Saya lahir dan tumbuh di tengah keluarga petani di sebuah desa di lereng gunung Sumbing. Lebih tepatnya petani gurem yang memiliki beberapa petak tanah yang ditanami berbagai jenis sayuran untuk menopang hidup keseharian. Saat pagi datang, sebelum memulai aktivitas di sawah dan saya berangkat ke sekolah, kami duduk di atas dingklik kayu, menghangatkan tubuh di depan tungku api. Ibu menyeduh teh panas yang dihasilkan dari sawah atau teh pegunungan yang dijual di pasar.
Udara dingin di lereng gunung Sumbing, tak kenal malam maupun siang hari. Menjadi salah satu sebab yang melahirkan beragam kebiasaan di kawasan ini seperti menghangatkan tubuh, baik dengan api unggun atau berjemur di bawah terik matahari pagi, termasuk membangun rumah yang relatif berukuran pendek supaya hangat.
Selain bertani, orang-orang di kampung juga aktif dalam kegiatan tarekat yang diselenggarakan selapan (35 hari) sekali. Kegiatan rutin ini, dan juga pengajian umum yang diadakan di dusun-dusun sekitar saat bulan-bulan tertentu seperti Syawal, Mulud, dan Ruwah, merupakan medium kami dalam memahami ajaran Islam. Jika sedang mujur, patungan atau iuran dari semua warga cukup untuk sesekali mengundang Kiai terkenal seperti KH. Anwar Zahid dari Bojonegoro, KH. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) dari Pesantren Tegalrejo Magelang, atau Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf dari Solo.
Dari semua kegiatan itu, tentu saja bukan pemahaman Islam yang advanced sebagaimana dipahami para sarjana perguruan tinggi yang mereka peroleh dan harapkan, melainkan ajaran-ajaran dasar yang berguna sebagai bekal mengarungi kehidupan ini. Tidak juga dimaksudkan untuk kulakan ilmu agama lalu digunakan untuk menilai cara beragama orang lain. Tidak! Islam kami ya ilmu untuk laku keseharian, tidak lebih dari itu.
Tempo hari, saat mengikuti Ngaji Ihya’ (11/06) dan Kiai Ulil membabar tentang hadis Rasulullah bahwa sebagian besar penghuni surga adalah orang-orang yang sederhana (awam). Pikiran saya langsung menuju kepada orang tua, saudara, tetangga, dan seluruh warga di rumah dan petani-petani di desa saya. Islam bukan agama untuk kalangan elite saja, melainkan agama demokratis yang bisa memberi ruang bagi semua kalangan.
Lha kalau yang masuk surga cuma yang pendidikannya tinggi, serta orang-orang kaya yang mampu haji dan umroh berkali-kali, lantas kita yang awam ini gimana? Tanya Kiai Ulil malam itu.
Tapi jangan salah, di balik kesederhanaan hidup dan aktifnya petani dalam kegiatan tarekat, bukan berarti mereka menjalani hidup secara pasrah dan tidak bisa menggalang perlawanan.
Dalam sejarah, negeri ini memiliki sejumlah catatan gerakan protes petani terhadap penguasa dan atau pemodal-pemodal yang serakah. Dengan dibumbui dengan gagasan Ratu Adil atau melakukan jihad fi sabilillah, para petani cum murid tarekat itu mengalami proses radikalisasi dan melakukan aksi protes dengan cara-cara kekerasan (Kuntowijoyo, 2002).
Bukankah demontrasi dari petani-petani sekitar pegunungan Kendeng itu juga menunjukkan kekuatan sosial-politik petani? Jika ketidakadilan sudah menembus batas sabar, sosok petani-pejuang seperti Yu Patmi yang gugur di tengah perjuangan petani-petani Kendeng itu bisa muncul dari berbagai tempat di negeri ini.
Waktu Sembahyang yang Melambat
Bagi masyarakat petani lereng gunung Sumbing, azan Asar berkumandang antara pukul 16.00 sampai 16.30. Kok bisa?
Meski waktu shalat Asar sudah masuk pada pukul 15:00 sore, kebanyakan petani masih ada di sawah. Sehingga sedikit nanggung jika diharuskan shalat seketika usai azan. Dengan tabu bedug azan Asar yang melambat, sekaligus menjadi penanda waktu sudah sore dan saatnya pulang dari sawah atau menghentikan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan sawah tuntas, sembahyang pun lunas.
