Setidaknya Covid-19 telah membuat kehidupan kita berubah dari sebelumnya. Banyak pegawai yang hari ini harus dirumahkan gara-gara virus ini. Tidak sedikit pula bisnis yang harus gulung tikar dibuatnya. Ditambah lagi dengan kebutuhan hidup yang semakin melonjak. Lalu apakah bolehkah mengeluh dengan semua hal yang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT itu?
Tidak bisa dipungkiri bahwa yang namanya manusia, tidak bisa lepas dari keluhan dan kekesalan dalam menjalani ujian kehidupan, meskipun itu bentuk sayang Allah kepada hamba-Nya.
Syaikh Badiuzzaman Said Nursi, salah seorang ulama sufi kontemporer turki, dalam kitab al-Lama’at mengatakan bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan cobaan, baik berupa penyakit, bencana alam, kelaparan maupun tragedi lain yang menimpanya. Paling tidak ada tiga alasan mengapa kita tidak patut untuk mengeluhkan takdir Allah Swt tersebut.
Pertama, Allah SWT menjadikan busana eksistensi yang Dia pakaikan kepada manusia sebagai petunjuk atas kreasi-Nya. Sebab, pada dirinya pakaian eksistensi dapat diganti, digunting, diubah dan dimodifikasi untuk menjelaskan manifestasi Asmaul Husna yang beraneka ragam.
Sebagaimana nama-Nya “Asy-Syafi” (Maha Menyembuhkan) menuntut adanya penyakit. Begitu juga “Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rizki) menuntut adanya rasa lapar. Sehingga manusia dapat sadar bahwa dirinya lemah dan tak berdaya dihadapan sang Maha Kuasa.
Cobaan dan musibah dapat menjadi peluruh potensi sifat sombong dan takabur yang bersemayam dalam diri setiap insan. Kecongkakan manusia selama ini diluluh-lantakkan dengan musibah yang menderitanya. Tentu ini bisa dimaknai sebagai peringatan dan penguatan dari Allah kepada manusia bahwa mereka hanyalah Hamba yang tak kuasa dengan apapun.
Kedua, sesungguhnya kehidupan menjadi jernih oleh musibah dan bala, serta menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua itu menjadikan hidup manusia mencapai keseimbangan, kuat, serta mencapai tujuan dan targetnya sebagai hamba Tuhan. Musibah dan cobaan menjadikan manusia terdidik untuk mencari jalan keluarnya dengan selalu berusaha dan bertawakal kepada-Nya.
Akal manusia dipaksa untuk bergerilya mencari solusi atas musibah yang telah menimpanya, dan hati manusia dituntut untuk berbesar hati menerima musibah sebagai karunia-Nya. Sehingga akan muncul keseimbangan dalam hidup manusia selanjutnya, dengan memposisikan akal dan hati setara tanpa ada yang lebih utama.
Ketiga, dunia merupakan medan ujian dan cobaan. Dunia adalah tempat beramal dan beribadah, bukan tempat bersenang-senang dan berleha-leha, serta bukan pula tempat menerima imbalan dan pahala. Selama dunia menjadi tempat beramal dan beribadah, maka musibah dan penyakit akan menguatkan kedua hal tersebut jika diterima dengan sabar.
Musibah dan cobaan dapat menjadi suplemen peningkat kualitas kedekatan hamba kepada Rabbnya. Iman akan semakin tumbuh dan mengembang karena perasaan tak berdaya. Sehingga muncul sikap penghambaan secara kaffah kepada Sang Pencipta.
Karena itulah kita tidak diperkenankan untuk mengeluh terhadap musibah yang sedang menimpa kita. Bahkan sebaliknya harus memperbanyak syukur dan Istighfar. Sebab Allah SWT menjadikan musibah dan penyakit sebagai medium bagi kita agar bertransformasi menjadi hamba yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Saat ini, Allah SWT sedang memberi tanda kepada manusia melalui musibah, dan tugas kita untuk memetik hikmah dari tanda-tanda tersebut. Hal yang perlu diingat adalah Allah itu Maha Bijaksananya. Maka tidak mungkin musibah, ujian ataupun cobaan itu ditimpakan kepada hamba tanpa diiringi dengan kemudahan serta jalan keluar untuk melaluinya.
Pasti Allah sudah menyiapkan itu semua dan kita hanya perlu bersabar serta memperbanyak syukur dan berusaha dengan keras dalam melalui ini semua. Sama seperti pelaut handal yang membutuhkan badai dan ombak besar agar semakin tangguh, iman pun membutuhkan ujian untuk menguatkan dan meningkatkan, dan jangan mengeluh! (AN)
Wallahua’lam Bisshowwab.
Baca juga tulisan lain tentang Said Nursi.