Beraktivitas dalam rangka menyelamatkan manusia dari segala marabahaya seperti menolong orang yang tenggelam di sungai, membantu korban bencana, menolong orang yang kecelakaan, melumpuhkan teroris dan aktivitas kemanusiaan lainnya dapat memperbolehkan seseorang membatalkan puasa.
Dalam Islam hak hidup manusia dengan segala hal yang dapat menjaganya menempati kedudukan yang sangat asasi. Karena itu aktivitas dalam rangka menjaga dan melindunginya bagian dari pekerjaan yang sangat mulia hingga Islam mengutamakannya daripada menunaikan ibadah ritual seperti shalat dan puasa jika dalam waktu bersamaan harus mengerjakan keduanya.
Perempuan yang sedang menyusui, baik menyusui anaknya sendiri maupun bukan, menyusui anak manusia maupun hewan (meski anak anjing), perempuan hamil, baik hamil di dalam pernikahan yang sah maupun bukan, orang sakit, orang yang menempuh perjalanan jauh atau musafir, orang yang mencari nafkah dengan melakukan pekerjaan yang berat, semuanya dalam diskursus fikih mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa atau membatalkannya. Keringanan ini semata-mata karena Islam mengutamakan keselamatan dan kesehatan yang merupakan bagian dari manifestasi menjaga hak hidup manusia (al-muhafadhah ‘ala mashlahah an-nafs).
Tulisan ini akan membahas secara khusus hukum membatalkan puasa karena mengerjakan aktivitas kemanusiaan dalam bentuknya yang lebih umum, seperti menolong orang kecelakaan atau merawat orang sakit, operasi penangkapan teroris dan yang lainnya, baik yang ditolong beragama Islam maupun bukan, semuanya boleh bahkan dalam keadaan tertentu wajib membatalkan puasa, yakni ketika tidak mungkin melakukan pertolongan tanpa membatalkan puasa.
Syamsuddin asy-Syirbini (w. 977 H), pakar fikih madzhab Syafi‘i dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifah Ma‘ani Alfadh al-Minhaj, menjelaskan:
فَيَجِبُ عَلَيْهِ الْفِطْرُ إذَا لَمْ يُمْكِنْهُ تَخْلِيْصُهُ إلَّا بِفِطْرِهِ
“Wajib membatalkan puasa bagi orang yang hendak menyelamatkan nyawa manusia atau binatang (al-munqidz) apabila ia tidak dapat melakukan pertolongan terhadapnya kecuali dengan membatalkan puasa.” (1994: II, 175, Al-Bujairamiy, 1995: II, 399).
Hukum diperbolehkan atau diwajibkan membatalkan puasa di atas semata-mata karena untuk menjaga hak hidup, baik manusia maupun binatang. Bahkan para ulama memperbolehkan membatalkan puasa karena menyelamatkan atau menjaga harta benda (li takhlish mal).
Konsekuensi dari membatalkan puasa karena mengerjakan aktivitas kemanusiaan dalam madzhab Syafi‘i ada dua pendapat.
Pertama; orang yang melakukannya harus mengqadha puasa setelah Ramadlan dan memberikan fidyah (bahan pokok makanan sebanyak 543 gram atau 0,6 kg kepada orang miskin). Dalam hal ini orang yang melakukan aktivitas kemanusiaan disamakan dengan perempuan yang menyusui dari sisi sama-sama menyelamatkan dua nyawa, nyawa sendiri dan orang lain. Karena itu konsekuensi hukumnya disamakan, yaitu qadla dan membayar fidyah.
Kedua; cukup mengqadha puasa saja, tanpa membayar fidyah. Alasannya aktivitas kemanusiaan tidak bisa dianalogikan dengan perempuan menyusui atau hamil karena ada dasar hukumnya tersendiri. Dalam fikih jika ada dua persoalan yang masing-masing hukumnya dijelaskan di dalam al-Quran atau hadis maka keduanya tidak bisa dianalogikan. (Al-Mahalli, 2008: II, 109).
Sedangkan membatalkan puasa karena menyelamatkan atau menjaga harta benda dalam madzhab Syafi‘i disepakati cukup mengqadha saja.