Pertengahan September kemarin, saya mendapatkan kiriman tangkapan layar dari teman, yang memotret beberapa orang santri penghapal al-Qur’an yang menutup telinganya karena tidak ingin mendengar musik yang diperdengarkan oleh panitia kegiatan vaksinasi. Ketika melirik di media sosial, rupanya perbincangan atas foto tersebut cukup ramai di media sosial, dari debat soal hukum mendengarkan musik hingga persoalan tuduhan radikalisme.
Saya hanya bisa melongo kala menyimak perdebatan fenomena tersebut di media sosial. Sebab saya melihat musik di masyarakat muslim masih dalam posisi yang unik. Segregasi antara pihak yang menerima dan menolak masih terlalu dini, sebab musik juga sering sekali diotak-atik hingga bisa diterima atau ditolak. Tapi, satu hal yang pasti adalah musik merupakan bagian dari dinamika sosial kehidupan muslim modern.
Ketika musik masih ramai diperdebatkan hingga hari ini, masyarakat muslim kelas menengah sebenarnya memiliki banyak aktivitas keseharian yang bertaut dengan agama, diantaranya berkuda dan memanah. Selain musik, dua aktivitas ini cukup menarik diperbincangkan dan diulik. Sebab ketiga aktivitas tersebut memiliki kesamaan yakni hobi populer di kalangan kelas menegah muslim, sekaligus memiliki irisan dengan ajaran Islam.
Tak bisa dibantah bahwa musik, berkuda dan memanah adalah sedikit dari sekian hobi masyarakat muslim modern hari ini. Namun, hobi tak lagi sekedar hobi, ada narasi agama yang berkelindan di dalamnya. Berangkat dari fakta ini, saya mencoba memunculkan istilah “Hobi Islami”.
Walau diksi tersebut sepertinya belum banyak dibahas dan terdengar asing dalam kajian ilmu sosial. Namun, saya akan mencoba mengulik bagaimana interaksi modernitas dengan ajaran Islam, dan peran kelas menengah muslim menafsirkan aktivitas sebagai bagian kenikmatan dan agama.
Berkuda dan memanah memiliki posisi menarik di masyarakat muslim modern. Hal ini disebabkan kedua aktivitas tersebut disebut dalam tradisi hadis. Hal ini menempatkan keduanya mendapatkan label “sunnah” di masyarakat muslim. Saya tidak akan masuk bagaimana perdebatan tafsir atas hadis ini, namun mencoba mengulik dua aktivitas tersebut menjadi bagian dari konsumsi masyarakat muslim hari ini.
Dua aktivitas tersebut menjadi sangat populer di masyarakat muslim perkotaan akhir-akhir ini, khususnya kalangan kelas menengah muslim. Sebab, berkuda dan memanah disebut sebagai upaya menghidupkan sunnah. Menariknya, tafsir literal atas hadis tersebut tidak bisa menutupi bahwa ada irisan di kedua aktivitas tersebut dengan pola konsumsi dalam menghabiskan waktu senggang.
Berlatih berkuda dan memanah hari ini, entah disadari atau tidak, telah menjadi bagian gaya hidup kelas menengah muslim, khususnya di perkotaan. Ia menjadi gaya hidup karena kebanyakan dilakukan yang lebih dekat dengan aktivitas waktu luang, yang dimiliki kebanyakan masyarakat kelas menengah dan atas.
Walau, di sisi lain, label “Sunnah” karena disebut dalam sebuah riwayat hadis jelas menambah nilai plus keduanya lebih dari sekedar aktivitas biasa, namun juga dapat disebut sebagai hobi. Diksi “Hobi” jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan sebagai pekerjaan utama.
Kita sendiri mengetahui bahwa tidak semua kelompok masyarakat memiliki “kemewahan” waktu senggang untuk melakukan hobinya. Kebanyakan mereka yang berasal dari kelas menengah dan atas memilikinya.
Oleh sebab itu, wajar jika narasi “Hobi Islami” dapat kita lekatkan pada aktivitas berkuda dan memanah. Sebab, berkuda dan memanah hari ini, entah disadari atau tidak, sudah menjadi gaya hidup mengisi waktu senggang kelas menengah muslim.