Sebagaimana yang berlaku di pesantren, penanda waktu sehari-hari bagi kami adalah waktu dalam mendirikan sembahyang lima waktu itu. Adapun tengah hari, pukul 12:00, atau dikenal dengan rolasan, menjadi penanda untuk istirahat siang: rehat sejenak dari pekerjaan, makan siang, sembahyang Dhuhur, dan kembali beraktivitas satu sampai dua jam setelahnya.
Jeda waktu antara Asar dan Maghrib dan antara Maghrib dan Isya digunakan untuk bercengekrama dengan anggota keluarga atau mengaji di rumah-rumah guru ngaji bagi anak-anak.
Menyaksikan aktivitas kehidupan seperti itu, saya terkadang berpikir bagaimana mungkin sejumlah sarjana itu mengidentikkan bahwa Islamnya orang-orang di sekitar kerajaan Mataram Islam ini identik dengan abangan atau sinkretis? Apakah sudah terjadi proses Islamisasi yang berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu atau secara kebetulan saja masyarakat di daerah saya itu cenderung mengarah kepada varian santri? Jika demikian, dikotomi abangan vs santri apakah masih relevan hari ini?
Etos Kerja dan Kemiskinan
Salah satu masalah mendasar kehidupan petani adalah kemiskinan. Memang, ada juga petani-petani yang kaya. Memiliki lahan yang luas dan memiliki kecakapan dalam memutarkan modal. Tapi itu hanya sebagian kecil saja. Sebagian besarnya adalah petani yang hanya cukup, dan sisanya kekurangan.
Selain dikarenakan sawah yang semakin menyempit (karena praktik warisan, dan beberapa kasus dijual), kemiskinan ini juga tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang sedang dijalankan oleh negara. Dengan mengadopsi sistem pasar bebas di mana pemerintah tidak ikut campur dalam menentukan harga barang, petani menjadi pihak yang sering dirugikan.
Misal, jika di Jogja saya menjual sawi seharga 4.000 rupiah, di pasar-pasar sekitar lereng gunung Sumbing harga sawi itu berkisar di angka 1.000 sampai 2.000 rupiah. Angka ini jika dikalkulasi dengan proses penanaman sawi dari pembibitan sampai panen, si petani tidak mendapatkan laba, bahkan cenderung merugi. Kalau saya menjual sawi seharga 3.000, di sana dengan uang seribu rupiah Anda sudah bisa membawa pulang tiga ikat sawi. Saat harga seperti itu, sering kali petani enggan memanen hasil tanamannya. Dibabat habis agar segera bisa ditanami sayuran lainnya. Pilihan lainnya: pergi ke kota mencari pekerjaan baru atau ikut para mandor dan kontraktor di kota-kota besar.
Jika Anda pernah berkunjung ke daerah kaki gunung Sumbing atau paling tidak menonton film dokumenter Negeri di Bawah Kabut, kita akan disuguhi betapa kompleksnya masalah yang dihadapi petani. Satu di antaranya yaitu cuaca yang tidak menentu, salah musim, atau seperti judul novelnya Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni atau udan ing wayah ketiga, salah satu lirik lagunya Didi Kempot.
Ketidakpastian musim ini berdampak pada hasil panen yang tidak maksimal atau terjadinya gagal panen. Curah hujan yang tinggi di musim kemarau, misalnya, membuat tanaman-tanaman itu menjadi lomot, banyak bintik-bintik hitam di tanaman dan juga membusuk. Ketidakpastian harga dan ketidakteraturan musim membawa petani pada kepasrahan. Hanya bisa berharap dengan semoga panennya baik, semoga harganya tinggi, dan semoga-semoga lainnya.
Dalam kenyataan hidup seperti itulah Islam semakin vital peranannya dan menubuh dalam kehidupan petani. Yang tentunya beda dengan Islam yang ada di televisi.
Dalam keseharian kita bisa belajar banyak tentang ketekunan dalam proses, etos kerja yang tinggi, dan hidup yang semeleh (tawakkal) dengan menyertakan Tuhan dalam setiap proses kehidupan. Meski seringkali, proses yang baik dan ikhitar yang tiada henti itu berujung gagal panen serta harga yang tidak sesuai ekspektasi.