Dalam sejarah panjang Indonesia, bahkan Nusantara, demonstrasi merupakan pilihan yang paling digemari oleh rakyat secara umum sebagai sarana untuk menyampaikan protes terhadap berbagai persoalan kehidupan. Catatan kerajaan Majapahit menyebutkan bahwa ketika rakyat hendak menyampaikan protesnya kepada Raja, mereka menempuh jalan bertapa di alun-alun hingga Raja berkenan menemuinya.
Demikian pula sejarah Indonesia sebagai sebuah negeri. Ia tak lepas dari rangkaian demonstrasi, khususnya yang dilakukan oleh mahasiswa atau golongan muda. Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, demonstrasi 1965 yang menggulingkan pemerintahan orde lama, peristiwa Malari pada Januari 1974 yang dipicu oleh ketidakpuasan mahasiswa terhadap kekuasaan orde baru yang membuka masuknya modal asing yang mendikte bangsa Indonesia, dan yang paling masih diingat oleh kita adalah demonstrasi mahasiswa 1998 yang menggulingkan pemerintahan orde baru, sebagai tonggak awal lahirnya reformasi.
Demonstrasi tidak mesti bersifat masif dan masal. Ada kalanya ia bersifat individual atau berkelompok seperti demonstrasi petani Kendeng ataupun demonstrasi aksi kamisan yang tetap dilakukan secara berkala oleh orang tua para korban kerusuhan 1998.
Hari-hari ini, demonstrasi pun kembali dilakukan oleh mayoritas mahasiswa di negeri ini dan terjadi di berbagai daerah. Suara mereka seirama. Menunjukkan ketidakpuasan atas kinerja DPR dalam menyusun dan mengesahkan Undang-Undang, khususnya Revisi Undang-Undang KPK yang dinilai mematikan proses pemberantasan korupsi di negeri kita.
Jika kita melihat pada syariat Islam, akan kita temukan bahwa demonstrasi dibahasa arabkan dengan kata “Muzhaharat”. Secara umum, dalil yang memperbolehkan atau melarangnya tidak kita temukan secara pasti.
Meski demikian, ulama Arab Saudi yang terkumpul dalam Haiah Kibarul Ulama menyatakan bahwa demonstrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap pemerintahan yang sah sehingga merupakan jenis bughat (memberontak) dan karenanya dihukumi haram serta pelakunya bisa dijatuhi hukuman berat. Pendapat semacam ini di Indonesia diikuti oleh mereka yang menamakan golongan mereka dengan Wahabi atau Salafi. Mereka sepakat menolak berdemo karena menganggapnya haram.
Pendapat semacam itu berbeda dengan pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi yang menganggap demonstrasi sebagai tindakan yang dihalalkan secara syariat. Ia berpendapat: “Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar.”
Jika merujuk kepada Al-Qur’an, kita bisa melihat landasan diperbolehkannya demonstrasi dari sebuah ayat:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa : 148)
Ayat di atas jelas memperbolehkan kita menyatakan perlawanan kita secara terang di hadapan orang yang zalim, lebih-lebih jika ia adalah penguasa atau orang yang diamanati untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
Meski tidak dilakukan secara masal dan masif, nyatanya di zaman Rasulullah pernah terjadi demonstrasi yang dilakukan secara individu dan diperbolehkan oleh Rasulullah. Kisahnya terangkum dalam hadits riwayat Abu Hurairah, bahwasanya ada laki-laki yang mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku mempunyai tetangga yang (kebiasaannya) menyakitiku.” Maka Rasulullah menjawab, “Sabarlah!” (beliau mengucapkan tiga kali).
Namun lelaki tersebut mengulangi lagi aduannya. Maka beliau bersabda, “Lemparkanlah perabotan rumahmu ke jalan!” Maka lelaki tersebut melakukannya, kemudian para Sahabat berkerumun karena hal tersebut, lalu mereka berkata, “Apa yang terjadi denganmu?” dia menjawab, “Aku mempunyai tetangga yang (selalu) menyakitiku.” kemudian dia menceritakan masalahnya. Lantas mereka berkata, “Semoga Allah melaknatnya.” Maka tetangga (yang menyakiti) mendatanginya dan berkata kepadanya, “Pulanglah kerumahmu, demi Allah, aku tidak akan menyakitimu lagi selamanya.”
Dari beragam pendapat dan pijakan dalil yang ada, maka bisa kita simpulkan bahwa demonstrasi hukumnya adalah halal, bahkan wajib apabila kezaliman sudah semakin nyata di depan mata dan sudah tidak bisa dinegosiasikan lagi. Sebaliknya, ia akan menjadi haram apabila dilakukan secara anarkis, bertujuan bukan untuk menegakkan keadilan dan hanya untuk kepentingan segolongan orang saja tanpa mengindahkan kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, jika mahasiswa merasa bahwa apa yang mereka lakukan saat ini adalah untuk melawan kezaliman para wakil rakyat yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, maka hal tersebut halal, bahkan wajib untuk dilakukan. Meskipun tentu saja harus dilakukan secara damai dan tidak boleh anarkis.