kota itu hancur akibat aksi militer selama lima bulan pada tahun 2017 untuk mengakhiri pendudukan berdarah oleh pendukung setia ISIS yang memicu kekhawatiran di berbagai penjuru terutama di Asia Tenggara. Kekalahan ISIS berdampak pada kondisi Marawi yang relatif menjadi lebih tentram dan kondusif, paling tidak sampai sebelum terjadi serangan teror di misa Katolik Senin itu.
Dengan lebih dari 200 ribu penduduk, Marawi adalah kota Muslim terbesar di Filipina, negara yang didominasi oleh pemeluk Katolik. Kota ini berlokasi di tepi Danau Lanao di Mindanao, pulau kedua terbesar di Filipina. Pada tahun 2017 lalu, dua orang warga lokal simpatisan ISIS bersikeras ingin mengubah Marawi menjadi ibu kota kekhalifahan di Asia Tenggara.
Dikutip dari VOA, Panglima militer Romeo Brawner pada Minggu mengatakan ia menduga pengeboman itu mungkin merupakan serangan balasan karena serangan tersebut terjadi setelah aksi militer terhadap kelompok-kelompok ekstremis lokal di bagian selatan Mindanao. Ledakan itu bak sebuah ‘peringatan’ dari ISIS bahwa mereka tidak diam.
Di satu sisi, kelompok Muslim pemberontak terbesar di Mindanao Moro Islamic Liberation Front (MILF) justru beririsan dengan ISIS. Banyak anggotanya membelot ke ISIS dan berjuang untuk merdeka sebagai negara Muslim. Padahal, Pemerintah Filipina telah bernegosiasi dengan MILF untuk menurunkan eskalasi teror. Namun, masuknya ISIS justru membuat agresi teror semakin sporadis dan masif di Filipina.
Bom Marawi Pantik Reaksi di Indonesia
Sama dengan Filipina, Indonesia pun terkena imbas dari faham radikal terorisme kelompok ISIS. Beberapa catatan melaporkan aksi teror dalam tujuh tahun terakhir yang melibatkan kelompok ini. Pada 24 Mei 2017, misalnya, ISIS mengaku bertanggungjawab atas teror bom bunuh diri di Kampung Melayu yang menewaskan lima orang termasuk dua terduga pelaku, Ichwan Nurul Salam dan Ahmad Sukri, dan menimbulkan korban luka 12 orang. Meski intensitas konfliknya tidak setinggi di Marawi, sel-sel ISIS ini tetap harus menjadi perhatian serius.
Pasca bom misa di Filipina, beberapa akun di Facebook justru mengapresiasi dan mensyukuri serangan itu. Mereka menganggap bahwa peledakkan itu tepat sasaran karena berhasil menewaskan orang-orang ‘kafir’ yang mengganggu realisasi syariat Islam di Filipina. Satu akun bahkan menulis ‘alhamdulillah’ dengan melampirkan korban-korban dalam tragedi itu. Narasi-narasi tersebut disukai dan sempat dibagikan oleh beberapa akun lain.
Meski tidak banyak, beberapa reaksi ini tentu meresahkan. Tak jarang, aksi-aksi teror besar selalu dimulai dengan satu titik hitam kecil yang sukar terdeteksi oleh pihak yang berwenang bahkan masyarakat di akar rumput sekalipun. Kondisi yang tentram dan aman bisa jadi hanya kenyamanan semu yang bisa dirusak oleh para kelompok radikal terorisme kapan saja.
Jika diperhatikan, tumbuhnya kelompok terorisme di Filipina dan Indonesia berasal dari pupuk yang sama, yaitu isu kesejahteraan sosial dan bobroknya sistem pemerintahan. Daerah-daerah Muslim di Mindanao adalah yang termiskin dan paling tertinggal di Filipina. Korupsi dan nepotisme juga menjalar di daerah ini. Isu-isu ini dikemas lalu dikelola secara ideologis untuk melahirkan militansi warga Muslim setempat untuk memberontak dan melakukan teror. Tak jauh beda dengan Indonesia. Kelompok teroris di sini cenderung mengangkat kegagalan pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial, sehingga mendorong umat untuk ‘berjihad’ menerapkan syariat Islam sebagai solusi di Indonesia.
Waspada Tensi Agama Menjelang Nataru
Serangan bom di Marawi menyiratkan dua hal; pertama, komunitas non-Muslim masih menjadi target rentan serangan kelompok teroris yang mengatasnamakan agama; kedua, teror yang terjadi masih menggunakan pola yang sama, yaitu menyasar agenda besar yang meniscayakan keramaian di dalamnya.
Dua poin ini dirasa cukup menjadi alasan bagi pemerintah dan pihak berwenang untuk semakin mengintensifkan keamanan di Indonesia menjelang Hari Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Atau jika mau diperpanjang lagi, yakni menjelang Pemilihan Umum 2024. Tiga agenda besar tersebut meniscayakan keramaian dan dianggap sebagai agenda yang ‘bertentangan’ dengan ajaran Islam oleh kelompok radikal terorisme.
Dalam fase kampanye antar calon presiden dan calon wakil presiden saat ini, narasi politik identitas rentan dimainkan dan berpotensi meruncingkan sentimen antar agama. Jika demikian, kelompok teroris dan jaringannya di Indonesia bisa leluasa menunggangi sentimen tersebut untuk melancarkan teror tanpa ada halangan yang berarti.
Tidak menutup kemungkinan, serangan Misa di Marawi hanyalah permulaan dari rangkaian teror ISIS yang mungkin sudah direncanakan di Asia Tenggara. Asumsi ini bukan bermaksud menakut-nakuti atau berprasangka buruk. Justru ini adalah momen untuk menyalakan tombol alarm agar kita siaga bahwa serangan kelompok teroris di Filipina akan sangat mungkin menjadi inspirasi serangan serupa di Indonesia.
Sinergi antara pemerintah dan masyarakat perlu dilakukan untuk mengawal Indonesia agar tetap damai dan kondusif. Pemerintah bisa menguatkan kerja sama dengan lembaga pendidikan dan keagamaan untuk mendorong pemahaman yang benar tentang ajaran agama dan mencegah radikalisasi. Sedangkan masyarakat bisa membekali diri dengan literasi media baik dan terus mempromosikan toleransi dalam keberagaman.