Bolehkah Melakukan Tradisi Siraman Sebelum Pernikahan?

Bolehkah Melakukan Tradisi Siraman Sebelum Pernikahan?

Bolehkah Melakukan Tradisi Siraman Sebelum Pernikahan?

Salah satu tradisi dalam pernikahan di Nusantara ialah melaksanakan siraman  sebelum dilangsungkannya resepsi pernikahan. Banyak sekali yang menyatakan bahwa budaya tersebut adalah bid’ah sehingga haram dilakukan karena tidak ditemukan padanannya dalam tradisi Rasulullah. Dalam pemaparan kali ini akan dijelaskan sebuah hadits Nabi yang bisa dijadikan sebagai pijakan terkait tradisi tersebut.

Mengenal Tradisi Siraman

Sejatinya, tradisi siraman pengantin tidak lain adalah sebagai simbol pembersihan diri secara lahir maupun batin. Pembersihan lahir dengan cara mandi, dan pembersihan bathin dengan adanya harapan baik dan doa dari calon pengantin serta para sesepuh.

Dalam tradisi Nusantara, sebelum siraman, calon mempelai wanita akan melakukan sungkeman kepada kedua orang tua. Jika acara tersebut dihadiri kakek nenek, sungkeman lebih dulu ditujukan kepada keduanya, kemudian kepada orang tua. Setelah seluruh persiapan siraman telah tersedia, dilaksanakanlah siraman dengan penyiram pertama sang ayahanda lalu dilanjutkan sang bunda.

Orang yang menyiram harus bejumlah ganjil antara tujuh sampai sembilan orang. Penyiram terakhir dilakukan oleh perias. Seusai itu, mempelai wanita dibopong oleh ayah menuju kamar pengantin. Namun sebelum itu, utusan besan menyerahkan rambut mempelai pria untuk disatukan dengan potongan rambut mempelai wanita.

Gabungan guntingan rambut itu lalu dikubur di halaman samping atau belakang rumah. Tanam rikmo bertujuan untuk mengubur semua hal buruk supaya kelak mendapat kebaikan dan kebahagian dalam berumah tangga.

 Nabi Melakukan Siraman dalam Pernikahan Ali dan Fatimah

Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Nabi pun pernah melakukan acara siraman yang tentu saja ada perbedaan tata laksana dengan yang terjadi di Nusantara, namun substansinya sama, yakni:

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ، فَقَالَ فِيهِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِ صَدْرَ عَلِيٍّ وَوَجْهَهُ، ثُمَّ دَعَا فَاطِمَةَ فَقَامَتْ إِلَيْهِ تَعْثُرُ فِي مِرْطِهَا مِنَ الْحَيَاءِ، فَنَضَحَ عَلَيْهَا مِنْ ذَلِكَ، وَقَالَ لَهَا مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ

“Rasulullah mengambil wadah yang ada airnya, Nabi berdoa, lalu Nabi usapkan ke dada dan wajah Ali. Kemudian Nabi memanggil Fatimah, ia berdiri sambil malu, lalu mengusapkan air kepada Fatimah dan Nabi mendoakannya” (HR al-Thabrani, hadis sahih)

Siraman dalam Tinjauan Syariat

Dengan demikian, secara garis besar bisa kita ambil kesimpulan bahwa melakukan tradisi siraman hukumnya boleh, bahkan sunnah karena Nabi pun pernah mencontohkannya. Hanya saja perlu diingat bahwa hukum antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Biasanya dalam tradisi siraman ini, mempelai wanita hanya menggunakan kain jarik, sejenis batik yang hanya menutupi bagian tubuh dari dada hingga kaki. Tentu saja ada pembukaan aurat disitu, apalagi dilakukan di hadapan umum. Hal ini tentu saja tidak diperbolehkan dalam syariat.

Karenanya, akan lebih baik jika prosesi siraman pengantin dilaksanakan dengan tetap menutup aurat, atau di tempat yang tertutup dan hanya dihadiri oleh kerabat yang memiliki hubungan mahram.

Demikian, semoga bermanfaat.