(فإن هذا الكتاب إنما وضعناه ليبلغ به المجتهد في هذه الصناعة رتبة الإجتهاد (إبن رشد
Ibn Rushd’s Bidayat al-Mujtahid occupies a unique place among the authoritative manuals of Islamic law. It is designed to prepare the jurist for the task of the mujtahid, the independent jurist, who derives the law and lays down precedents to be followed by the judge in the administration of justice. In this manual Ibn Rushd traces most of the issues of Islamic law, describing not only what the law is, but also elaborating the methodology of some of the greatest legal minds in Islam to show how such laws were derived. (Imran Nyazee)
Averroisme Eropa dan Averroisme Islam
Ibn Rusyd, yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Averroes, adalah filosof muslim yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan filsafat dan kedokteran di Eropa. Inilah testimoni yang diberikan oleh Ernest Renan, sarjana Prancis penulis Averroès et l’averroïsme. Herny Corbin, dalam History of Islamic Philosophy, juga memberikan testimoni bahwa Ibn Rusyd adalah “the most eminent representative of what has been called Arab philosophy”, yakni representasi paling unggul dari filsafat Arab. Ada pula yang menjulukinya sebagai “Prince of Science”; pangeran ilmu pengetahuan. Pengaruh Ibn Rusyd di Eropa abad pertengahan memang sangat besar. Oleh karena itu, Habeeb Salloum, penulis Arab yang tinggal di Canada, menulis sebuah artikel yang berjudul Ibn Rusyd: the Great Muslim Philosopher who Planted the Seeds of European Renaissance (Ibn Rusyd: Filosof Muslim Besar yang Menanam Benih Kebangkitan Eropa). Pemikiran-pemikiran brilian Ibn Rusyd menyeruak di Eropa melalui Spanyol yang dianggap sebagai jembatan penyeberangan kebudayaan Arab-Islam ke Barat. Karya-karyanya diterjemahkan dari Arab ke Hebrew oleh Jacob Anatoli, dan dari Hebrew ke Latin oleh Jacob Mantino dan Abraham de Balmes. Karya-karya yang lainnya diterjemahkan secara langsung dari Arab ke Latin oleh Michael Scot.
Ernest Renan, Israel Welfens, dan Oliver Leaman mencatat bahwa filsafat Ibn Rusyd berpengaruh di kalangan Yahudi melalui peran filsuf Yahudi bernama Moses Maimonides (Musa bin Maymun). Bagi sarjana Yahudi abad pertengahan, Ibn Rusyd hampir setara dengan Aristoteles, sebab jika tanpa Ibn Rusyd—komentator terbaik Aristoteles—maka kaum Yahudi tak akan mengenal Aristoteles. Sejak era Maimonides, rancang-bangun filsafat Yahudi banyak mengacu pada filsafat Arab. Pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ke dalam budaya intelektual Barat menyebar sejak abad ke-11 M, sebab—menurut Ernest Renan—bahasa Arab pada abad ke-10 M telah menjadi bahasa komunitas Yahudi dan Kristen Spanyol. Tak pelak apabila kesatuan bahasa menjadi media penyerapan kebudayaan Islam ke Barat.
Pada abad pertengahan, Barat berada dalam dark ages. Sistem feodalistik mendominasi dan para bangsawan berkongkalikong dengan pihak Gereja memonopoli kendali sosial, politik, dan ekonomi yang merugikan kaum lemah. Ironisnya, kebijakan mereka senantiasa dijustifikasi dengan doktrin agama. Banyak kalangan yang menentangnya, tak terkecuali tokoh-tokoh rasional yang menamakan dirinya sebagai “Averroisme”, sebuah madzhab pecandu filsafat Ibn Rusyd, seperti Johannes Jandun (1328), Urban dari bologna (134), Paul dari Venesia (1429), Siger de Brabant (1235-1282), Thomas Aquinas, Boethious de Decie, Berner van Nijvel, Antonius van Parma, dan lain-lain. Pihak Gereja dan para bangsawan merasa terancam oleh gerakan ini. Untuk membendungnya, maka pada tahun 1270 mereka mengharamkan Averroisme. Pengharaman ini tidak menyebabkan Averroisme gulung tikar. Sebaliknya, Averroisme justru berkembang dan diapresiasi.
Lain di Eropa, lain pula di Islam. Di Eropa, filsafat Ibn Rusyd bersemi. Namun, dalam kebudayaan Islam, filsafat Ibn Rusyd dicampakkan oleh orang-orang seagamanya sendiri. Filsafat bagi mayoritas kalangan Islam dianggap barang haram yang harus dijauhi. Hal ini dikarenakan kuatnya pengaruh propaganda al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifa; sebuah karya polemis yang mengkafirkan ahli filosofi. Diakui atau tidak, resistensi mayoritas kalangan Islam terhadap filsafat akhirnya menyebabkan karya-karya filsafat Ibn Rusyd kurang dihargai.
Dalam konteks kebudayaan Islam, satu-satunya karya Ibn Rusyd yang diterima secara massif oleh kalangan tradisional adalah Bidayat al-Mujtahid dalam bidang fikih. Fenomena ini disebabkan oleh karakter kebudayaan Islam tradisional yang lebih didominasi oleh “tradisi fikih” ketimbang filsafat. Kaum muslim tradisional memiliki semangat menggebu-nggebu ketika berbicara fatwa-fatwa haram, namun kurang berminat menguraiakan dan mendeskripsikan pelbagai problematika secara teoretis-filosofis. Naifnya, Bidayat al-Mujtahid di kalangan ini kurang digali nilai-nilai rasional dan progresifnya. Ia hanya dibaca secara konvensional dengan model “pembacaan repetitif” (qiraah tikrar), bukan dengan “pembacaan produktif” (qiraah muntijah).
Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, maka saat ini dibutuhkan upaya menghidupkan spirit pembaharuan Averroisme di dalam kebudayaan Islam dalam rangka rasionalisasi. Jika Averroisme Eropa dengan spirit rasionalismenya berani mendobrak kemapanan tatanan sosial dan otoritas agamawan-bangsawan, maka seyogyanya Averroisme Islam mampu mendobrak konservatisme dan kejumudan. Proyek rasionalisasi (al-masyru’ al-‘aqlaniy) tak lain adalah bagian dari proyek kebangkitan (al-masyru’ al-nahdhawi). Proyek ini harus ditempuh secara gradual dan membutuhkan proses panjang. Dengan melihat bahwa kebudayaan Islam tradisional lebih didominasi oleh tradisi fikih, maka tidak ada salahnya jika proyek rasionalisasi dimulai secara gradual dari bidang fikih ketimbang bidang-bidang yang lain. Untuk menjawab kebutuhan tersebut, tulisan ini hendak menggali pelbagai aspek yang bertalian dengan kitab Bidayat al-Mujtahid, terutama spirit pembaharuan fikih Averroisme. Spirit ini penting digali guna mengawal transformasi dari corak fiqh taqlidi menuju fiqh tajdidi dan dari fikih skipturalistik menuju fikih substantif. [Bersambung]