Imam Malik (711-795 masehi/93-179 hijriah) merupakan ulama ahli fiqih dan hadis. Beliau lahir dari keluarga pecinta ilmu hadis, atsar, dan fatwa para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya Anas, salah satu periwayat hadis. Sedangkan kakeknya Malik bin Abi Amir, salah satu tokoh ulama dari kalangan tabiin, orang Islam di masa awal yang mengalami zaman bersama para Sahabat Nabi. Malik bin Abi Amir, banyak meriwayatkan hadis dari tokoh-tokoh besar sahabat, seperti Sayyidina Umar, Sayyidina Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sayyidah ‘Aisyah, Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit dan ‘Uqail bin Abi Thalib.
Malik bin Abi Amir memiliki hubungan baik dengan Sayyidina Usman bin Affan. Suatu ketika Sayyidina Usman pernah mengutus Malik bin Abi Amir untuk menaklukkan Afrika hingga berhasil.
Saat Sayyidina Usman mengumpulkan semua mushaf, Malik bin Amir termasuk di antara tabiin yang dipercaya untuk menulis mushaf.
Kedekatan dengan ilmu ini menurun pada cucunya, Imam Malik. Imam Malik sudah menunjukkan kesungguhan dalam menimba ilmu. Dia hafal Alqur’an saat masih usia belia, kemudian beralih menghafal hadis dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Sebagian besar waktu Imam Malik dihabiskan untuk menulis dan menghafalkan hadis. Selain tekun menghafal hadis, Imam Malik kecil juga rajin belajar ilmu fiqih. Dia belajar fiqih pertama kali kepada Rabi’ah bin Abdirrahman.
Kelurga, terutama ibunya, sangat antusias melihat ketekunannya belajar. Suatu ketika dia pamit kepada ibunya untuk pergi belajar kepada Rabi’ah, lalu dengan penuh perhatian ibunya memakaikan pakaian yang bagus dan surban sembari berkata; “Pergilah belajar dan jangan lupa menulis apa yang didengar dari Rabi’ah. Pelajari adab Rabi’ah sebelum ilmunya.”
Imam Malik juga tekun menghadiri halaqah Abdurrahman bin Hurmuz. Selama 13 tahun beliau belajar terus menerus kepada Ibnu Hurmuz tanpa diselingi belajar kepada guru lain. Ibnu Hurmuz merupakan guru favorit dan sangat berpengaruh dalam kehidupan intelektul imam Malik.
Dalam suatu halaqah, Ibnu Hurmuz pernah berkata; “Sebaiknya seorang guru tidak segan mewariskan kata “la adri (tidak tahu)” kepada santrinya.” Di kemudian hari, setiap kali Imam Malik ditanya tentang suatu masalah, Ibnu Hurmuz sering mengatakan “la adri.”
Ketekunan Imam Malik menuntut ilmu menjadikannya berpengetahuan luas dan mendalam tentang berbagai bidang ilmu agama. Sehingga, di kemudian hari beliau menjadi rujukan banyak para pecinta ilmu.
Ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pernah menimba ilmu dan belajar kepada beliau. Disebutkan bahwa tokoh dan ulama terkenal yang pernah belajar kepada Imam Malik tak kurang dari 1.300 orang.
Pergulatan pemikiran keagamaan masa Imam Malik
Kota Madinah menjadi tempat belajar Imam Malik. Selama hidupnya, beliau tidak pernah mengembara ke negeri lain untuk mencari ilmu. Beliau hanya mencukupkan belajar ilmu kepada tokoh dan ulama dari kalangan tabiin di Madinah.
Pada mulanya, beliau mempelajari dan menghafal Alquran, hadis Nabi Muhammad SAW, atsar, fiqih, dan fatwa sahabat dan tabiin.
Pada masa kehidupan Imam Malik, wilayah kekuasaan Islam membentang luas ke berbagai penjuru dunia. Kondisi ini membutuhkan strategi khusus para ulama dalam merespons masalah kehidupan sosial dan keagamaan.
Dalam kehidupan beragama muncul dua corak metode dan aliran dalam memahami teks-teks keagamaan.
Pertama, metode ahli hadis atau ahli atsar. Aliran ini mendasarkan pemahaman keagamaan pada nash-nash Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW.
Kedua, metode ahli ra’yi. Aliran ini mendasarkan pemahaman keagamaan pada legal reasons atau maksud dan tujuan syariah. Mereka tidak berpatokan kepada nash-nash Alquran dan Sunah secara tekstual, namun pada ‘illah-‘illah hukum yang terkandung dalam nash-nash Alquran dan Sunah tersebut.
Aliran ahli hadis diwakili kalangan umat Islam yang berdomisili di Hijaz, khususnya di Madinah. Sedangkan ahli ra’yi diwakili kalangan umat Islam di Irak. Sering terjadi perdebatan antara dua aliran ini dalam pemahaman keagamaan, terutama fiqih, sejak periode tabiin.
Kalangan ahli hadis sering mencela kalangan ahli ra’yi dengan tuduhan bahwa ahli ra’yi meninggalkan sebagian hadis dan lebih mendahulukan hasil pemikiran terhadap nash.
Sedangkan ahli ra’yi menuding ahli hadis tidak mengetahui maksud dan tujuan syariah. Kalangan ahli ra’yi sering mengalahkan argumentasi ahli hadis dalam perdebatan.
Imam Malik termasuk ulama Madinah yang sering berseberangan dengan kalangan ahli ra’yi di Irak.
Salah satu pemikiran ahli ra’yi yang tidak disetujui beliau adalah qiyas ala ahli ra’yi, yaitu menganalogikan hukum suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dalam Alquran atau Sunah dengan hukum suatu masalah yang ada nash hukumnya.
Beliau dan kebanyakan ulama Madinah lebih mendahulukan metode al-Mashalih dalam merespons masalah baru yang tidak ada nash hukumnya dalam Alquran dan Sunah.
Warisan Intelektual Imam Malik
Warisan intelektual imam Malik sangat besar terhadap pemikiran keagamaan umat Islam. Ada dua warisan besar Imam Malik yang masih diakui umat Muslim di seluruh dunia hingga hari ini: kitab al-Muwattha’ dan Mazhab Maliki.
Kitab al-Muwattha’ adalah karya terbesar Imam Malik dan menjadi rujukan penting hingga hari ini, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Kitab ini dinilai banyak kalangan memiliki banyak keistimewaan.
Sebab, kitab al-Muwattha’ disusun berdasarkan klasifikasi fiqih dengan memperinci kaidah-kaidah fiqih yang disarikan dari hadis Nabi Muhammad SAW dan fatwa para sahabat.
Imam Malik wafat pada usia 92 tahun pada tahun 179 H/795 M. Beliau termasuk ulama yang dikarunia umur panjang dan menghabiskan seluruh umurnya untuk ilmu dan pengabdian terhadap agama dan umat.
Dalam rentang umur yang panjang tersebut, Imam Malik pernah hidup dalam dua kekuasan Islam terbesar, Umawiyah dan Abbasiyah.
Konon, Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim, gubernur Madinah dari dinasti Abbasiyah, termasuk orang yang mensalati jenazah Imam Malik dan mengantarkan sampai pembaringan terakhirnya di Baqi’.
Mazhab Maliki masih hidup hingga hari dan menjadi mazhab resmi di beberapa negara.