Jadi, irisan antara “Nyunnah” dan “Kemewahan waktu luang” tersebut yang melahirkan diksi “Hobi Islami”. Diksi tersebut terasa lebih cocok ketimbang hanya mendorongnya sebagai aktivitas berlabel sunnah. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, irisan label agama dan gaya kehidupan modern tersebut memiliki beberapa dimensi yang menarik diperbincangkan.
Diantaranya, aktivitas berkuda dan memanah yang beririsan dengan narasi agama tersebut dapat dilihat sebagai usaha negosiasi, perdebatan, hingga pertarungan soal defenisi batas untuk menyeimbangkan ajaran agama dan keinginan untuk bersenang-senang. Sümeyye Ulu Sametoğlu, alumni dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, pernah menyebutkan term Halalscapes atau bidang halal untuk menyebut keseimbangan tersebut.
Beberapa model keseimbangan yang dimaksudkan oleh Sametoğlu dalam artikelnya berupa “hiburan tanpa penyembahan berhala (syirik), tanpa mengkritik nasib, tanpa mendistorsi ego (nefs) dengan keinginan duniawi”. Menurutnya, upaya penyeimbangan tersebut dimotori oleh kelompok anak muda yang saleh, di mana mereka melakukan berbagai strategi mulai dari penolakan, akomodatif, dan pemberdayaan dalam menghadapi kehidupan modern.
Sametoğlu menekankan pada pergeseran dalam fungsi kontrol waktu senggang tersebut. Di mana dalam sejarah kita terdapat perubahan dalam menghadapi dominasi budaya konsumen Barat. Sebagian kaum puritan, misalnya, pernah mencoba membatasi teater, nyanyian dan tarian, dengan berbagai alasan bahwa bentuk-bentuk waktu senggang ini akan mengalihkan perhatian seseorang dari merenungkan kemuliaan Tuhan atau ajaran agama.
Adapun persoalan lain adalah konsumsi dalam waktu senggang tersebut rentan sekali terjebak pada model, yang disebut oleh Thorstein Veblen dalam buku The Theory of the Leisure Class, sebagai konsumsi yang mencolok. Veblen menegaskan bahwa konsumsi tersebut terkait dengan gagasan bahwa ‘keserakahan itu baik’. Tentu, wacana tersebut cukup menganggu dan hal ini bukan yang baik jika kita hubungkan dengan hobi berkuda dan memanah.
Apa yang dimaksud oleh Veblen dengan konsumsi mencolok adalah pengeluaran atau konsumsi barang mewah secara boros dalam upaya meningkatkan prestise seseorang. Titik tekan dalam Veblen yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah konsumsi barang untuk peningkatan status sosial atau prestise. Sebab, masyarakat modern hari ini sudah lama mengenal dan berkelindan dengan budaya konsumsi macam ini.
Sebagaimana dijelaskan Derek Wynne dalam buku Leisure, Lifestyle and the New Middle Class: A Case Study bahwa, kelas menengah memiliki strategi dalam membangun dan mempertahankan identitas sosial mereka. Diantaranya adalah konsumsi waktu senggang dan gaya hidup mereka.
Jika berkuda dan memanah lebih dipandang positif karena karena menghidupkan atau menjalankan anjuran Nabi Muhammad, maka di saat bersamaan keduanya juga bisa terjebak pada konsumsi mencolok sebagai upaya membangun dan mempertahankan identitas sebagai kelas menengah muslim, yang disebut Heblen dan Derek Wynne di atas.
Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat muslim mulai menyukai naik kuda dan memanah, terutama dari kalangan kelas menengah. Jadi, nuansa religiusitas dan modernitas berkelindan di saat yang bersamaan menjadi bagian dalam kehidupan kehidupan masyarakat muslim modern. Sehingga, pertukaran, negosiasi, hingga perdebatan adalah nuansa yang tak terhindarkan.
Ada banyak dinamika dari aktivitas dan gaya hidup modern yang serupa dengan berkuda dan memanah. Makanya, saya menyematkan sebuah pertanyaan di judul tulisan ini, untuk menggambarkan bahwa aktivitas menghidupkan sunnah di masyarakat kita tidak bisa ditelan mentah-mentah.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin