Persoalan belajar agama menjadi penting untuk diperhatikan lantaran maraknya kemunculan mereka yang mengaku ustadz, dai atau semacamnya dan menyebarkan ajaran agama meski tidak jelas jejak thalabul ‘ilmi nya. Parahnya lagi orang semacam ini digandrungi masyarakat yang tidak sedikit.Sekilas saya anggap mereka yang mengaku mampu belajar atau berguru langsung kepada Rasulullah amat sombong, lantaran tradisi keilmuan Islam yang sudah berumur 14 abad lebih tidak berkata demikian.
Islam adalah agama skriptural, tradisi yang lahir dari rahimnya tidak bisa lepas dari pengaruh teks. Pun demikian kita belajar dari Rasulullah, mau tidak mau pasti terikat dengan teks-teks hadis, kecuali jika kita melakukan pendekatan sufistik.
Kisah Imam al-Bushiri yang tidak mampu melanjutkan syair pujian pada Rasulullah, misalnya, adalah salah satu contoh adanya kemungkinan belajar langsung dari Rasulullah. Zaki Mubarak dalam Madaih Nabawiyah menjelaskan bahwa Imam al-Bushiri mengalami kebuntuan ketika sampai pada bagian awal bait
فَمَبْلَغُ الْعِلْمِ أَنَّهُ بَشَرٌ
Kemudian Rasulullah rawuh ke dalam mimpinya dan mendikte al-Bushiri:
وَأَنَّهُ الْخَيْرُ الْخَلْقِ كُلِّهَمِ
Namun pengalaman spiritual semacam ini tidak bisa dijadikan landasan hukum yang kuat, atau setidak-tidaknya diperdebatkan keabsahannya. Dalam disiplin ilmu hadis pun riwayat para sufi yang mendapat nasihat langsung dari Rasulullah melalui mimpi dinyatakan tidak bisa dijadikan pijakan bersama. Terlepas dari fakta kesalihan dan kejujuran sufi tersebut, juga fakta bahwa setan tidak mampu menyamar menjadi Rasulullah dalam mimpi seseorang.
Kenyataan bahwa belajar agama Islam tidak mungkin lepas dari mengkaji teks, maka pra syarat awal yang harus dipenuhi adalah penguasaan bahasa Arab. Sebab mengkaji Al-Qur’an atau hadis dari terjemahan mereduksi banyak makna yang terkandung di dalam ayat dan matan hadis. Misalnya kalimat amr (perintah) dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menunjukkan perintah yang memaksa (wajib), menunjukkan anjuran (nadb) atau bahkan sekedar pembolehan (ibahah). Jika Bahasa Arab saja tidak dikuasai otomatis hal seperti ini akan turut luput juga dalam memahami teks agama.
Belum lagi kerumitan metode dan istilah di setiap disiplin ilmu. Di Al-Azhar Mesir, lambaga pendidikan yang sudah berdiri sejak era Dinasti Fathimiyyah, juga kampus yang melestarikan bentuk pembelajaran tradisional ilmu-ilmu syar’i secara (metode halaqah dan talaqqi), dikenal istilah ilmu ghayat dan ilmu wasilat.
Ilmu ghayat di antaranya: aqidah, fikih, tasawuf, tafsir dan hadis. Sedangkan ilmu wasilat atau lebih dikenal dengan ilmu alat di antaranya: nahwu, sharaf, balagah, mantiq, maqulat, ushul fikih, musthalah al-hadis, tajwid dan qiraat. Untuk bisa mendapatkan legalitas menjadi pengajar, setidaknya harus lulus uji materi keseluruhan disiplin ilmu tersebut.
Proses belajar agama yang rumit seperti ini memang tidak untuk semua orang, karena tidak semua orang memenuhi syarat menjadi ulama. Pun menjadi ulama bukan berarti berhak berbicara semau hati pada setiap disiplin ilmu di atas, terlebih lagi mengeluarkan fatwa. Prinsip ekspertasi harus tetap ditaati.
Saya teringat suatu ketika saya bersama beberapa teman melakukan sesi tanya jawab ringan dengan Syekh Yusri Gabr, salah satu ulama al-Azhar. Sebelum masuk ke pertanyaan pertama kami diingatkan agar tidak bertanya di luar bidang yang menjadi keahliannya, tasawuf, hadis dan medis.
Di majelis lain, ngaji kitab Adabul Mufti wal Mustafti karya Imam Nawawi, ada satu ungkapan yang selalu diulang-ulang guru kami, Syekh Hisyam Kamil, “Hendaklah seorang mufti mengingat-ingat bahwa dia diamanati stempel halal-haram langsung oleh Allah, maka harusnya ia sangat berhati-hati.”
Agaknya dalam pembelajaran agama perlahan kita mulai kehilangan hal semacam ini, bijak berkata tidak tahu. Artinya sebagai masyarakat kita masih berada di kelas bawah, orang-orang yang bangga akan pengetahuannya. Padahal kita masih harus berproses naik menjadi masyarakat rendah hati terhadap pengetahuan kemudian menjadi masyarakat yang tahu bahwa ketidak tahuan lebih luas daripada pengetahuan.
Sekali lagi tidak ada yang menuntut siapapun untuk menempuh jalan belajar agama yang ‘merepotkan’ ini. Masyarakat, komunitas atau pribadi yang tahu diri tidak akan melewati batas dan rela disebut sebagai awam. Toh keawaman tidak membuat kita masuk neraka, kecuali jika memaksakan diri berbicara apa yang tidak dikuasai betul, lebih parah lagi ngeyel dengan apa yang diucapkan.
Naif sekali mengatakan belajar langsung dari Rasulullah di luar dunia spiritual. Kalau memang definisi belajar langsung dari Rasulullah adalah mandiri menangkap pesan yang beliau sampaikan dalam teks-teks hadis, saya ingin bertanya dari mana kita tahu hadis itu? Dengan menjawabnya dari para sahabat berarti kita menggugurkan peran para perawi hadis setelah generasi sahabat, para tabi’n, tabi’ut tabi’in. Bahkan dari si empu kitab hadis sendiri, misalnya Imam Bukhari.
Pun jika yang dimaksud berguru langsung kepada Rasulullah adalah secara ruhani sebagaimana Imam Bushiri, saya katakan, “Kenapa tidak sekalian saja bilang belajar langsung dari Allah?”
Sejatinya mencari ilmu dengan hadir di majelis dan halaqah bukan berarti menerima ilmu dari sang guru, sebab guru yang hakiki adalah Dia yang Maha Mengetahui. Kehadiran ustadz atau guru, proses pembelajaran dan menjaga adab terhadap ilmu tidak lain hanyalah perantara yang harus dipenuhi dalam rangka akhzu bil asbab. Agar Allah ridha untuk mencurahkan setetes ilmu pada kita. (AN)
Wallahu a’lam.