Dua tahun lalu saya mampir di sebuah pasar tradisional di kota Mombasa, Kenya. Kondisi pasar cukup bersih. Setidaknya tidak ada sampah bertebaran di mana-mana. Ketika saya membeli kain, pedagang membungkusnya dengan kantong berbahan kain.
“Apakah di sini sudah tidak ada plastik?” tanyaku, berbasa-basi. Sejak mengurus visa ke Kenya, saya sudah diberitahu oleh rekan untuk tidak membawa plastik ke negara Afrika Timur ini. Plastik menjadi salah satu larangan keras di Kenya dalam beberapa tahun belakangan.
“Wah, di sini tidak boleh. Kami bisa didenda hingga ribuan shillings (mata uang kenya),” ujar penjual.
Saya manggut-manggut. Denda untuk penggunaan plastik sekali pakai di Kenya memang bisa mencapai jutaan rupiah.
Nah, menariknya, pedagang kain itu menjadikan denda sebagai alasan utama. Tanpa berpanjang lebar ngomong soal lingkungan, dia bisa menaati peraturan yang mengharuskan mereka lakukan hal tersebut.
Sejauh pengamatan saya seminggu berada di sana, terbatasnya sampah plastik di Kenya bisa dilihat dari tiga faktor.
Pertama, aturan yang jelas dari pemerintah. Pemerintah Kenya menyadari betul bahwa plastik menjadi problem utama kesehatan masyarakat dan pencemaran lingkungan di negaranya. Mereka menerbitkan kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai.
Sejak menginjakkan kaki di Jomo Kenyatta International Airport, Nairobi (ibu kota Kenya), saya tidak melihat penggunaan plastik kecuali untuk wrapping. Saat membeli minuman pun, mereka tidak memberikan kantong berbahan plastik.
Selain melarang, pemerintah sekaligus memberikan solusi bahan ramah lingkungan yang harganya sepadan. Karena bagaimana pun, murahnya harga kantong plastik menjadi alasan pragmatis para pedagang untuk menggunakannya.
Kedua, sanksi yang tegas. Kebanyakan peraturan dilanggar oleh warga karena tidak ada pengawalan yang ketat alias cuma bunyi-bunyian saja. Lambat laun, warga akan dengan sendirinya kembali ke situasi seolah-olah peraturan itu tidak pernah ada. Pemerintah Kenya mengawal betul peraturan yang mereka buat. Buktinya, pedagang kain menyebut ‘denda’ sebagai alasan tidak lagi gunakan kantong plastik.
Ketiga, kesadaran masyarakat. Selain denda, sebagian masyarakat merasakan bahwa negara mereka memang didera krisis lingkungan akibat plastik. Kisah ini saya temukan ketika jalan-jalan menggunakan taksi. Di sebuah sudut kota Nairobi, supir menjelaskan bahwa dulunya tempat itu sangat kumuh akibat sampah plastik. Namun beberapa bulan setelah peraturan resmi diberlakukan, tidak ada satu lempar pun plastik yang mengotori tempat yang dimaksud.
Apakah Kenya sudah bebas plastik? Saya tentu tidak bisa mengatakan iya. Bagaimana pun, yang saya lihat hanya sebagian kecil. Setidaknya, bagian yang kecil itu sangat berkesan, apalagi melihat konteks negara Indonesia yang begitu kewalahan menghadapi krisis lingkungan.
Pada tahun lalu, laut Indonesia mengemban beban 3,22 juta ton sampah plastik yang menjadi urutan kedua di dunia setelah China. Pada tahun 2018, Indonesia mengimpor 320 ribu ton sampah plastik. Beban lautan yang menjadi habitat milyaran spesies begitu menyedihkan karena perilaku manusia yang gemar buang sampah plastik.
Plastik merupakan benda yang cukup lama terurai. Kantong plastik membutuhkan waktu 10 hingga 1000 tahun untuk terurai. Meski demikian, penelitian baru menunjukkan bahwa plastik tidak begitu saja hilang. Benda ini akan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil disebut sebagai mikroplastik.
Mikroplastik ini sangat sulit dilihat oleh mata telanjang. Benda-benda ini dikonsumsi secara tidak sengaja oleh ikan-ikan yang kemudian dijaring nelayan. Tanpa kita sadari, ikan yang kita nikmati sudah terkontaminasi oleh mikroplastik, hasil dari sampah plastik yang kita buang begitu saja.
Apakah fenomena ini bisa kita tanggulangi? Menghentikan secara total tentu sulit. Yang bisa kita lakukan adalah mengurangi sebisa mungkin penggunaan plastik sekali pakai ini. Apalagi dulu kantong plastik diciptakan untuk menanggapi dampak lingkungan yang terancam akibat penggunaan kantong kertas berbahan baku kertas dari kayu. Plastik dianggap bisa digunakan berkali-kali.
Namun kini bagi banyak orang plastik hanya digunakan sekali. Keengganan masyarakat menyimpan kantong plastik belanjaan dan menganggapnya sebagai barang murah menjadi beberapa faktornya.
Di momen Idul Adha inilah kita bisa belajar untuk mengurangi dampak penggunaan plastik sekali pakai. Akan ada jutaan ton daging yang didistribusikan ke ratusan juta orang. Apabila separuh umat Islam mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai, hal ini sangat berpengaruh pada keselamatan lingkungan.
Apalagi menjaga lingkungan adalah salah satu amanah dari Allah SWT pada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Umat Islam harus terlibat sebagai aktor utama dalam melakukan gerakan penyelamatan lingkungan.
Beberapa daerah seperti DKI Jakarta sudah menyarankan warga untuk gunakan bahan ramah lingkungan. Bahan ini pun sebenarnya mudah kita temukan di lingkungan kita, misalnya daun pisang dan jati. Bahan lain bisa juga gunakan seperti anyaman daun pandan atau kelapa, besek, dan kotak makan yang bisa dipakai berkali-kali.
Semoga ada banyak daerah yang mengeluarkan himbauan serupa. Sembari berharap di masa depan pemerintah Indonesia bisa benar-benar memberi solusi pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Dampak kerusakan bagi lautan begitu nyata. Apalagi sebagian besar destinasi wisata unggulan kita adalah lautan.
Di daerah-daerah yang dekat dengan sungai, salah satu penyebab banjir adalah tersumbatnya aliran air akibat menumpuknya sampah plastik. Volume hujan yang turun membuat air meluap. Terjadilah banjir yang merugikan ribuan warga. Jika dirunut, banjir yang didapatkan adalah ulah sebagian manusia yang menyakiti alam dengan pola hidup sekenanya. Kesadaran manusia adalah salah satu kuncinya.
Semoga hari raya Idul Adha ini membawa keberkahan pada kita semua. Berkah karena kita bisa berbagi nikmatnya daging kurban, dan juga berkah karena kita tidak membebani lingkungan dengan sampah-sampah yang kita tumpuk setelahnya. Wallahua’lam.