Berpuasa dalam Diam

Berpuasa dalam Diam

Berpuasa dalam Diam

Malaikat penjaga sorga terheran-heran melihat kumpulan manusia bersayap mirip burung tengah mengelilingi tembok-tembok sorga. Sebelumnya, belum pernah malaikat penjaga melihat mereka.

“Siapa kalian?” tanya malaikat penjaga.

“Kami umat Muhammad saw,” jawab mereka tandas.

“Sudah dihisab?” tanya malaikat lagi

“Belum”

“Kalian sudah lewati jembatan?” malaikat memberondong pertanyaan

“Belum,” jawab mereka tenang.

Malaikat bingung, kok bisa orang-orang itu tiba di sorga tanpa dihisab dan lewat jembatan (shirat). “Bukankah itu SOP umum manusia menuju surga?” mungkin begitu pertanyaan yang berputar-putar di pikiran Malaikat.

“Bima wajadtum hadizhi ad-darajat, apa sih sebabnya kalian dapat derajat macam ini?” tanya Malaikat yang menunjukan rasa kekaguman.

“Kami menyembah Allah SWT di dunia dengan cara diam-diam (sirri) dan kami dimasukan ke dalam sorga Allah secara diam-diam di akhirat,” jawab kumpulan manusia bersayap itu.

Kisah yang diambil dari hadis ini bisa anda temukan dalam Durratun Nasihin (Mutiara Para Penasihat). Ini kitab karangan Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syaikh al-Khaukbawi, ulama bermazhab Hanafi.

Hadis itu dikutipnya saat membahas keutamaan berpuasa. Sebelum kisah ini Syaikh Utsman mengutip hadis qudsi yang populer dan saban Ramadhan dikutip para pendakwah dalam kultum: kullu ‘amalibni adama lahu illa ash-shauma fainnahu li wa ana ajzi bihi, setiap amal perbuatan anak Adam untuknya kecuali puasa, puasa untukku dan aku sendirilah yang akan membalasnya.

Memang tak sedikit pandangan yang menyimpulkan hadis-hadis dalam kitab Durratun Nasihin ini lemah (dhaif). Sebagian lagi bahkan memvonisnya memuat hadis-hadis palsu. Misalnya kajian yang dilakukan ahli hadis Indonesia Dr Ahmad Luthfi Fatullah MA. Dalam riset yang dilakukan cucu ulama ternama Betawi guru Mughni ini ia menyimpulkan 30 persen hadis-hadis di Durratun Nasihin palsu. hasil kajian itu menjadi bahasan utama dalam disertasinya di Fakultas Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia.

Kisah di atas mungkin saja satu di antaranya yang dikategorikan lemah bahkan palsu. Tapi, begitulah bijaknya kiai-kiai pesantren yang masih mendaras kitab-kitab ini dn mengajarkannya kepada para santri. Meski dikategorikan lemah, hadis-hadis itu bagi mereka masih tetap berguna untuk kebutuhan fadhail ‘a’mal, keutamaan-keutamaan perbuatan. Maksudnya, motivasi untuk lebih berbuat baik. Agar lebih baik dalam menjalankan agama.

Saya setuju. Hadis dan cerita diatas itu, sangat baik dan perlu dibaca atau “di-mention” pada mereka yang saban puasa tiba-tiba pemar pamer di medsos seolah-olah di dunia ini hanya dia yang puasa; seolah-seolah baru kali ini mereka berpuasa. Juga untuk mereka yang kerjaannya maksa-maksa orang, menghukum orang yang tak berpuasa karena dianggap tak hormati orang berpuasa mirip kerjaan Satpol PP di Bogor.

Mestinya energi puasa diarahkan ke dalam diri, bukan keluar. “Puasa itu untuk tuhan,” kata hadis. []

Alamsyah M Djafar, Peneliti The Wahid Institute.